Akhir Ramadhan diwarnai dengan serangan yang berulang dari Zionis Israel kepada Palestina. The Reuters melaporkan bahwa tembakan roket dan serangan Israel berlangsung secara masif hingga terdengar sampai kepada Kota Gaza.
Laporan pada 10 Mei 2021, korban meninggal sudah mencapai 26 jiwa akibat serangan brutal tersebut. Tidak hanya itu, laporan terbaru menyatakan bahwa di Jalur Gaza, korban luka sudah mencapai 152 orang. Menteri Kesehatan Palestina mengungkapkan bahwa, “Korban tewas termasuk 10 anak-anak dan seorang wanita […] Salah satu anak yang tewas adalah seorang gadis berusia 10 tahun dan korban lainnya adalah anak laki-laki dari berbagai usia.”
Konflik historis tersebut memang dibenarkan adanya setelah Menteri Pertahanan Israel, Benny Gantz menyatakan bahwa serangan Israel dilakukan melalui persetujuan dengan dikerahkannya 5.000 tentara. Tidak hanya itu, Gantz juga mengungkapkan tujuannya agar menggempur 130 sasaran teror termasuk penyimpanan dan pabrik senjata.
Hal ini dilakukan oleh Israel saat mendapatkan laporan bahwa di Kota Ashkelon, Israel, dua warga israel meninggal akibat serangan roket di Gaza. Dilansir dari BBC Indonesia, Juru Bicara, Letnan Kolonel Jonathan Conricus mengatakan bahwa, “Kami akan terus menghantam Hamas dan semua komponen militer mereka karena agresi mereka terhadap Israel.”
Namun, yang dilakukan Israel sudah berlebihan. Sejak konflik historis tersebut muncul pertengahan abad 21, Israel memang sudah memiliki niat untuk menduduki tanah Palestina karena sudah dianggap sebagai ‘Tanah yang telah dijanjikan oleh Tuhan’ oleh para Yahudi. Migrasi besar-besaran dari Eropa membuat Palestina sedikit demi sedikit tergeser kedudukannya.
Terlepas dari semua itu, tujuan awalnya Israel yang awalnya hanya mencari suaka berubah menjadi perebutan tanah salah satu tujuannya adalah Masjidil Aqsa. Posisi Israel semakin kuat setelah didukung oleh Mantan populis Amerika Serikat, Donald Trump. Trump berusaha untuk menjajaki kesepakatan kepada negara-negara Muslim seperti UAE dan Bahrain pada pertengahan 2020 yang dinamai Abraham Accord. Perjanjian tersebut sangat manis, dengan menjanjikan beberapa kesepakatan strategis seperti investasi sampai penerbangan langsung. Sejak saat itu, memang menjadi pukulan telak bagi Palestina. Ditambah lagi, sebagai bukti mendapatkan dukungan yang telak dari Trump, Amerika Serikat memindahkan Kedutaan Besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 2018.
Sikap tersebut tidak ada respon yang signifikan dari negara-negara Muslim lainnya seperti Arab Saudi. Namun, sejak 2018, memang Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdoğan memiliki langkah yang tegas. Turki merespon dengan mengajak Malaysia, Qatar, Kuwait bahkan Yordania untuk menentang serangan dari Israel. Disamping itu, sejak dibawah kepemimpinan Erdogan, Turki sangat menentang keras seperti halnya dilakukan oleh Indonesia. Namun, bedanya, Indonesia kurang melakukan langkah yang kuat.
Pada 10 Mei 2021, Presiden Joko Widodo angkat bicara terkait insiden kekerasan tentara Israel terhadap umat Islam Palestina di Masjid Al-Aqsa, Yerusalem. Pernyataan tegas Jokowi disampaikan melalui akun Twitternya yang mengungkapkan bahwa, “pengusiran paksa warga Palestina dari Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur, dan penggunaan kekerasan terhadap warga sipil Palestina di Masjid Al-Aqsa tidak boleh diabaikan.”
Track record Indonesia dalam isu Palestina sudah besar bahkan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam beberapa kali kesempatan yang besar, Indonesia hampir setidaknya empat kali menduduki Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB atas dasar membela rasa kemanusiaan yang besar. Dalam beberapa laporan juga menyatakan bahwa, Indonesia hanya melakukan penolakan dalam bentuk pernyataan dan diplomasi yang lemah. Walaupun sisi kemanusiaan Indonesia hidup, dibuktikan dengan beberapa donasi yang diberikan kepada orang Palestina, seharusnya Indonesia mengambil langkah yang tegas dalam konteks global.
Langkah awal, Indonesia bisa menyatakan secara keras kepada PBB, Amerika Serikat, bahkan Israel sekalipun terhadap isu tersebut. Menyadari bahwa tidak memiliki posisi yang kuat di dalam PBB karena tidak memiliki hak veto, Indonesia seharusnya melanjutkan koalisi yang bagus kepada salah satu anggota tetap PBB salah satunya China. Jadi, China tidak hanya menjadi mitra utama dari investasi di Indonesia namun dapat menjadi teman baik dalam melawan Israel. Diplomasi di tingkat atas, memang dibutuhkan dalam menunjang langkah Indonesia jika memang secara serius membela Palestina.
Hingga, saat ini, Presiden Amerika Serikat yang baru, Joe Biden belum memilih langkah yang maksimal dalam menanggapi isu tersebut. Namun dilansir dari The New York Times, pemerintahan Biden lebih kearah memilih langkah two-states solutions. Sebenarnya ini bisa menjadi langkah baru bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil hati Amerika Serikat dalam berkoalisi. Hal itu juga dapat mendorong langkah yang lebih maju ke depan ketimbang hanya mengirimkan donasi dipersetiap konflik terjadi.
Maka daripada itu, Pemerintah Indonesia harus bermain agresif jika peduli dengan Palestina. Palestina bukan lagi masalah agama, bukan lagi hanya masalah kemanusian. Namun, isu Palestina juga dapat menguji kelayakan Indonesia dalam berdiplomasi dengan hegemoni dunia.