Pandemi Covid-19 mampu mengalihkan pola perilaku masyarakat dalam rangka penyesuaian diri terhadap kondisi. Terbatasnya akses mobilitas, menjadi faktor yang mampu mendorong peningkatan penggunaan teknologi digital pada masyarakat.
Berdasarkan Databoks (2019), Indonesia menempati urutan pertama dengan nilai transaksi ekonomi digital sebesar US$ 40 miliar pada tahun 2021, dan diprediksi dapat menyentuh angka US$ 124 miliar di tahun 2025. Dengan data tersebut, memberikan konsepsi dalam memaksimalkan pendapatan negara melalui instrumen pajak sebagai fungsi budgetair yang mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi di masyarakat.
Potensi pendapatan atas transaksi ekonomi digital menjadikan Pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 60/PMK.03/2022. Tarif yang dikenakan pada PPN PMSE sebesar 11%.
Adanya implementasi PPN PMSE dapat mengoptimalkan pendapatan melalui sektor pajak digital, mengingat potensi yang sangat besar. Namun, PPN PMSE diIndikasikan belum dapat melaksanakan fungsi budgetair dengan maksimal. Pengenaan pajak digital pada perusahaan dilakukan ketika nilai transaksi melebihi batas, padahal pendapatan digital perusahaan berfluktuatif dan mengalami perbedaan yang signifikan. Hal ini juga menyebabkan kebijakan PPN PMSE dianggap menimbulkan ketidakadilan di antara pelaku usaha.
Mekanisme dan Tantangan Pemberlakuan PPN PMSE
Dalam rangka optimalisasi kepastian hukum atas pemungutan PPN PMSE, pemerintah mengeluarkan aturan terkait pungutan PPN PMSE yang tertuang dalam PMK No. 48/PMK.03 yang mulai efektif berlaku sejak 1 Juli 2020.
Pada realitanya, PPN PMSE memberikan pengaruh terbesar bagi penerimaan negara. Sampai dengan 31 Oktober 2023, jumlah PPN PMSE yang telah berhasil dikumpulkan pemerintah adalah 15,68 triliun rupiah. Sektor ekonomi digital bahkan dapat menjadi backbone untuk menunjang target penerimaan Indonesia pada 2023 senilai Rp1.718 triliun. Hal ini tentunya akan berjalan, jika seluruh mekanisme dalam pemungutan PPN dapat berjalan dengan baik.
Pemberlakuan PPN PMSE, ditujukan untuk BKP tidak berwujudan dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean yang memiliki syarat seperti;
- Nilai Transaksi dengan Pembeli di Indonesia melebihi 600 Juta Rupiah dalam satu tahun/ 50 juta dalam satu bulan
- Jumlah traffic di Indonesia melebihi 12 ribu dalam satu tahun atau seribu dalam satu bulan
Pemberlakukan ini banyak dikenakan pada perusahaan digital besar yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia seperti Netflix, Google, Spotify, dll. Untuk tarifnya masih sama dengan tarif BKP/JKP berwujud sebesar 11%. Hadirnya PPN PMSE, menambah potensi penerimaan negara yang begitu besar sebab produk digital luar negeri banyak diakses oleh masyarakat. Hal ini yang melatarbelakangi Direktorat Jenderal Pajak untuk mengenakan pajak pada produk digital luar negeri.
Dilain sisi, masih terdapat beberapa tantangan dalam pemungutan PPN PMSE, yakni tantangan terkait data, kurangnya dukungan sistem informasi, tantangan pengkreditan pajak masukan, tantangan terkait upaya penegakan hukum, tantangan dalam bidang regulasi, dan level of playing field. Oleh karena itu, terdapat empat prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemajakan digital, yakni keseimbangan antar seluruh pelaku usaha, pemberlakuan pemajakan baru secara gradual dan light touch, pemajakan digital tidak boleh menjadi halangan, dan pemberlakuan kewajiban perpajakan yang sesuai peran dan model bisnis masing-masing pelaku usaha.
Apa yang harus dilakukan dalam menerapkan PPN PMSE berkeadilan?
Dalam memberlakukan sistem pajak yang berkeadilan, PPN PMSE harus dilakukan dengan langkah jitu untuk dapat mengoptimalisasi pajak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala yang terjadi dalam penerapan PPN PMSE di Indonesia dengan pemanfaatan digitalisasi.
- Mengurangi cost of taxation : skema split payment
Skema ini dapat diawali saat pendaftaran seluruh pelaku usaha yang menggunakan basis digital di wilayah pabean Indonesia. Perusahaan terdaftar akan dipastikan bahwa rekening yang terdaftar untuk melakukan transaksi telah terintegrasi dengan bank khusus milik pemerintah. Secara ringkas, skema split payment dapat digambarkan sebagai berikut.
- Minimalisir pelaku usaha yang melakukan shadow economy : Perolehan akses data dan informasi terkait transaksi PMSE
Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 sebenarnya telah mengatur bahwa pelaku usaha PMSE wajib menyampaikan data/informasi secara berkala kepada Badan Pusat Statistik. Namun, belum ada aturan yang mendasari bahwa informasi tersebut dapat dibagi ke K/L lainnya, khususnya DJP. Sehingga, mekanisme terkait pemungutan PPN PMSE seringkali berjalan kurang optimal karena kurangnya dukungan informasi terkait pelaku usaha. Aturan baru terkait berbagi data pelaku usaha sudah seharusnya diterbitkan.
- Sanksi ketidakpatuhan: Pembatasan Akses
Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah pembatasan jumlah akses ke suatu platform transaksi digital jika belum melaksanakan kewajiban perpajakannya. Sanksi lain yang dapat dilakukan adalah penutupan platform.
Pemberhentian ini dapat dilakukan jika pelaku usaha PMSE terbukti memberikan data/informasi perusahaan palsu, melakukan transaksi digital yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (black market, dll), tidak melaporkan keseluruhan transaksi digital dalam rangka penghindaran pajak (shadow economy), terbukti melakukan kerja sama dengan pihak lain atas seluruh kegiatan yang bertujuan menghindari PPN PMSE, dan melakukan manipulasi terkait pendapatan dan jumlah transaksi dalam rangka penghindaran pajak dengan nilai yang signifikan.