Hampir satu abad lamanya, gejolak antara Palestina dan Israel tak kunjung usai. Isu kemanusiaan dan kemerdekaan bangsa Palestina menjadi perbincangan warga dunia termasuk Indonesia. Konflik yang bermula dari klaim atas tanah tersebut semakin panas dan sentimentil karena dibumbui sentimen-sentimen teologis. S
ebut saja bagaimana Edmund Henry Hynman Allenby seorang militer inggrris yang menjadi komandan Egyptian Expeditionary Force (EEF) ketika berhasil merebut Yerusalem (Palestina) dari tangan penguasa Ottoman, ia berucap “perang salib telah usai” sesaat ia menginjakkan kakinya di kota tua itu, atau doktrin “tanah yang dijanjikan” dan “kiblat pertama” menambah buram akar sejarah penguasaan oleh Israel atas tanah palestina.
Nama Palestina di kenal sejak berabad- abad lamanya. Pada abad 12 SM terdapat komunitas penduduk yang mendiami sebagian kecil tanah di pantai selatan antara Tel Aviv-Yafo dan Gaza hari ini. Wilayah tersebut oleh seorang penulis Yunani disebut sebagai “philistia” yang menjadi asal muasal nama Palestina (Britanica.com, 2021).
Ketika penguasaan di tanah palestina berpindah ke tangan kekaisaran romawi kata “Palestina” digunakan sebagai nama untuk wilayah selatan dari provinsi Syiria. Namun, pengertian tentang “Palestina” berubah ketika kekalahan menimpa kekaisaran Ottoman pada perang dunia pertama. Penguasaan terhadap palestina pun berpindah dari Ottoman ke Inggris. “Palestina” pun berubah menjadi nama yang menunjukkan wilayah geografis antara laut Mediterania dan sungai Jordan. Begitulah riwayat Palestina silih berganti kekuatan pernah menguasai tanah tiga agama itu.
Asal Mula Konflik
Pasca kekalahan kekaisaran Ottoman pada perang dunia pertama, Inggris menjadi penguasa penuh atas daerah Palestina. Pada tahun 1947 setelah lebih dari dua dekade lamanya Inggris berkuasa di tanah para nabi itu, muncul sebuah proposal untuk membagi tanah palestina menjadi dua bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam proposal tersebut PBB mengusulkan untuk membagi tanah Palestina untuk Orang-orang Yahudi dan Arab, sementara Yerusalem akan dijadikan sebagai wilayah internasional dengan status khusus.
Gagasan tersebut menuai kontroversi. Orang-orang Yahudi setuju sementara para pemimpin Arab ketika itu menolak keras. Pada tahun 1949, Inggris menarik diri dari penguasaan atas palestina. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh orang-orang yahudi untuk mendeklarasikan berdirinya Negara Israel.
Sementara itu pemimpin-pemimpin Arab-Palestina menolak dan melakukan penggalangan dukungan dari pemimpin-pemimpin Arab lainnya untuk mencegah terbentuknya Negara Israel di tanah Palestina. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perang pertama antara negara Arab melawan Israel dan berkepanjangan hingga hari ini.
Berbagai solusi telah ditawarkan untuk meredam konflik antar kedua kubu, diantaranya adalah ; pertama, two state solution yaitu solusi membagi tanah Palestina menjadi dua negara yaitu negara Israel dan Palestina, namun solusi ini tidak bisa terwujud karena adanya perbedaan pandangan politik anatar kedua kubu dominan di palestina (Hamas dan Fattah).
Kedua, trhee state solution yaitu solusi membagi tanah Palestina menjadi tiga negara yaitu negara Israel, Palestina (Hamas) dan Palestina (Fattah) namun solusi ini pun tak kunjung terwujud. Bahkan sempat ramai solusi di perbincangkan solusi ketiga yakni one state solution yaitu solusi menjadikan tanah palestina menjadi satu negara yang berdasrkan demokrasi, sehingga siapapun baik hamas, fattah maupun yahudi mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin. Namun, ide ini ditolak oleh Israel dikarenakan mereka berkeinginan mendirikan negara berdasarkan agama yahudi.
