Sabtu, Oktober 5, 2024

Obrolan Warung, #KitaAgni, dan Pendidikan Seks di Indonesia

Sarah Amany Wisista
Sarah Amany Wisista
Penulis adalah mahasiswa S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada. Tertarik dengan kebudayaan populer dan studi gender. Puisi, cerita pendek, dan pemikirannya di kala senggang dapat dikunjungi di sjeramany.wordpress.com.

Salah satu bentuk interaksi yang cukup merekatkan relasi pertemanan saya dengan orang-orang di perkuliahan tentu saja adalah ‘obrolan warung’, yang dinamai demikian karena obrolan-obrolan tersebut memang kerap terjadi di antara piring-piring magelangan dalam warung-warung burjo yang menjamur di Yogyakarta.

Obrolan warung ini bisa berangkat dari cara terbaik minum anggur merah sampai ke bagaimana agama adalah konstruksi sosial, dan sifatnya yang ngalor-ngidul inilah yang membuatnya begitu asyik untuk dilakukan.

Pada suatu malam, tepat setelah artikel kontroversial mengenai pelecehan seksual yang melibatkan mahasiswa UGM kala KKN 2015 di Maluku terbit di laman daring Balairung Press, obrolan warung yang tercipta tentu saja tidak jauh-jauh dari reaksi kami mengenai berita tersebut.

Saya terutama mengeryitkan dahi karena analogi “kucing dan ikan asin”, namun hal yang lebih membuat saya tertohok malam itu adalah bagaimana beberapa teman saya dapat mengucapkan kalimat-kalimat seperti ini: “Lagian ceweknya mau masuk kamar, berarti cowoknya enggak sepenuhnya salah, dong.”

Sesungguhnya, saya saat itu ingin langsung berceramah: “Heh, kalaupun aku sudah buka baju di depanmu, kalau aku belum bilang ‘oke’ ya berarti tidak oke, Bambang!” Tapi, daripada dituduh social justice warrior karbitan, saya berusaha berbaik sangka bahwa pemikiran-pemikiran seperti itu pastilah tercipta berkat proses internalisasi yang panjang. Bisa jadi, pola pikir tersebut muncul karena terbatasnya pendidikan seksualitas yang mereka dapatkan ketika masih bersekolah—atau sesederhana mereka tidak bisa berpikir lurus karena lapar menunggu mie dok-dok yang tidak kunjung diantar.

Apapun alasannya, saya kemudian mencoba melacak jejak awal dari munculnya pola pikir ini dengan mengadakan riset kecil-kecilan. Dalam obrolan warung di malam-malam berikutnya, saya selalu berusaha membawa arah obrolan menuju topik ini. Bermula dari pertanyaan-pertanyaan ringan seperti kapan pertama kali menonton film porno dan masturbasi, saya jadi mendapat cerita-cerita yang walaupun bernada haha-hihi tetap memberikan banyak informasi.

Pola pertama yang saya dapati adalah: tidak ada satu pun yang mendapat pengetahuan pertama tentang seks dari orangtua. Alih-alih, kami mendapatkannya dari obrolan dengan teman atau dari produk-produk kebudayaan populer—utamanya yang datang dari “barat” (saya pribadi mendapatkannya dari video klip Teenage Dream oleh Katy Perry).

Sambil mendengar teman-teman bercerita, saya juga jadi ingat sendiri pengalaman-pengalaman personal yang berkaitan dengan hal ini. Saya tidak pernah mengalami pembicaraan serius mengenai seks dengan orangtua–paling jauh, waktu itu ibu mewanti-wanti saya agar “menjaga” pergaulan dengan teman-teman laki-laki setelah saya mendapat menstruasi pertama. Usaha yang cukup baik, saya rasa, walaupun ibu tidak memberikan konteks tentang “menjaga” seperti apa. Jawaban pamungkasnya, saya ingat, bernada seperti ini: “Nanti juga Teteh tahu kalau sudah gede.”

Tidak berbeda jauh dengan keadaan di rumah, sekolah pun nyatanya tak pernah memberikan pendidikan yang benar-benar menyeluruh soal seks. Aspek reproduksi dari seks tetap dibicarakan dalam pelajaran biologi, tentu saja, namun para guru seolah enggan menyentuh bahasan mengenai aspek rekreasional dari seks.

Walaupun begitu, saya menemukan pengecualian dari pengalaman seorang teman yang pernah mengikuti “retret seksualitas” ketika dulu belajar di sebuah SMA swasta Katolik. Dalam tiga hari di sebuah wisma retret Katolik, tim retret (yang didampingi guru-guru) mengajak para siswa untuk berdiskusi mengenai seks.

