Sabtu, Oktober 5, 2024

Overdosis Idolisasi

Tempat pembuangan sampah paling mengkhawatirkan di Indonesia sebenarnya bukan di Teluk Jakarta, tempat itu lebih mudah dijangkau: kolom-kolom komentar di media sosial. Disana anda bisa menemukan beragam jenis makhluk yang menggebu-gebu menyerbu kolom komentar, ada yang mengultuskan seleb idolanya, ada yang rela mati-matian membela politikus pujaannya, dan di sela-sela itu ada yang mengiklankan teh pelangsing, masker wajah, hingga alat pembesar payudara.

Fenomena ini mampu berkembang pesat di era globalisasi neoliberal berkat program-program liberalisasi ekonomi yang mulai berkembang di masa Orde Baru. Serangkaian kebijakan deregulasi dan privatisasi membuka pasar selebar mungkin dan mengurangi hambatan perdagangan untuk meningkatkan peran swasta di sektor perekonomian nasional dan juga untuk menarik investasi dari korporasi-korporasi multinasional. 

Dalam kapitalisme, konsumen adalah target yang penting. Demi mengontrol kepentingan, mengkomodifikasi kebudayaaan dan menjualnya ke publik yang terlekat pada iklan media sudah menjadi budaya tersendiri dalam kehidupan masyarakat sipil. Media televisi, media cetak, dan media digital, seperti pemilu, berada dalam cengkeraman pasar monopoli yang predatoris. Pilihan dikurangi dan disaring oleh pemodal, bukan berdasarkan apa yang diinginkan atau dibutuhkan publik, tapi seberapa besar keuntungan yang bisa dikumpulkan untuk para pemegang saham. 

Saat kita menyesuaikan diri dengan kehidupan yang ditayangkan televisi dan berupaya untuk meniru citra yang diproduksi media, pilihan sudah ditentukan untuk kita. Pilihan direduksi menjadi nama-nama merek. Pengetahuan dikorbankan untuk konsumerisme dan kebebasan memilih dibatasi demi maksimisasi laba.

Coba nyalakan televisi, mulai dari melankolia eksesif sinetron, FTV-FTV yang saling memamerkan keburukan efek visual dan efek suara, reality show yang mengeksploitasi kemelaratan manusia dengan menjual air mata pesertanya, acara musik atau variety show yang mempertontonkan kekonyolan host-hostnya dan band-band yang diundang hanya untuk menunjukkan kemampuan lip-sync mereka, talent show yang penuh dengan dramatisasi dan sensasionalisme, resepsi pernikahan selebriti yang serba megah dan gemerlap, iklan-iklan berbalut religi, bayangkan saja berapa ratus juta orang yang duduk di depan televisinya setiap malam dan dipaksa untuk menyerap budaya komersialisasi dan eksploitasi simpati yang dipancarkan layar kaca mereka.

Beberapa gejala yang terkait dengan sindrom pemujaan adalah depresi, stres berat, kegelisahan, kesepian, tidak puas dengan tubuh sendiri. Rasa inferioritasnya menyebabkan seluruh energi si pemuja terfokus pada seseorang yang kemungkinan besar sama sekali tidak kenal dengan dirinya. Obsesi dengan kehidupan pribadi figur yang dipujanya dan kecanggihan gadgetnya memudahkan dia untuk mengikuti aktivitas sehari-hari sang pujaan. Kedekatan virtual ini digunakan sebagai sarana untuk melampiaskan obsesi dengan objek yang merepresentasikan fantasinya dan mengukuhkan posisinya sebagai makhluk yang inferior dalam tangga hierarki sosial. 

Hal ini yang mengubah selebriti menjadi komoditas, bukan manusia biasa sebagaimana mestinya. Idolisasi terhadap selebriti menjadi sesuatu yang lazim dan dapat diterima di masyarakat. Obsesi ini pun sukses menghasilkan industri multi-miliar yang terdiri dari majalah, tabloid, acara gosip, reality show, iklan TV, dan media sosial, yang semuanya memanfaatkan obsesi masyarakat terhadap privasi selebriti dan menggabungkan ruang privat dan ruang publik mereka untuk meraup keuntungan berlipat-lipat.