Hegemoni AS dan Pudarnya Solidaritas Negara Arab
Dalam isu tentang Palestina dan Israel, Amerika Serikat berperan penting di dalamnya. Kerap kali AS menjadi mediator perdamaian di kawan timur tengah. Masih melekat dalam ingatan kita, tahun 1978 melalui Camp David Accord’s, AS menginisiasi perdamaian antara Mesir dan Israel. Perjanjian damai setelah terjadi perang selama enam hari tersebut terjadi pada saat Jimmy Carter manjadi presiden AS dan Anwar Saddat menjadi presiden Mesir. Namun, hal tersebut membuat Mesir disisihkan dan dikeluarkan dari organisasi Liga Arab.
Peran AS teranyar adalah bagaimana ia menjadi mediator normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara arab semisal Uni Emirat Arab (UEA), Lebanon dan beberapa negara Arab lainnya. Kemampuan Amerika untuk melakukan semua itu adalah bukti kuatnya Hegemoni AS di negara-negara kawasan timur tengah. Hegemoni As terhadap Negara-negara Arab bukah hanya pada bidang ekonomi manu juga dalam bidang politik, sehingga wajar jika AS menjadi pemain kunci dalam isu-isu yang berkembang di kawasan timur tengah.
Normalisasi hubungan yang dilakukan Negara-negara arab dengan Israel menunjukkan memudarnya solidaritas negara-negara Arab terhadap perjuangan bangsa Palestina. Bagaimana tidak ditengah perjuangan rakyat palestina melawan pendudukan yang dilakukan Israel, justru negara-negara tetangganya menjalin hubungan mesra denga Israel. Hsl tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya; pertama, kuatnya pengaruh AS. Sebagaimana kita ketahui AS merupakan negara pendukung utama Israel dalam konflik Israel-Palestina.
Tentu kita masih ingat beberapa tahun lalu, pendahulu Bidden, Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan AS dari Tel-Avin ke Yerusalem. Sementara itu, di lain sisi negara-negara Arab, sangat bergantung kepada AS, sebagai contoh Mesir setiap tahunnya mendapat bantuan dana pertahanan dari AS dengan jumlah yang sangat besar, begitu juga dengan negara-negara Arab lainnya termasuk Arab Saudi, sehingga akan sulit bagi mereka untuk berseberangan dengan AS dalam Isu tentang Israel-Palestina.
Kedua, terjadinya pergeseran definisi ancaman di kalangan negara-negara Arab. Pada mulanya ancaman bagi negara Arab adalah lahirnya negara zionisme Israel, namun belakangan ancaman itu bergeser kepada membesarnya pengarus Iran di kawasan. Sehingga negara-negara Arab tidak menjadikan Isu Israel-Palestina menjadi isu prioritas.
Ketiga, konflik internal negara-negara Arab. Sebagian besar negara Arab saat ini sedang mengalami kekisruhan di dalam negerinya sendiri, perebutan kekuasaan antar faksi menjadikan mereka lebih banyak menaruh fokus pada isu-isu dalam negeri mereka, sehingga ketika terjadi kekerasan oleh Israel terhadap bangsa Palestina tidak banyak negara Arab yang bersuara.
Berkaca pada hal tersebut, Indonesia sangat ditunggu peranannya. Pemerintah Indonesia harus aktif menyuarakan kemerdekaan Palestina serta mendesak PBB dan terutaman AS membantu rekonsiliasi antar kedua negara yang berkonflik. Suara Indonesia sangat dibutuhkan demi kemanusiaan dan perdamaian.
Atas nama kemanusiaan, kita punya tanggung jawab moral untuk terus bersuara menghentikan segala kekerasan perang yang terjadi di Palestina. Anak kecil, perempuan, dan warga sipil harus dileselamatkan. Kolonialisme dan penindasaan terhadap kaum yang lemah tidak boleh dibiarkan.