Kita tentu masih ingat beberapa bulan lalu hebohnya sebuah kasus di Prancis mengenai gambar Nabi Muhammad yang dianggap melecehkan Islam, yang menuai reaksi keras. Dalam kasus dimana seorang guru dibunuh karena menampilkan gambar Charlie Hebdo yang dianggap menghina Islam, reaksi keras ditunjukkan Presiden Prancis Macron: ia menyatakan bahwa Islam sedang dalam krisis, dan banyak (pemeluknya) melakukan tindakan “separatisme Islam” di Prancis. Dengan alasan “memberantas separatisme”, Macron berusaha melakukan tindakan seperti mengeluarkan rancangan aturan yang misalnya mewajibkan pengaturan imam, mengatur pendanaan masjid, dll.
Macron bahkan menegaskan dukungannya pada kartun yang melecehkan tersebut, dan bahkan kartun itu ditampilkan di gedung-gedung. Tidak pelak, sikap Macron (yang diinterpretasikannya untuk “memperbaiki” Islam menjadi ala Prancis) menuai protes, boikot dan demo besar di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sesungguhnya, jika diamati lebih jauh, sikap Macron tersebut seperti menginterpretasikan bahwa adanya stigma bahwa Muslim Prancis adalah kaum yang tidak baik. Mereka dianggap imigran yang keras kepala dan tidak bisa menjadi men-Prancis layaknya warga lainnya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kasus pembunuhan tersebut (dan sejenisnya, seperti kasus Charlie Hebdo tahun 2015) telah menimbulkan kegeraman pada sebagian lapisan masyarakat Prancis. Namun, dengan mengecap semuanya sebagai radikal seakan-akan Macron menganggap seluruh Muslim dan imigran di Prancis adalah kaum tidak beradab yang harus ‘dididik’. Bagaimana kita mencermati hal ini dan melihatnya untuk konteks Indonesia?
Penulis tertarik mengambil suatu teori yang sangat terkenal, yang ditulis oleh Edward Said pada tahun 1978 bernama Orientalisme. Dalam kajiannya tentang kebudayaan Eropa dan Barat, Said menganalisis bahwa dari sejak dahulu hingga kini, budaya populer masyarakat Eropa selalu menggambarkan kaum Timur (Orient) dalam hal ini Muslim dan Arab sebagai kaum yang digambarkan tidak baik dalam berbagai citra.
Walaupun para peneliti dan ahli menganggap bahwa kajian mereka soal Timur Tengah sudah free dari unsur ideologis, namun Said melihat sebaliknya bahwa tulisan dan penciptaan citra dan diskursus oleh mereka di Eropa sendiri memiliki tujuan satu: untuk melanggengkan imperialisme dan kolonialisme bangsa Eropa. Hal ini disebabkan, citra bangsa Timur Tengah dan Islam selalu dicitrakan negatif yang berarti di bawah Eropa seperti barbar, percaya takhayul, mistis, suka berperang, berpikir kolot, tidak pernah berubah (statis) dan semuanya dicitrakan tidak ada bedanya di seluruh tempat.
Karena itulah, agar bangsa ‘kolot’ ini bisa dimajukan maka praktik seperti kolonialisme, imperialisme diperbolehkan untuk bangsa Muslim dan Timur Tengah agar mereka bisa menjadi maju dan meninggalkan budaya barbar tersebut, dalam program yang dikenal dengan nama “civilizing mission“. Masuknya AS sebagai pemain internasional baru pasca PD-II tidak melunturkan hal ini. Justru citra dan stereotip tersebut semakin kuat, yang dibuktikan dengan munculnya kartun, film, drama, novel dll yang menggambarkan kaum Arab tetap sebagai bangsa barbar. Said dan peneliti lainnya pun bahkan menyatakan bahwa efek orientalisme sangat tampak, misalnya pada serangan AS ke Afghanistan dan Irak pada 2001-2003 dan apa yang disebut “War on Terror” pada tahun-tahun berikutnya.
