Rabu, April 24, 2024

Dinamika China dalam Konflik Gurun Sahara

Habib Pashya
Habib Pashya
Mahasiswa S2 Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

Normalisasi dengan Israel merupakan usaha dari Amerika Serikat untuk menyatukan The Gulf sejak Agustus-September 2020 dengan UEA dan Bahrain dengan menawarkan beberapa kerjasama seperti investasi, pariwisata, keamanan, penerbangan langsung, dan beberapa isu lainnya. Sikap itu, dilakukan oleh Trump untuk meningkatkan eksistensi Israel dalam tatanan global dengan tidak ‘mengakui’ Palestina secara langsung.

Orientasi kebijakan itu, dilanjutkan oleh Trump dengan memutuskan untuk mengakui klaim dari Maroko atas sengketa Gurun Sahara dengan Algeria pada Desember 2020. Sikap Washington semakin kuat sejak Rabat berhasil menyetujui juga normalisasi dengan Israel. Memang sejak awal, Amerika Serikat memiliki posisi yang aktif dalam isu tersebut terutama pada tahun 1991, Amerika Serikat mendukung adanya gencatan senjata antara Maroko dan Front Polisario untuk menciptakan Gurun Sahara sebagai salah satu wilayah yang merdeka.

Meskipun Covid-19 yang semakin parah, Trump tidak pernah peduli dan tetap dengan keteguhannya untuk menegaskan posisi Amerika Serikat dalam konflik Sahara. Dalam akun twitternya yang diunggah pada 10 Desember 2020, Trump mengungkapkan bahwa.”Today, I signed a proclamation recognizing Moroccan sovereignty over the Western Sahara.  Morocco’s serious, credible, and realistic autonomy proposal is the ONLY basis for a just and lasting solution for enduring peace and prosperity!”

Sehingga, sikap Trump tersebut berdampak pada peningkatan eksistensi Maroko yang semakin besar di Sahara. Hal tersebut akan menyebabkan kebijakan pemerintah Algeria dalam mempertimbangkan kembali dukungannya untuk Front Polisario. Posisi Maroko dan Amerika Serikat serta melemahnya posisi Algeria di sengketa tersebut mempengaruhi proyek BRI China di Magrib.

Sejak awal, memang Maroko merupakan mitra penting bagi China. Beijing memiliki jalur kereta cepat, Al-Boraq yang berkembang di Maroko. Tidak hanya itu, China juga sedang membangun perluasan terhadap Pelabuhan Tanger Med yang akan menjadi Pelabuhan terbesar di Mediterania dari China Merchants Group.

Perusahaan China, CITIC juga mendirikan pabrik senilai US $ 400 juta untuk memasok peralatan ke pabrik perakitan otomotif French Groupe PSA dan China Communications Construction Company sedang membangun pusat industri Kota Teknologi Mohammed VI Tangier untuk menarik lebih banyak perusahaan multinasional dari China ke Maroko.

Lebih dari itu, bagi China, Algeria juga merupakan aktor yang penting baginya untuk menciptakan konektivitas dalam proyek Belt and Road Initiative. Dilansir dari Xinhua.net pada 2018, konstruksi the China International Trust Investment (CITIC) China telah menandatangani perjanjian dengan Sonatrach Algeria untuk membangun fasilitas produksi fosfat terintegrasi senilai US$ 6 miliar yang akan meningkatkan produksi tahunan Algeria menjadi 10 juta ton. China melihat kesempatan itu karena Algeria memiliki cadangan fosfat keempat terbesar di dunia.

Sejak penurunan harga minyak tahun 2014, cadangan mata uang asing Aljazair telah menyusut dari hampir US$ 200 miliar menjadi sekitar US$ 49 miliar pada akhir tahun 2020- Pandemi Covid-19. Penurunan harga minyak itu telah mempengaruhi ekonomi Algeria karena penjualan minyak dan gas menyumbang 60 persen dari anggaran negara.

Presiden Abdelmadjid Tebboune telah menolak dukungan keuangan dari ‘IMF atau bank asing lainnya’, dengan alasan bahwa pinjaman luar dapat merusak stabilitas ekonomi. Maka daripada itu, Algeria beralih ke China.

Pada tahun 2019, ekspor China ke Algeria mencapai US$7 miliar, sementara ekspor Algeria ke China mendekati US$ 1,2 miliar. Peningkatan tersebut mendorong China masuk dalam kontelasi Algeria lebih dalam lagi. Sehingga, pada 11 Oktober 2020, Badan Kerjasama Pembangunan Internasional China menandatangani perjanjian dengan Algeria untuk lebih memperdalam partisipasi aktif BRI. Apalagi, adanya klaim Amerika Serikat terhadap Maroko membuat membuat China semakin masif di Algeria. Pada April 2020, puncak pandemi Covid-19, CSCEC dan pemerintah Algeria menandatangani kontrak senilai $ 500 juta untuk rumah sakit dengan 700 tempat tidur di distrik Zéralda. Disamping itu, pada Oktober 2020, telah diresmikan Masjid Agung berkapasitas 120.000 orang (Djamaa El Djazair) dibangun oleh China State Construction Engineering Corporation (CSCEC), kontraktor terbesar Algeria.

Perusahaan China juga terlibat dalam pembangunan pelabuhan El Hamdania, hub regional utama, dan bandara Algeria yang selesai pada 2019. Memang sejak tahun 2016-2020, jumlah pekerja China di Aljazair memuncak pada tahun 2016 di 91.596 – 40 persen dari semua pekerja China dan hingga saat ini, angkanya mencapai 50.000 jiwa.

Investasi-investasi China memang sudah meningkat sebelum adanya rekonsiliasi hubungan Israel & Amerika Serikat – Maroko sejak Desember 2020. Namun, China sudah mempersiapkan langkah atau jejak yang lebih luas lagi mengingat Trump bukan Barack Obama yang mampu rentabilitas hubungannya dengan China dan Trump beranggapan bahwa China adalah musuh utama. Maka daripada itu, sikap yang dilontarkan China kepada Algeria cukup masif serta mengingat klaim yang dihasilkan oleh Trump akan dilanjutkan di era Biden.

Dilansir dari Inside Arabia pada Maret 2021, yang menyatakan bahwa dibawah Presiden Biden, sengketa Gurun akan tetap dipertahankan sama dengan era Trump yang mendukung kedaulatan Maroko. Sehingga, posisi China di Algeria akan meningkat dan di Maroko akan sedikit berkurang.

Habib Pashya
Habib Pashya
Mahasiswa S2 Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.