Jumat, April 19, 2024

Pakai Istilah Ilmiah: Ingin Buat Orang Paham atau Mau Dikagumi?

Musthain Asbar
Musthain Asbar
Masih mahasiswa dan bukan siapa-siapa.

Gunakan bahasa tertentu pada tempatnya. Bahasa yang rumit nan njelimet tentu tidak tepat digunakan untuk masyarakat pedesaan. Jika dipaksakan atau dipamerkan, bakal membuat anda berlagak seperti orang gila. Bicara sendirian. Walau di depan anda ada puluhan warga desa mendengar, tapi mungkin, tak satu pun dari mereka paham dengan penyampaian ilmiah anda. Ujungnya, tak ada diskusi, tak ada pertukaran pengetahuan.

Begitu kira-kira nasihat yang saya berikan untuk diri sendiri, sesaat setelah mendengar pengalaman seorang kawan yang menjadi orang gila, dengan berbicara sendiri, selama setengah jam di depan warga desa.

Kala itu, di tahun 2017, kawan saya tadi sedang menjalankan Kuliah Kerja (tak) Nyata, di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Selayaknya mahasiswa KKN lain, ia juga diwajibkan membuat program kerja sesuai dengan program studi yang digeluti di kampus untuk dilaksanakan di desa tempatnya mukim selama sebulan lebih.

Ia pun memilih untuk menyampaikan (hafalan) kuliah ekonomi yang didapatkan dari kampus. Bersamaan dengan kawannnya yang menggelar pelatihan membuat produk olahan pangan pertanian, ia pun mulai membawakan materi yang sudah disiapkan dalam slide power point.

Marketing dan branding, jadi pembahasan utamanya saat itu. Kedengaran keren kan? ia pun sempat berpikir begitu, berpikir bahwa istilah keminggris bakal membuat banyak orang takjub. Sebagaimana dosen-dosen di kelas atau di seminar. Sebagaimana senior-senior dalam kajian atau diskusi bersama di sekret lembaga mahasiswa. Begitu pikirnya. Pikiran yang dipengaruhi kampus dan kota.

Hoooammm. Hanya suara itu yang terdengar, kata kawan saya tadi, di antara penjelasan tentang marketing dan branding produk ekonomi kreatif. Juga penjelasan tentang mengurangi cost produksi agar profit semakin banyak. Dan penjelasan tentang maintanance usaha. Semua sajian penjelasan dengan bumbu keminggris dan ilmiah. Lezat didengar bagi orang kampus dan kota, tapi membingungkan bagi orang desa.

Setelah lakon bicara sendiri usai, tak ada satu pun pertanyaan yang dilontarkan warga. Serupa khotbah sebelum shalat Jumat. Sunyi. Diam. Hening. 3 kata itu menyatu dengan suasana rumah panggung khas Bugis tempat ia dan kawannya menyelenggarakan proker itu. Tapi, ia bercerita, bahwa dalam hati ia bersyukur, sebab selesai sudah syarat wajib untuk bisa lulus 4 SKS. Walau di sisi lain, jika dipikir-pikir, betapa mirisnya, mahasiswa gila yang bicara sendiri di depan warga desa dapat nilai A dari kampus.

Alasan adanya keinginan untuk tampil keren dengan memakai istilah ilmiah dan keminggris tidak pada tempatnya telah ia sampaikan. Katanya, ia sempat takjub pada retorika senior dan dosennya. Saat bercerita ihwal pengalamannya ini, Ia bahkan mengutip perkataan dosennya yang bicara begini:

“Bahasa kita beda dengan orang awam. Jadi kita, yang berada di lingkungan akademik harus selalu pakai istilah ilmiah,”

Awam. Istilah yang dalam kamus besar bahasa Indonesia versi daring berarti: umum, kebanyakan, biasa, tidak istimewa. Dalam pengertian selenjutnya, awam berarti: orang kebanyakan, orang biasa (bukan ahli). Menurut dosen kawan saya tadi, sebagai orang yang (katanya) terpelajar, mahasiswa sebaiknya tidak mengikuti cara berpikir orang awam, orang kebanyakan. Penyampaian pengetahuan menggunakan bahasa/istilah ilmiah itulah yang membedakan orang kampus dengan orang awam, pungkasnya.

Jika seperti itu, lantas bagaimana cara pertukaran pengetahuan ke masyarakat?

Setahun setelah mendengar pengalaman KKN kawan tadi, saya berkegiatan di desa, lewat sebuah program relawan yang dibuat salah satu komunitas di Makassar.  Karena pernah mendengar pengalaman tadi, saya pun lebih sering diam. Lebih banyak mendengar warga setempat. Dari situ saya jadi sedikit tahu cara berpikir warga desa tempat saya mukim sementara.

Seperti kemampuan masyarakat desa untuk mengamati tanda-tanda alam. Memang, tanpa harus lulus dalam mata kuliah metode penelitian, masyarakat desa sehari-hari sudah melakukan penelitian mereka sendiri. Lewat pengamatan tiap-tiap hari. Cuaca, musim, tanaman, biasanya jadi objek penelitian mereka.

Hasil dari pengamatan itu, bisa mereka jelaskan dengan bahasa daerah setempat. Kalau pun mereka bisa menjelaskan dalam bahasa Indonesia, biasanya, ada bias yang terjadi. Ada istilah bahasa daerah yang tidak punya terjemahan atau susah mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.

Begitupun dengan istilah ilmiah, membutuhkan penyesuian yang tidak mudah ketika hendak dipaparkan di depan warga desa.

Selama ini, orang kampus dengan bangga berbahasa ilmiah, bahasa yang digunakan oleh mereka yang tinggal di menara gading. Sebuah tempat tinggi yang tak dapat disentuh masyarakat biasa. Mereka semakin ekslusif dengan menggunakan bahasa ilmiah. Bahasa ilmiah semestinya digunakan saat berkomunikasi antar ilmuwan saja, bukan untuk dipamerkan ke masyarakat yang tak dapat menjangkau bahasa tinggi menjulang itu.

Sebenarnya, dengan pengetahuan yang diperoleh dari kampus, bukankah mahasiswa dan dosen sebaiknya menyebarluaskannya dan membuat orang lain paham? Bukannya berbicara dengan bangga lalu kagum pada diri sendiri setelah berbicara pakai bahasa tinggi dan tak satu pun orang mengerti?

Bahasa ilmiah dan istilah keminggris memang jadi penanda status sosial masyarakat tertentu. Tapi selayaknya, pengetahuan itu dibumikan, bukannya dibuat sebagai alat untuk membuat bangga diri sendiri dan semakin memperlebar jarak antara masyarakat dengan kampus.

Musthain Asbar
Musthain Asbar
Masih mahasiswa dan bukan siapa-siapa.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.