Jika dilihat apa yang dilakukan oleh Macron maka tampaknya sangat sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Said. Macron, layaknya para pendahulunya (dan mungkin banyak masyarakat Prancis – perlu diingat bahwa menurut Said, orientalisme sesungguhnya dimulai dari era pendahulu Macron yaitu Napoleon Bonaparte) masih memegang bahwa bangsa Arab/Timur Tengah dan Muslim, walaupun sudah berimigrasi dan tinggal lama pun masih bersikap kolot, tidak punya budaya tinggi, tidak beradab, suka membunuh, dll.
Seakan-akan tidak ada bedanya antara yang tinggal di Prancis dengan, ambil contoh Irak dan Afghanistan. Mengulang “civilizing mission” di era kolonial, imigran ini perlu dididik, diatur dan dibina agar serupa dan sejajar dengan orang Eropa Prancis yang lebih beradab dan superior. Jelas, cara pandang stereotip orientalis ini menunjukkan bahwa mereka masih belum bisa beranjak dari cara pikir eks negara kolonial.
Pendekatan semacam ini justru bisa saja berdampak pada pelanggaran hak beribadah dan juga bisa mengarah ke diskriminasi dan rasisme. Selain itu, yang sangat diperhatikan adalah, cara pikir penuh stereotip ini justru tidak menjawab akar masalah radikalisme di Prancis dan Eropa. Masalah-masalah tersebut berupa penerimaan yang rendah oleh masyarakat Eropa dalam berbagai bidang, seperti sulit mendapat pekerjaan, tidak mau tinggal membaur, adanya slur, dan lain-lainnya.
Masalah rasisme sistemik ini yang justru pada akhirnya nyatanya banyak membuat masyarakat imigran Muslim teralienasi dari lingkungannya dan mudah ditarik oleh para penceramah yang mengajarkan ajaran yang keras. Seharusnya, pemikiran orientalis ala kolonial ini sudah seharusnya ditinggalkan, diganti dengan cara pikir yang progresif, untuk misalnya mengatasi latar belakang mengapa ia menjadi “radikal”, melakukan pemberantasan radikalisme secara selektif, dan lain-lainnya (bukan dengan stereotip yang dilekatkan pada seluruh masyarakat Muslim imigran), dan lain-lainnya.
Memang terorisme dan radikalisme merupakan masalah yang sangat penting untuk dihadapi oleh manusia, tapi perlu pendekatan yang tepat, bukan pendekatan kuno yang penuh stereotip dan justru bisa melanggengkan rasisme sehingga tidak menjawab masalah dari sumbernya atau menimbulkan problematika baru. Perlu tindakan ramah, inklusif pada seluruh golongan dan kaum tanpa membedakan, agar tercipta kesepahaman berbagai pihak.
Apa pelajaran yang bisa dipetik oleh bangsa Indonesia mengenai hal ini? Tidak bisa dipungkiri bahwa stereotip superioritas masih banyak melekat di masyarakat kita pada kelompok etnik tertentu. Misalnya, pada masyarakat asli Papua yang seringkali diejek dengan kata rasialis. Tidak lupa juga, kita walaupun berusaha menyiarkan Islam yang ramah dan moderat, kenyataannya banyak kaum radikal yang membuat Indonesia sulit mempertahankan citra positif ini di mata internasional. Menjadi renungan dan pertanyaan bagi kita, apakah kita sudsh bisa mengatasi hal ini?
Jangan sampai kita mengkritik dan berdemo pada tingkah laku Macron, tapi kita tidak berkaca pada diri sendiri, layaknya peribahasa “buruk muka cermin dibelah“. Masalah-masalah diatas, tidak bisa juga dianggap biasa saja bahkan remeh karena banyak berakar dari cara pikir masyarakat. Sudah seharusnya Indonesia juga bergerak bersama untuk mengatasi hal-hal yang negatif tersebut demi berkontribusi pada kemajuan nasional dan internasional. Diharapkan, dengan solusi yang baik, maka Indonesia dapat menjadi “model country” tentang bagaimana prinsip toleransi, perdamaian, non-diskriminasi dan lainnya bisa menjadi contoh bagi dunia, termasuk Prancis itu sendiri.