Kegiatan wisata, pembangunan sarana, serta fasilitas kepariwisataan di Indonesia telah dimulai sejak sebelum abad ke-20. Namun kegiatan wisata tersebut pada masa itu belum banyak dikenal oleh masyarakat luas.
Dengan demikian, kegiatan wisata modern pada masa kolonial ini dapat dikatakan merupakan hal yang relatif baru. Secara garis besar, kegiatan pariwisata di Indonesia masa kolonial terbagi dalam beberapa periode dan tahapan. Masa pra-kemerdekaan, yang terdiri dari dua periode yaitu masa Hindia Belanda dan masa pendudukan Jepang.
Pada masa Hindia Belanda, kegiatan wisata masih terbatas pada orang-orang asing seperti Belanda, Indo-Belanda, Eropa, Jepang dan lainnya. Kunjungan yang dilakukan wisatawan asing pun masih sangat terbatas. Hal itu disebabkan karena faktor transportasi yang belum terlalu memadai. Selain masalah transportasi, pemerintah Hindia Belanda merasa khawtir bangsa Eropa akan terpikat oleh kekayaan alamnya. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda membatasi dan mengawasi secara ketat kunjungan dan ruang gerak orang-orang asing non Belanda untuk berkunjung.
Pada tahun 1897, seorang wanita kebangsaan Amerika, Eliza Ruhamah Scdmore, menulis sebuah buku berjudul Java, The Garden of the East. Dalam buku itu, ia mengisahkan kunjungan dan pengalaman-pengalamannya sewaktu melakukan perjalanan (travelling) di Jawa, Madura dan Bali.
Dalam pengantar bukunya itu, Eliza RS menyinggung soal diterbitkannya sebuah bku berjudul Guide to the Dutch East Indies. Buku itu ditulis oleh Dr. J.F. Van Bemmelen dan Kolonel J.B. Hoover, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Rev. B.J. Berrington. Hal diatas menunjukan pada akhir abad ke-19 Indonesia sudah dikunjungi wisatawan asing, yang sekarang disebut wisatawan mancanegara. Dibuku Java, The Garden of the East dapat diketahui ada waktu itu, sudah ada paling tidak sebuah buku petunjuk wisata tentang Indonesia.
Pada awal abad ke-20, Hindia Belanda merupakan kawasan yang mengalami perkembangan pesat di segala bidang, terutama dalam hal pembangunan sarana-sarana fisik khususnya pada daerah Pulau Jawa. Di bidang transportasi darat misalnya, pembangunan rel kereta api dan jalan Pos Besar yang menghubungkan pulau jawa dari ujung barat hingga ujung timur, yang telah berhasil memangkas kesulitan mobilitas darat baik untuk keperluan perdagangan, industri perkebunan, pemerintahan, pos, maupun pariwisata. Berbagai fasilitas penginapan juga berkembang seiring dengan pertumbuhan kota-kota di kawasan Hindia Belanda.
Industri pariwisata secara sadar digunakan oleh Belanda untuk memoles citra kekejaman pemerintah Kolonial menjadi citra yang memuliakan masyarakat bumiputra. Periode politik etis yang diberlakukan sejak tahun 1901 serta konstruksi citra Mooi Indie yang menjadi trademark pariwisata di Hindia Belanda, kemudian menjadi proyek besar bagi pembalikan citra negeri jajahan Hindia Belanda yang rusuh, miskin, dan jauh dari peradaban modern.
Citra Mooi Indie sebetulnya merupakan kecenderungan umum masyarakat Eropa dalam memandang dunia yang lain Timur. Mooi Indie merupakan bagian dari orientalisme, yaitu corak pandangan dan kreasi intelektual barat dalam menciptakan dunia timur. Pada awal abad 20, seperti adanya revolusi cetak melalui buku, kartu pos, maupun pameran kolonial seperti halnya brosur wisata Hindia Belanda mulai dikenal oleh masyarakat dunia. Media cetak tersebut yang pertama digunakan untuk promosi adalah Java The Wonderland.
Perkembangan pesat dari sektor pariwisata ternyata tidak hanya berasal dari pemandangan alamnya Nusantara yang indah saja. Para turis sesungguhnya juga menikmati bagaimana mereka melihat kebudayaan dan kuliner pribumi yang ada di Nusantara.
Perbedaan cara makan yang signifikan, cara penyajian yang sangat berbeda dan kuantitas makan masyarakatnya. Kebanyakan para wisatawan terutama wisatawan Inggris memandang Risjtaffel sebagai makanan yang menjijikkan, hal itu mereka lihat dengan cara penyajian yang diletakkan di satu tempat. Hal tersebut cukup beralasan dengan orientasi estetika cara makan mereka yang berkiblat pada cara makan era Victoria.
Konsep makan pada kebudayaan tertentu sangat diperhatikan di beberapa tempat, tetapi dari keanekaragaman budaya makan itu menjadi salah satu pendorong pariwisata yang sangat penting di masa itu.
Hotel-hotel besar menyajikan Risjtaffel sebagai menu andalan mereka. Wisatawan dari Eropa secara luas datang ke Nusantara hanya ingin mengetahui Rijstaffel tersebut dihidangkan. Dari waktu ke waktu, ternyata hidangan ini sangat diminati orang-orang Belanda yang mulai terbiasa dengan makanan di Hindia Belanda. Sisi seremonial dan pelayanan merupakan bagian yang penting dari Rijstaffel yang harus dilaksanakan dan telah menaikkan gengsi masyarakat pribumi beserta status sosial mereka.