Satu hari pasca Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka, terjadi peristiwa mencengangkan ketika narasi sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perubahan narasi di sila pertama ini tidak bisa dinafikan telah menjadi polemik yang terus berlangsung bahkan sampai sekarang, sebab menyangkut dasar negara Indonesia.
Secara historis, perdebatan mengenai dasar negara telah terjadi bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pada 9 April 1945, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dibentuk sebagai salah satu wujud janji Jepang kepada bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan.
Badan yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat ini bertugas untuk membicarakan dan merumuskan beberapa aspek fundamental kenegaraan, mulai dari bentuk negara, batas negara dan dasar negara (Maarif 2006:103).
Pembicaraan berjalan lancar setidaknya sebelum pembahasan mengenai dasar negara. Mengenai bentuk negara, hampir seluruh anggota BPUPKI menyepakati Republik sebagai bentuk negara yang cocok diaplikasikan untuk bangsa Indonesia.
Perdebatan panas terjadi ketika dasar negara ditawarkan ke forum (Maarif 2006:104–105). Muncullah dikotomi antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis Sekular. Antara mereka yang menginginkan negara Indonesia berdasarkan syariat Islam dan mereka yang menolaknya.
Perdebatan yang berlangsung pada dasarnya berkisar di wilayah apakah Indonesia akan menjadi negara Islam atau negara Sekular. Bagi golongan nasionalis Islam, Islam tidak mungkin dilepaskan dari wilayah sosial-kemasyarakatan, termasuk dalam urusan negara.
Sebaliknya bagi golongan nasionalis Sekular, dengan pluralitas bangsa Indonesia (suku, budaya, bahasa dan agama) yang sedimikian rupa, menjadikan Islam sebagai dasar negara memunculkan ketakutan akan adanya perpecahan di tubuh bangsa.
Ketakutan ini diwakili oleh pidato Soepomo tertanggal 31 Mei 1945:
Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar, yaitu golongan Islam.
Jikalau Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul soal-soal “minderheden”, soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain… golongan-golongan agama kecil itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara. (Latif 2014:10).
Meski dilalui dengan diskusi yang alot, pada akhirnya lahir keputusan untuk menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Kesepakatan ini dicapai pada tanggal 22 Juni 1945, yang kini dikenal dengan Piagam Jakarta (Maarif 2006:109). Selain narasi sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, seluruh narasi di keempat sila tetap sebagaimana yang kita ketahui sekarang.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari pasca Indonesia merdeka, narasi sila pertama kembali diperdebatkan dan akhirnya dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh sebagian umat Islam, peristiwa tersebut dianggap menjadi suatu kekalahan politik. Meskipun Alamsjah Ratu Perwiranegara menyatakan bahwa peristiwa perubahan narasi sila pertama sebagai “hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia demi menjaga persatuan” (Maarif 2006:111; Muhammadiyah 2015:10).
Terlepas dari berbagai diskursus yang penuh polemik, peristiwa tersebut menunjukan bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilan dari beragam entitas yang berbeda telah sepakat dan memastikan bahwa Indonesia merupakan negara yang multikultur, multietnis, multiagama.
Tidak ada pembedaan atas dasar agama, baik mayoritas maupun minoritas; superior maupun inferior (Shofa 2016:37). Adanya kelompok mayoritas dan minoritas memang tidak bisa dinafikan, tetapi hal tersebut (seharusnya) tidak bisa dijadikan alasan untuk berlaku tidak adil apalagi melakukan kesewenang-wenangan dan penindasan.
Sebagaimana yang tercantum dalam narasi Pembukaan UUD 1945, meski tidak mendeklarasikan diri sebagai negara Islam, nilai-nilai keislaman telah tertanam dalam falsafah negara.
Artinya, telah terjadi objektifikasi dari nilai-nilai yang sejatinya merupakan representasi dari Islam kemudian mampu diterima sebagai nilai-nilai yang bersifat universal dan diterima oleh berbagai kalangan (Kuntowijoyo 2006:61–65).
Salah satu implikasi dari proses objektifikasi adalah Indonesia tidak menjadi negara Islam, tidak pula menjadi negara Sekular, melainkan berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan bangsa, permusyawaratan dan keadilan menjadi pandangan hidup yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut “mengandung jiwa, filosofi, pemikiran, dan cita-cita bernegara untuk dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan kebangsaan oleh seluruh warga dan penyelenggara negara dengan penuh makna dan kesungguhan” (Muhammadiyah 2015:3).
Pada akhirnya, meminjam istilah Nurcholis Madjid, Pancasila adalah common platform yang menjadi pemersatu bagi ragam suku, budaya, bahasa dan agama. Suatu sistem nilai yang digali dari akar sosiohistoris bangsa Indonesia sehingga harus dijaga dan dilestarikan (Shofa 2016:39) selain juga digali dari nilai-nilai luhur ajaran Islam (Muhammadiyah 2015:12).
“Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah Swt” (Muhammadiyah 2015:12).