Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap Bupati Probolinggo beserta suaminya dalam kasus jual beli jabatan (PJ) Kepala Desa semakin menebalkan keyakinan publik bahwa, tak ada pejabat elite kita yang benar-benar memikirkan kesejahteraan masyarakatnya. Juga semakin menipiskan kepercayaan publik terhadap para pejabatnya.
Kasus di Probolinggo ini merupakan satu dari sekian praktik dari pasar gelap birokrasi di seantero negeri ini. Saya yakin, masih ada banyak kasus serupa di daerah-daerah lain. Hanya saja belum terjamah tangan KPK. Semoga KPK mampu membongkar praktik haram itu ke depan.
Tragedi OTT itu tidak hanya mencoreng muka keluarga besar Bupati dan masyarakat Probolinggo, tetapi juga mencoreng muka masyarakat Indonesia. Bagaimana mungkin, bangsa yang meletakkan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ di nomor wahid dalam 5 butir Pancasila, praktik korupsi tumbuh subur dan merajalela.
Menurut data Indonesian Corruption Watch (ICW), terdapat 444 kasus korupsi selama 2020 dengan kerugian negara sebesar Rp 18,6 triliun (lihat CNN Indonesia, 15/8/2021).
Dari data yang dipaparkan ICW di atas, bisa ditarik satu kesimpulan, bahwa praktik korupsi bak penyakit akut yang menahun. Perlahan ia akan merobohkan sendi-sendi kehidupan berbangsa kita. Jika secara jasmani bangsa ini diserang virus covid-19, maka secara rohani sedang diserang virus korupsi. Virus yang sulit ditemukan penawarnya.
Seganas apa pun covid-19 menghantam, bangsa ini akan tetap berdiri kokoh. Sebaliknya, jika virus korupsi yang menghantam, maka butuh ribuan tahun untuk menata dan memulihkannya kembali. Membangun jiwa tak semudah membangun raga. Maka tak berlebihan kiranya ketika WR Soepratman membubuhkan larik ‘Bangunlah jiwanya, Bangunlah raganya’ dalam nyanyian yang digubahnya berjudul Indonesia Raya itu. Di mana, diksi jiwa diletakkan pertama sebelum raga.
Kembali pada kasus OTT di atas, bahwa korupsi jenis ini merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi dilakukan di tengah pandemi dan dijalankan secara terstruktur, sistematis dan masif. Melibatkan struktur birokrasi; dari (PJ) Kepala Desa hingga Camat. Hirarki kekuasaan birokrasi terendah.
Kasus korupsi ini menurut saya hanya bagian kecil dari banyak korupsi yang sudah dilakukannya. Misalnya mutasi jabatan Kepala Dinas dan jabatan-jabatan penting lainnya, permainan proyek gelap hingga anggaran pembangunan daerah selama dinasti politik Hasan Aminuddin ini berkuasa. Maka menjadi tugas KPK untuk mengungkap kasus-kasus korupsi apa saja yang pernah dilakukannya sampai terang-benderang.
Kasus jual-beli jabatan merupakan kasus yang begitu mengkhawatirkan. Ia mengancam terciptanya pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good governance). Menjadi ironi, ketika pejabat birokrasi kita diisi oleh mereka yang memperdagangkan jabatan, layaknya komoditas di pasar-pasar gelap. Integritas menjadi taruhannya.
Kasus korupsi serupa sudah lazim terjadi di negeri ini. Kalau tak percaya, coba flashback ingatan kita pada empat tahun terakhir; misalnya belum lama ini, Mei 2021, KPK bersama Badan Reserse Kriminal Polri melakukan OTT terhadap Bupati Kabupaten Nganjuk Novi Rahman Hidayat. Dia diduga menerima uang terkait lelang jabatan.
Sebelumnya, pada 2019, KPK juga menangkap Bupati Kudus, Jawa Tengah, M Tamzil dengan dugaan suap pengisian jabatan. Sedangkan pada 2018, Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko ditangkap bersama ajudannya karena diduga menerima sejumlah uang dari pihak lain. Uang tersebut merupakan fee proyek dan uang pelicin untuk pengisian jabatan.
Masih pada 2018, KPK menangkap Bupati Cirebon, Jawa Barat, Sunjaya Purwadisastra dengan dugaan terkait jual beli sekitar 400 jabatan di pemerintahan Kabupaten Cirebon. Dalam OTT tersebut, KPK menyita uang tunai Rp 385 juta dan bukti transfer Rp 6,4 miliar yang diduga merupakan suap kepada Sunjaya.
Dan pada 2017, Bupati Klaten, Sri Hartini ditangkap KPK karena jual-beli jabatan di Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten. KPK menetapkan Bupati Klaten Sri Hartini sebagai tersangka kasus dugaan suap promosi dan mutasi jabatan di Kabupaten Klaten (kompas.id/31/8/2021).
Dari deretan kasus jual-beli jabatan selama empat tahun terakhir ini, bisa kita petik satu kesimpulan bahwa para pejabat kita tak serius mengelola pemerintahan ini. Mereka mengelolanya layaknya permainan di meja judi. Yang penting beruntung, tak peduli apakah ia haram atau tidak.
Ilusi Good Governance
Pemerintahan yang baik, bersih dan beribawa menjadi harapan semua pihak, terlebih masyarakat akar rumput (grassroot). Untuk menggapai good governance pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi menetapkan Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 bernomor 25 tahun 2020.
Reformasi birokrasi merupakan satu kebutuhan yang harus segera dipenuhi dalam rangka terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif. Sebab, tata kelola pemerintahan yang baik adalah prasyarat utama mewujudnya pembangunan Nasional yang saleh.
Tak tanggung-tanggung, dari reformasi birokrasi ini diharapkan terwujudnya pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan kapabel, sehingga masyarakat mendapatkan manfaat pelayanan secara cepat, tepat, professional serta bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Pun masyarakat diharapkan mendapatkan pelayanan prima. Pelayanan yang memberikan jaminan atas terpenuhinya kepuasan dan kebutuhan masyarakat. Dan pelayanan prima ini harus dimiliki oleh semua instansi pemerintah, mulai dari Kementerian, Pemerintah Provinsi hingga Kabupaten/Kota (lihat Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Road Map Reformasi 2020-2024).
Namun, good governance sepertinya tak lebih hanya sebatas ilusi bagi masyarakat akar rumput. Sebab, tata kelola pemerintahan kita dikelola oleh para birokrat bermental borjuis; kumpulan para pejabat yang punya banyak modal. Tak ubahnya barang dagangan, kursi-kursi jabatan strategis dikuasai para pemilik modal.
Hukum ekonomi liberal berlaku dalam pasar (jabatan) birokrasi kita; yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Jika tak punya banyak modal, maka haram hukumnya menjadi pejabat tinggi di negeri ini.
Sebagai rakyat kecil kita hanya bisa berharap, semoga pasar gelap birokrasi kita lekas menjadi terang-benderang, seterang langit dalam guyuran sinar mentari di siang bolong.