Sejak tayang film biopik Nyai Ahmad Dahlan, bermunculan juga jilbab tren Nyai Dahlan. Jilbab yang juga melekat dalam foto resmi atau lukisan Nyai Dahlan. Jilbab yang pada waktu itu nampak berbeda, dibandingkan jilbab kebanyakan. Jilbab tersebut kemudian menjadi ciri khas para anggota Aisyiyah awal-awal berdirinya, termasuk digunakan oleh Siti Maryati ketika berorasi.
Bersama Kyai Ahmad Dahlan, Nyai Walidah mengelola bisnis batik. Jika era sekarang, akan disebut sebagai pengusaha fashion dengan berbagai kreatifitasnya. Bisa jadi jilbab yang dikenakan Nyai Walidah ketika kongres ke-15 Muhammadiyah di Surabaya kala itu, yang kemudian menjadi ikon, memang sengaja didesain khusus, mengingat latar belakangnya sebagai pengusaha dibidang fashion.
Namun “jilbab ikonik” tersebut sepertinya hanya dikenakan ketika acara-acara resmi. Kesehariannya, Nyai Walidah hanya mengenakan jilbab yang semacam kain selempang. Persepsi tentang jilbab, sebagai sebuah pakaian, pada zaman itu sepertinya lebih sederhana dibandingkan saat ini. Apalagi, ketika brand “jilbab syar’i” menjadi trend, yang mana panjang kainnya bisa sampai siku dan lutut.
Tidak saja Nyai Walidah, namun Istri KH. Hasyim Asya’ri dan sederet perempuan Muslim, pejuang dan sebagainya, pada saat itu memang terbiasa mengenakan busana khas daerah masing-masing. Kalau saat ini, nampak juga pada keluarga Alm. Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab dan sederet tokoh Islam terkemuka lainnya.
Bisa jadi karena variasi fashion yang tidak sebanyak saat ini, bisa jadi pula bahwa jilbab dipandang lebih substansial, ketimbang hanya sekedar pakaian. Bahwa ada pandangan yang menyatakan jilbab tidak identik dengan pakaian saja, ini sejalan juga dengan pemahaman fiqiyah yang sekurang-kurangnya bersumber dari empat Imam Mahzab.
Aurat sendiri adalah bagian tubuh yang wajib ditutupi. Sebab jika tidak, ia bisa menimbulkan fitnah atau hal-hal buruk lainnya yang menjurus pada dosa. Perempuan dan Lelaki memiliki batasan aurat yang berbeda. Aurat perempuan lebih ketat, Imam Hanafi, Syafii dan Hambali nampak sependapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan, dan kaki. Sementara Imam Maliki membagi antara aurat berat (Mughaladzah) dan aurat ringan (Mukhaffafah).
Sekujur tangan dan tepian rambut bagi Imam Maliki adalah aurat ringan. Meski begitu, dalam melaksanakan shalat tetap wajib menutupi seluruh aurat. Imam Maliki pun juga mengatakan, meskipun itu aurat ringan, kalau khawatir bisa menimbulkan syahwat, maka sebaiknya ditutupi. Semestinya, dalam konteks ini berlaku juga untuk laki-laki, dimana batasan aurat laki-laki hanya pusar sampai bawah lutut.
Variasi fiqh tersebut juga memunculkan beragam persepsi, terutama dalam menggunakan jilbab. Maka sekilas kita bertanya, kenapa orang terdahulu, sekalipun ia seorang Nyai, nampak begitu sederhana dalam berjilbab, bahkan hanya sekedar kain yang ditudungkan, bagian tepi rambutnya masih terlihat. Termasuk Nyai Walidah, termasuk juga Nyai Kapu (Istri KH. Hasyim Asya’ri).
Sebelum kemudian kita saling menyalahkan, bisa kita pahami barangkali fiqh yang digunakan sejalan dengan Malikiyah, yang didasarkan pada QS. An-Nuur :31 bahwa perempuan dilarang menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Perbedaan semacam itu wajar saja terjadi, ditengah tafsir dan fiqh yang bervariasi. Termasuk ketika Imam Hanafi menyarankan untuk menutup wajah (bercadar), bukan karena wajah itu aurat, tapi ditakutkan memicu syahwat.
Namun secara bahasa, aurat berarti sesuatu yang terbuka, tidak tertutup, kemaluan, telanjang, aib dan cacat. Itu berarti, secara lebih luas, aurat tidak saja bagian tubuh, namun juga sisi lain, seperti perilaku yang bisa menimbulkan aib dan rasa malu dihadapan Tuhan dan masyarakat. Menutup aurat bisa bermakna juga berperilaku baik.
Namun sebagai sebuah mode fashion, tentu perempuan punya hak untuk mengenakan jilbab model apapun, bahkan jika itu berkaitan dengan pemahaman fiqh yang dianut. Tidak ada siapapun yang berhak melarang. Yang terpenting adalah, bagaimana pesan universal tokoh-tokoh perempuan Muslim zaman itu, termasuk Nyai Walidah diantaranya, tidak direduksi hanya sekedar simbol-simbol.
Jilbab Kehidupan
Bahwa ciri khas Muslimah yang kaffah ialah berjilbab, adalah hal yang tidak bisa dibantah. Namun ketika jilbab hanya dikhususkan sekedar simbol, ini yang perlu dipersoalkan. Sebagaimana respon sebagian warganet yang nampak permisif dengan kasus First Travel (FT), hanya karena salah satu bosnya mengenakan jilbab dengan beragam mode fashion terkini, maka jamaah yang dirugikan diminta mengikhlaskan dan memaafkan saja.
Pemikiran semacam ini jelas menggelisahkan nalar keberagamaan kita. Bahwa secara simbol bos FT memang berpakaian tertutup khas Muslimah, tapi secara substansial ia telah menciptakan aib (auratnya) yang akhirnya terlihat oleh publik. Lantas bagaimana jika itu adalah aurat yang sebenarnya? Bukan sekedar bagian tubuh? Sebab kalau hanya menutup bagian tubuh, siapapun asal memiliki uang, bisa melakukannya, bahkan berganti-ganti mode.
Pada sisi yang lain, jilbab sebenarnya juga memberikan ketenangan. Ini terlihat ketika mereka yang terjerat hukum, yang kesehariannya tidak berjilbab, mendadak berjilbab, meski hanya jilbab selempang sederhana. Ada dahaga spiritual yang ia reguk, meski banyak yang berprasangka, bahwa itu hanya untuk menutup aib. Lalu bagaimana dengan mereka yang berjilbab, namun hanya menjadikannya sebatas fashion?
Sangat menggelisahkan pula ketika sosok Nyai Walidah yang saat ini diperbincangkan, namun yang ditangkap dari sosoknya hanya sebatas trend jilbab saja. Hal lain, sebagai pejuang, pembela hak perempuan, hak anak-anak atas pendidikan, pemimpin gerakan perempuan, dan istri yang setia, harus juga ditangkap. Keluasan ilmunya, sehingga orang berbondong-bondong untuk belajar dengannya, jangan juga dilupakan. Wallohu’alam
Blitar, 25 September 2017