Diskusi yang terjadi, seperti yang teman saya ceritakan, berlangsung terbuka dan cair. Selain topik kesehatan reproduksi, mereka juga berdiskusi mengenai seks dalam agama dan norma sosial. Siswa-siswa ini diberi pemahaman bahwa seks, utamanya seks sebelum menikah, memang bukanlah sesuatu yang bisa disebut normatif dalam koridor sosio-kultural Indonesia, namun di lain sisi seks juga tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang kotor dan harus ditutup-tutupi.

Yang saya temukan menarik dari retret seksualitas itu barangkali adalah fakta bahwa seks bisa dibicarakan dengan begitu lugas. Seks diposisikan sebagai kegiatan biologis yang senormal tidur dan makan, dan ketiadaan tabu ini justru membuat siswa-siswa dapat dengan nyaman mendiskusikan kebingungan dan pertanyaan mereka dengan sumber yang akan memberikan mereka informasi yang valid dan terpercaya.

Kembali lagi ke persoalan Agni, seorang teman mencetuskan hipotesis yang bagi saya cukup menarik. Teman saya ini, setelah memproklamirkan diri sebagai “pakar bokep”, kemudian menceritakan berbagai genre dalam film porno: mulai dari seks konsensual hingga film-film porno yang melibatkan adegan yang akan masuk ke dalam kategori pelecehan seksual jika itu terjadi di dunia nyata: film-film bertemakan fake taxi, misalnya, juga adegan yang menampilkan seorang aktor yang menggerayangi tubuh lawan mainnya ketika sedang tidur.

“Si pelaku kasus Agni itu,” kata teman saya ini, “mungkin kebanyakan nonton bokep dan lupa kalau seks di film porno dan dunia nyata itu berbeda. Kalau di film porno, mbak-nya pasti sudah di-briefing dong untuk oke-oke saja dipegang-pegang. Di dunia nyata kan enggak begitu.”

Hipotesis teman saya ini sejalan dengan argumen saya bahwa karena kita tidak pernah mendapatkan akses informasi yang bisa kita tanyai tanpa merasa malu, kita pada akhirnya mencari sendiri pengetahuan ini lewat hal-hal yang bisa kita dapatkan dengan bebas: obrolan dengan teman dan produk kebudayaan populer, misalnya. Ketika rasa penasaran ini tidak kunjung terpuaskan, kita pun akhirnya beralih ke sumber yang lebih eksplisit seperti cerita dewasa dan film porno, yang tentu saja tidak memberikan konteks yang kita butuhkan.

Obrolan warung malam itu pun saya lanjutkan dengan melempar pertanyaan berikut: perlukah pendidikan seks—setelah konsolidasi dengan pihak orangtua, tentu—dimasukkan ke dalam kurikulum? Beberapa teman menjawab bahwa itu perlu, namun seorang teman tetap kekeuh mempertanyakan ini: “Memang urgensinya apa?”

“Supaya bisa mereduksi jumlah pelecehan seksual, dong,” jawab saya.

“Pelecehan seksual akan terus ada, lah, tinggal orangnya saja yang punya otak atau tidak,” jawab teman saya ini.

Sambil lagi-lagi menahan keinginan berceramah, saya membiarkan diskusi hangat itu tetap mengalir sementara saya merefleksikan kembali obrolan warung malam ini dan perjalanan saya belajar mengenai seksualitas. Saya rasa, yang saya dambakan terkait pendidikan seks adalah untuk seks agar dapat dibicarakan sebagai ilmu pengetahuan namun juga sebagai produk kultural. Pendidikan seks yang bukan hanya terbatas pada perihal “teknis” belaka, namun juga prinsip-prinsip, pemahaman soal tubuh, konsep consent, dan hal-hal filosofis lainnya.

Saya kemudian menutup refleksi itu dengan menghabiskan es teh tarik pesanan saya, dan pamit pulang. Jalan untuk menuju kesana, saya rasa, masih panjang. Namun, setidaknya, dalam obrolan warung malam ini saya dapat memantik teman-teman saya memikirkan kembali pertanyaan besar itu: apa yang akan terjadi jika kita berhasil meredifiniskan seks sebagai sesuatu yang tidak tabu?

Sarah Amany Wisista
Sarah Amany Wisista
Penulis adalah mahasiswa S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada. Tertarik dengan kebudayaan populer dan studi gender. Puisi, cerita pendek, dan pemikirannya di kala senggang dapat dikunjungi di sjeramany.wordpress.com.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.