Sabtu, April 20, 2024

Pandemi dan Hilangnya Kesadaran Politis

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Situasi Covid-19 akhir-akhir ini membuat resah, betapa tidak angka penyebarannya begitu meluas dan masif. Sebagaimana sikap saya diawal, tentu ini bukan murni kesalahan masyarakat. Meski banyak dari kita menyalahkan masyarakat, karena mereka tidak disiplin dan tetap berkerumun dalam giat sehari-harinya. Memang itu salah satu faktor penyebaran menjadi masif, tetapi sedari awal ada peran pemerintah yang cenderung abai dalam pembuatan kebijakan.

Mari kita preteli sejenak, merujuk konferensi pers LP3ES pada 6 April 2020, mereka mencatat ada 37 blunder pemerintah di awal Covid muncul. Salah satu yang penting kita ingat adalah peringatan dari Havard kepada menteri kesehatan saat itu yakni Terawan. Ia menolak mentah-mentah peringatan tersebut dan cenderung denial serta mencari-cari pembenaran bahwa Covid tidak bakal sampai ke Indonesia. Hal itu dipertegas dengan aneka lelucon yang tidak lucu dari para menteri. Mulai dari Covid tidak masuk ke Indonesia karena izin yang rumit, hingga virus yang membawa Covid akan mati di Indonesia, sebab cuaca di Indonesia panas akibat dilewati garis khatulistiwa.

Itu hanyalah printilan-printilan jejak digital terkait blunder pemerintah yang tidak serius sejak awal dalam penanganan Covid. Pun begitu, mereka juga secara diam-diam mengesahkan beberapa peraturan yang merugikan banyak orang, ambil contoh Cipta Kerja dan Minerba. Bahkan kebijakan yang dibuat juga lebih menyasar ke elite, seperti peraturan Covid yang menyangkut insentif kepada sektor usaha. Secara gamblang menyasar sektor usaha besar, bukan sektor rentan menengah kecil yang paling terdampak.

Ketidakseriusan itupun berlanjut, kala Presiden secara gamblang mengatakan kita harus berdamai dengan Covid dan memulai hidup baru, di Era Baru alias New Normal. Padahal kasus sedang tinggi, pelacakan dan penanganan yang tidak maksimal. Seperti penggunaan alat tes yang tidak dikontrol pemerintah, kekurangan alat-alat kesehatan, obat-obatan bahkan para tenaga kesehatan yang tidak mendapatkan insentif sebagaimana mestinya.

Sementara itu, sektor usaha seperti pekerja pabrik dan informal menjadi yang paling terdampak. Banyak di antaranya diberhentikan dari pekerjaan, sektor informal kolaps karena kebijakan pembatasan yang tidak terukur dengan baik. Mulai dari PSBB, PPKM hingga terbaru PPKM Darurat. Padahal banyak dari ahli sedari awal menyarakan karantina wilayah penuh untuk di kota besar, khususnya gerbang masuk dari luar negeri, tetapi diabaikan. Malah orang diajak berpariwisata, pintu dibuka lebar tanpa ada kekhawatiran.

Kini semua panik ketika rumah sakit mendadak penuh, menyalahkan individu bahkan ada yang nyeletuk herd stupidity yang ditujukan ke mereka yang menengah ke bawah. Saya garis bawahi  mereka pun sebenarnya tahu Covid itu ada, tapi jika merujuk catatan Zizek dalam “Pandemik” yang ia mengutip Kubler-Ross, saat ini bukan pada fase denial lagi tetap acceptance alias pasrah. Sebab tak punya pilihan lain, berkerumun dan beraktivitas di luar karena menyambung hidup. Di rumah saja tanpa jaminan sosial maka mereka akan mengalami keterancaman hidup.

Situasi sekarang adalah hasil dari transformasi sosial elemen-elemen negara ke arah “Illiberal Democracy” atau demokrasi yang membatasi partisipasi atau kehendak bebas turut dalam pemerintahan. Pemerintah semakin jauh dari rakyat dan rakyat semakin terasingkan dalam ruang politik.

Sebagai contoh kala pemerintah tidak serius menangani pandemi, tetapi masyarakat sebagian besar abai dengan kebijakannya, kecuali di sosial media. Hasil panjang dari alienasi politis, di mana pada pemilu banyak yang memilih tanpa terlibat pada proses menentukan siapa yang akan dipilih. Ekses dari perjalanan panjang politik elitis, yang mana sejak Orde Baru masyarakat dipisahkan dari partisipasi politik.

Karena kebijakan Covid, tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Apalagi banyak dari riset seperti catatan Aspinall dan Berenschot dalam “Democracy for Sale” sudah dijelaskan proses pasca Orde Baru politik di Indonesia tidak banyak berubah, malah mengalami transformasi aktor di mana patron tidak lagi pada Suharto tapi kini menyebar ke kroni-kroninya. Politik uang merajalela dengan digawangi pebisnis yang berpolitik, menjadikan “rent seeking” atau para pencari untung menguasai sendi pengambil kebijakan. Dampaknya partisipasi hilang, elitisme menguat, dan demokrasi mengalami kemunduran. Hasilnya kebijakan dan regulasi hanya dibuat untuk memfasilitasi keuntungan segelintir orang.

Iqra Anugrah, dalam artikelnya “The Illiberal Turn in Indonesia Democracy” memperkuat catatan Aspinall dan Berenshot, bahwa stagnasi demokrasi sudah ada sejak era Susilo Bambang Yudhoyono, di mana praktik klientelisme dan rent seeking menguat, ini dibuktikan dengan pengambilan kebijakan dan pembuatan regulasi yang hanya menguntungkan kroni-kroninya.

Di era Jokowi praktik “Illiberal” semakin dalam, dengan konsolidasi kekuasaan dengan merangkul musuh politiknya, memfasilitasi mereka, bagi-bagi jatah dan menjadikan pemerintah di era ini miskin oposisi. Partisipasi menurun drastis, bahkan aneka regulasi muncul untuk merepresi partisipasi.

Catatan-catatan ini adalah sebuah pendekatan dalam melihat pandemi secara singkat, terutama merespons kebijakan yang tidak benar-benar dilakukan secara baik, karena ada sebab politis. Terutama menguatnya elitisme dan semakin terasingnya masyarakat. Pandemi ini dengan aneka kebijakan dan regulasinya, merupakan contoh konkret kemunduran demokrasi dan menguatnya otoriterisme baru. Pilihannya ada di masyarakat, yakni mau membiarkannya atau memperbaikinya dengan lebih aktif berpartisipasi pada ranah politis.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.