Kamis, November 14, 2024

Orientalisme Edward Said: Membongkar Mitos Timur dan Barat

Jason Fernando
Jason Fernando
Seorang pemuda yang gemar menulis dan membaca isu-isu global kontemporer
- Advertisement -

Pemikiran post-kolonialisme selalu dikaitkan dengan salah satu tokoh yang sangat populer dan merupakan keturunan Palestina bernama Edward Said. Melalui bukunya yang berjudul orientalisme yang terbit pada tahun 1979, Said berusaha menelaah sastra Barat yang dipandang sebagai penyimpangan. Said menunjukkan bahwa istilah orientalisme bukan mengacu pada kondisi geografis, namun sebuah cara pandang dimana Barat berusaha merestrukturasi, mendominasi, serta memegang otoritas atas Timur.

Orientalisme menurut Said sangat dipengaruhi oleh aliran post-modernisme ala Michael Foucault, dimana Said itu sendiri menyadari perlunya menggunakan konsep diskursus dari Foucault tersebut, terutama dalam karyanya berjudul “Archeology of Knowledge” serta “Discipline and Punish.” Said secara spesifik berutang banyak pada pemikiran post-modernisme dalam kajian orientalisme-nya, karena bahasa sebagai pembentuk realitas.

Dalam kajian orientalisme, Said juga berusaha menggugat diskursus yang diproduksi dan mengkontruksi pengetahuan negara kolonial (Barat) atas negara jajahan mereka (Timur). Kontruksi pengetahuan imajiner kolonial atas timur, banyak menangkap anomali yang diproduksi para orientalis yang secara tidak langsung memperkosa realita timur dalam lingkup Eurocentrism. Para orientalis Eropa menjadikan Timur sebagai subjek yang dirubah sedemikian rupa untuk kepentingan politis dalam bidang pengetahuan, bukan diposisikan sebagai objek yang ditandai dengan nilai‐nilai eksotisnya.

Konsep mengenai orientalisme didasari pada representasi dari post-modernisme, dimana Said menyatakan bahwa tidak ada hal seperti kehadiran yang disampaikan, tetapi kehadiran kembali atau representasi. Maka itu, kajian orientalisme dari Said berusaha mengungkapkan bahwa pengetahuan Barat mengenai Timur sejatinya hanyalah sebuah representasi, yaitu hasil pemaknaan Barat melalui medium bahasa.

Said memberika tiga ciri khas pemikiran post-kolonialisme berdasarkan kajian orientalisme-nya:

  1. Timur merupakan gagasan tentang sebuah citra, historisitas maupun tradisi pemikiran, serta kosakata yang memberikan gambaran realitas dan kehadiran bagi Barat. Berdasarkan hal itu, orientalisme mengadopsi logika oposisi biner, dimana munculnya citra tentang Timur karena adanya citra tentang Barat. Maka, Timur digunakan sebagai significant other yang memberikan definisi terhadap Barat.
  2. Relasi antara Barat dan Timur merupakan hubungan kekuasaan, dominasi, serta hegemoni. Hal tersebut merupakan implikasi dari logika bineritas yang menunjukkan bahwa Barat berposisi sebagai superordinat (penguasa), sedangkan Timur sebagai subordinat (pihak yang dikuasai).
  3. Orientalisme menandakan kekuasaan Barat atas non-Barat. Berbagai macam gagasan tentang Barat (AS dan Eropa) lebih superior daripada gagasan yang berada di luar Barat (Asia dan Afrika). Dengan begitu, kebudayaan Barat dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi daripada kebudayaan Timur (AS dan Eropa sebagai simbol kemajuan, sedangkan Asia-Afrika sebagai simbol kemunduran).

Edward Said dalam orientalisme-nya ingin membuka mata masyarakat yang menempati negara-negara Timur berkaitan bagaimana perlakuan barat yang masih bersifat imperialis terhadap Timur sampai masa kini. Meskipun batas‐batas wilayah telah dileburkan, sikap negara-negara Barat tetap memandang Timur sebagai wiliyah kolonial mereka. Hasilnya adalah rekontruksi dan dominasi Barat terhadap timur masih menjadi realita yang tidak terbantahkan hingga bertahan. Maka itu, kajian orientalisme menurut Said menunjukkan bahwa realita dunia sampai sekarang pun masih memisahkan antara Barat dan Timur.

Barat juga berusaha terus mengontrol negara-negara berkembang yang terletak di Timur melalui praktik politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pendidikan. Barat merasa berhak mengontrol Timur/non-Barat karena kepercayaan bahwa mereka ditakdirkan menjadi pemimpin atau penguasa atas Timur itu sendiri yang dipandang masih terbelakang, tradisional, belum terdidik, tidak demokratis, serta pelabelan negatif lainnya.

Said melihat bahwa Barat dengan power yang besar dimilikinya merasa memikul tanggung jawab terhadap tatanan global dalam menyebarluaskan nilai-nilai universal ke Timur, dimana nilai-nilai tersebut wajib diadopsi oleh seluruh negara yang ada di dunia. Tentu kehadiran nilai-nilai universal inilah menyebabkan masyarakat Timur terkolonialisasi dalam hal pikiran dan terpaksa mau tidak mau mengikuti setiap kehendak Barat.

Said melalui kajian orientalisme juga memperlihatkan bagaimana setiap sastra Barat menunjukkan penyimpangan budaya. Contohnya yaitu Said menelaah sastra (buku) berjudul “On Liberty” serta “Representative Government” karya John Stuart Mill, dimana kedua sastra tersebut sebagai penyimpangan karena Western Ideas mengenai demokrasi tidak cocok digunakan di beberapa negara Asia-Afrika semata-mata akibat budaya yang inferior. Dengan demikian, orientalisme merupakan diskursus yang mana merepresentasikan hubungan kekuasaan antara Barat dengan Timur.

Referensi

- Advertisement -

Sa’di, A. H. (2021). Orientalism in a Globalised World: Said in the Twenty-First Century. Third World Quarterly, Vol. 42, No. 11, 2505-2520.Said, E. (1979). Orientalism. New York: Vintage Books.

Jason Fernando
Jason Fernando
Seorang pemuda yang gemar menulis dan membaca isu-isu global kontemporer
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.