Masyarakat kita demam simbol, pencitraan, dan hashtag. Selama permintaan tetap tinggi, maka itu juga yang akan terus disuplai dan dikeluarkan dari dubur pabrik pencetak simbol, citra, dan hashtag, yakni media massa, oligarki, institusi dan aparatur negara, elite Senayan, lembaga keagamaan, korporasi besar, dan bahkan organisasi-organisasi perlawanan seperti ormas dan NGO. Inilah yang kemudian akan menghancurkan kekuatan oposisi terhadap kekuasaan karena mereka gagal memisahkan diri dari lawannya. Dengan godaan untuk masuk ke dalam struktur hegemoni negara dan menerima itu sebagai garis akhir, mereka otomatis telah mengkonfirmasi penghancuran mereka sendiri dengan bernaung di bawah payung kekuasaan. Berlindung di dalam suaka menggagalkan fungsi dari perjuangan mereka karena telah tunduk dan diadopsi sebagai piaraan politik penguasa.

Yang paling diuntungkan oleh penyakit kronis ini adalah para oligark yang sudah dan masih berkuasa pra dan pasca Reformasi. Dengan mudah sekali calon-calon pemimpin yang sudah mereka seleksi secara internal didewakan rakyat yang telah dikebiri nalar kritisnya oleh pendidikan nasional kita yang bermutu rendah. Cukup menampilkan diri berada di suatu tempat dengan orang atau kelompok tertentu dan mengucapkan beberapa slogan basi dan kalimat banal, sang calon akan dijadikan “Pembela Umat A” dan “Pahlawan B”. 

Setiap pemilu, kawasan perkotaan seantero negeri akan dibanjiri fanatisme dan idolisasi yang menggebu-gebu. Jalanan, pemukiman, dan tempat umum dicemari oleh baliho, spanduk, banner, poster, dan umbul-umbul para caleg yang melecehkan akal sehat: lambang-lambang partai yang menonjol, slogan-slogan konyol dengan sisipan kata ‘rakyat’, wajah ketua umum atau tokoh dari partainya. Politik identitas seperti inilah yang menumpulkan nalar, menghasilkan minimnya aksi nyata dan harapan untuk membangun etika politik pun semakin menipis.

Salah satu contoh dari pengultusan simbol di Indonesia adalah Hari Kesaktian Pancasila. Di era Orde Baru, setiap tanggal 30 September semua orang diwajibkan untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama satu hari penuh untuk mengenang peristiwa berdarah itu dan pada tanggal 1 Oktober mengibarkan bendera satu tiang penuh untuk mengagungkan kesaktian Pancasila. Kegiatan itu masih dilanjutkan oleh rezim sekarang.

Kesaktian? Apa yang sakti tentang kolam darah dari pembantaian, penyiksaan, pemerkosaan, penjarahan, dan pemenjaraan tanpa proses pengadilan jutaan manusia, yang mengatasnamakan sebuah ideologi absolut? Belum lagi stigma yang masih menempel pada siapa saja yang menolak untuk menelan propaganda dan indoktrinasi yang berlangsung selama tiga dekade dan masih dilestarikan hingga kini.

Pancasila ditetapkan sebagai ideologi final, akhir, mutlak, absolut yang tidak bisa dibantah dan tidak dapat diperdebatkan lagi. Yang menganut paham lain atau punya ide yang dianggap ‘a-Pancasilais’, siap-siap saja diasingkan dan dicela. Berpikir merdeka dari kotak yang sudah disediakan menjadi komoditas esoterik dan langka, oleh sebab itu kalau seseorang mementingkan profit, lebih baik untuk tidak keluar dari kotak itu karena pangsa pasarnya kecil. Fanatisme dogmatik seperti ini mengkonfirmasi bahwa mental bangsa ini masih bersifat feodal dan ‘Revolusi Mental’ hanya sebatas slogan kampanye.

Selama sebuah doktrin dinyatakan sebagai dogma dan orang-orang yang tidak menganutnya didiskriminasi dan dikucilkan, masyarakat tidak akan pernah bebas dari belenggu feodalisme. Negara ini surplus doa dan ayat tapi krisis akal dan nalar, maka yang dibutuhkan adalah pemikir, bukan melarang pikiran atau diskusi. Tinggalkan fanatisme, penghalang kejernihan berpikir.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.