Latar belakang pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat disahkanya RUU Omnibus Law tak lain karena harapan bahwa investasi kelak menjadi daya ungkit perekonomian Nasional.
Sementara menurut data dari BKPM (2019), realisasi investasi dalam negeri dan investasi asing sebesar Rp. 200,5 triliun dengan komposisi PMA sebesar Rp. 104,9 triliun (52,3%) dan PMDN 95,6 triliun (47,7%) pada triwulan II tahun 2019. Sektor yang menjadi primadona untuk PMA adalah Listrik, Gas dan Air dengan nilai investasi sebesar USD 1.350,5 Juta. Dengan demikian RUU Omnibus Law merupakan kekuatan supra struktur.
Ada beberapa poin yang menjadi substansi dalam rancangan undang-undang Omnibus Law; penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketengakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi (menghapus pidana), pengadaan lahan, kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi.
Kesembilan aspek tersebut menjadi pokok usulan yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan yang besar dengan harapan mampu mengurangi jumlah angka pengangguran terbuka sebesar 6,82 juta jiwa (data BPS 2019), pertanyaan mendasar adalah, mampukah RUU Omnibus Law menjadi pemecah kebuntuan ihwal pengangguran di Indonesia? Serta jejauh mana Omnibus Law mampu memberikan harapan bahwa investasi kelak akan berdampak pada masyarakat kecil? Atau, investasi hanya dapat dinikmati oleh elite dan segelintir orang saja?
Bukankah investasi sejatinya bermuara pada penciptaan lapangan pekerjaan yang kelak berdampak pada peningkatan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Melihat trend data yang ditunjukan oleh BKPM bahwa sektor Indistri di tahun 2016 hanya mampu menyerap sebesar 15,8 Juta tenaga kerja, tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 10% yaitu diangka 17,4 juta tenaga kerja.
Tetapi di tahun 2018 peningkatan jumlah penyerapan tenga kerja tidak mengalami jumlah yang signifikan yaitu sebesar 18,1 juta tenaga kerja atau hanya mengalami peningkatan sebesar 4% dari tahun sebelumnya. Sedangkan nilai investasi tahun 2018 mencapai Rp 361,6 triliun, artinya pertumbuhan investasi di sektor industri tak selamanya berbarengan dengan penyerapan jumlah tenaga kerja di sektor industri tersebut.
Alih-alih membela kepentingan buruh, Omnibus Law justru dapat menjadikan buruh tak ubahnya seperti mesin-mesin produksi. Adanya usulan dalam draf tersebut seperti yang pertama adalah hilangnya upah minimum yang diganti dengan upah per-jam. Kedua hilangnya atau ditiadakanya upah untuk pembayaran pesangon pasti akan menciptakan problematika.
Ketiga adalah dengan diperbolehkan outsourcing dan pekerja kontrak tanpa batas. Selain itu juga yang keempat dengan adanya kebijakan pembukaan kran yang selebar-lebarnya untuk tenaga kerja asing. Kelima adalah dihilangkannya jaminan pensiun dan kesehatan juga akan melahirkan persoalan dikemudian hari. Keenam ditiadakannya sanksi pidana pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan dan sanksi terhadap pengusaha yang melanggar ketentuan lingkungan juga aka menciptakan persoalan kedepan.
Omnibus Law: Buah Simalakama
Salah satu usulan dalam draf RUU tersebut adalah bagaimana mekanisme penilaian mengenai analisis dampak lingkungan (Amdal) yang tertuang dalam pasal 29 UU Nomor 32 tahun 2009 akan diubah melalui mekanisme assessment yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan cara penunjukan langsung oleh pelaku usaha. Adanya perubahan tersebut sangat rentan terjadinya praktek-praktek menipulatif dalam mengukur dampak lingkungan, pelaku usaha dapat memesan hasilnya sesuai dengan permintaan serta kebutuhan mereka demi kelanjaran investasi dan menjalankan usaha.
Selain itu juga, dalam RUU Omnibus Law dapat menjadi celah kepada para pelaku usaha yang melakukan kejahatan lingkungan (illegal logging, deforestrasi, dan aktivitas perusakan hutan lainnya). Pelaku usaha dengan mudah melenggang untuk mengeksplotasi lingkungan.
Dengan memberi kemudahan penggunaan kawasan hutan, kemudahan dan percepatan perizinan Izin Penggunaan Kawasan Hutan (IPKH), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan pelepasan Kawasan hutan, problem baru akan muncul. Seperti yang tertuang dalam UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 26, 27, 28 dan 29, yang mengatur pemanfaatan hutan lindung, usulan Omnibus Law seolah memberi angin segar bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan ijin pengelolaan dan pemnfaatan kawasan hutan lindung.
Sementara di satu sisi berdasarkan data Kementrian Kehutanan Republik Indonesia sepanjang 2000-2019, sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Upaya advokasi terhadap satwa-satwa yang rentan (vulnerable animals) sangat mendesak.
Menurut data yang disajikan oleh Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020 hutan Indonesia menjadi tempat berkembang biak 12 persen species mamalia dunia, 7,3 persen species reptil dan amfibi, serta 17 persen species burung dari seluruh dunia. Selainn itu juga riset yang dilakukan oleh WWF menunjukkan antara tahun 1994-2007 telah ditemukan lebih dari 400 spesies baru dalam dunia sains di hutan Pulau Kalimantan.
Lebih lanjut, OECD memproyeksikan bahwa polusi udara luar ruangan dapat menyebabkan antara 6 dan 9 juta kematian prematur per tahun pada tahun 2060 dan menelan biaya 1% dari PDB global sekitar USD 2,6 triliun per tahun. Pencemaran lingkungan dan polusi udara menjadi permasalahan serius.
Pemerintah, industriawan, investor bahkanmasyarakat umum perlu menyadari bahaya tersebut. Untuk itu perlu regulasi yang tepat dan kontekstual guna merespon problem tersebut. Jika problem-problem ihwal lingkungan kita anggap sebagai persoalan yang remeh, maka kita dapat menjamin bahwa target yang ditetapkan oleh UN melalui SGDs hanya isapan jempol.
Investasi dan Oligarki Politik
Persoalan politik di Indonesia tak pernah lepas dari persoalan Oligarki Politik dan kuasa modal. Ongkos politik yang mahal, menjadi salah satu penyebabnya. Atas nama demokrasi elit politik mulai menyiapkan jarring-jaring politik dengan menggunakak hukum sebagai piranti yang ujungnya adalah akumulasi capital. Produk hukum dari para elit menciptakan buldoser-buldoser yang siap untuk mengeruk capital. Jangan sampai atas nama investasi dan cipta lapangan kerja banyak hal-hal yang dikorbankan.
Untuk itu saya sangat sependapat dengan filsof berdarah Jerman Hannah Arendt dalam bukunya The Origins of Totalitarianism (1973), hal. 126 yang mengungkapkan bahwa:
“Imperialism was born when the ruling class in capitalist production came up against national limitations to its economic expansion. The bourgeoisie turned to politics out of economic necessity; for if it did not want to give up the capitalist system whose inherent law is constant economic growth”
Bagaimana kapitalisme selalu berdampingan dengan oligarki semakin menciptakan jurang kesenjangan masyarakat. Hukum yang diproduksi oleh sistem kekuasaan dan disokong oleh segelintir elit politik dan pemodal akan menciptakan imperialism baru ekonomi, para pemilik modal akan berkontestasi masuk kedalam arena politik guna membangun oligarki politik.