Gemuruh angklung dan hentakan alu pada lesung memanggil orang-orang untuk beranjak pergi menghampiri sumber suara. Alunan melodi yang indah tersebut bersumber dari sebuah desa di atas pegunungan yang sejuk dan asri, yaitu Desa Adat Kasepuhan Gelar Alam. Selama kegiatan tradisi Nutu Pare Anyar, alunan angklung membersamai berlangsungnya ritual tersebut.
Dalam suasana yang penuh khidmat, suara angklung yang merdu menambah keagungan prosesi tersebut. Setiap bunyi angklung yang digoyangkan seolah menjadi doa yang dipanjatkan kepada leluhur dan alam semesta, memohon kelancaran dan keberkahan ritual.
Nutu Pare Anyar merupakan ritual pembuka dalam prosesi nganyaran. Nganyaran di Kasepuhan Gelar Alam merupakan serangkaian upacara adat yang melibatkan proses panen padi dan kegiatan sosial masyarakat adat Kasepuhan. Masyarakat adat Kasepuhan Gelar Alam melakukan prosesi nganyaran setelah menyelesaikan prosesi ngaseuk dan mipit. Adapun ngaseuk berarti ‘menanam padi’, mipit berarti ‘memetik’ atau ‘memanen padi’, dan nganyaran berarti ‘menikmati panen’.
Nutu Pare Anyar berarti menumbuk padi yang baru dipanen dengan cara ditutu (ditumbuk) menggunakan alu dan lesung. Alu sendiri adalah alat yang digunakan untuk menumbuk padi yang terbuat dari kayu dan memiliki panjang hingga 1,5 meter dengan ujungnya yang berbentuk tumpul. Sedangkan lesung adalah wadah yang digunakan dalam proses menumbuk padi yang terbuat dari kayu.
Lesung terbagi menjadi tiga bagian, yakni bagian tengah yang berbentuk persegi panjang, digunakan untuk menumbuk padi hingga setengah halus. Kemudian hasil tumbukan tersebut dipindahkan kepada dua bagian yang berada di sisi kanan dan kiri lesung yang berbentuk bulat untuk menghaluskan hasil tumbukan padi yang sudah dilakukan pada lesung yang ditengah.
Ritual Nutu Pare Anyar akan dipimpin oleh Mama Dede, yakni istri dari Abah Ugi dan diiringi bersama para istri dari tujuh rorokan yang mewakili para masing rorokan kasepuhan. Rorokan merupakan istilah yang memiliki arti sebagai ‘kementerian’ atau ‘para pembantu kepala adat’.
Kemben Putih merupakan pakaian wajib yang digunakan Mama Dede dan para istri tujuh rorokan yang melambangkan kesucian. Ritual ini yang diawali oleh Mama Dede memiliki makna dibalik hal tersebut, karena Mama Dede merupakan figur perempuan yang dapat mewakili Abah selaku Kepala Adat Kasepuhan Gelar Alam. Prosesi dimulai ketika Mama Dede dan pengiringnya bergerak menuju sanggar tari atau balai sosial.
Di dalamnya, Mama Dede akan mengunyah kapur sirih lalu menyemburkannya ke padi-padi yang ada di hadapannya. Hasil kunyahan kapur sirih yang berwarna merah darah mengisyaratkan awal mula kehidupan. Setelah itu, Mama Dede dan pengiringnya akan berpindah ke tempat lesung di dekat Imah Gede yang merupakan pusat kegiatan masyarakat Kasepuhan Gelar Alam untuk melakukan prosesi Nutu Pare Anyar yang terdiri dari beberapa tahap.
Tumbukan pertama dilakukan untuk memisahkan batang dan kulit padi. Hasil tumbukan tersebut akan diayak agar mudah memisahkan antara gabah dan beras. Gabah akan kembali ditumbuk hingga kulitnya terlepas seluruhnya dan menghasilkan beras putih. Setelah Mama Dede dan pengiringnya selesai menumbuk padi, akan dilanjutkan oleh Ibu-Ibu lainnya secara bergantian. Kang Yoyo, juru komunikasi Kasepuhan Gelar Alam menjelaskan alasan Nutu Pare Anyar hanya dilakukan oleh Ibu-Ibu karena dalam hubungan rumah tangga, Ibu merupakan sosok yang bertugas memegang “tongkat” milik pasangannya, dan pertemuan antara “tongkat” dan “lubang” merupakan cikal bakal kehidupan.
Nutu Pare Anyar dilakukan secara kolosal dengan menggunakan lesung yang jumlahnya mencapai puluhan ataupun lebih tergantung pada jumlah kampung yang terlibat. Selain Nutu, Nganyaran juga mencakup aktivitas seperti Ngabukti, yakni mencicipi bersama-sama nasi dari hasil panen pertama.
Kemudian, pada rangkaian ini juga diadakan selamatan atau syukuran bersama untuk merayakan hasil panen yang telah diperoleh sebagai ungkapan syukur atas panen selama satu tahun kebelakang. Tak hanya masyarakat adat Kasepuhan Gelar Alam yang menghadiri ritual ini, ribuan orang lainnya terutama perempuan akan berdatangan dari berbagai daerah untuk turut meramaikan acara ini sekaligus melaksanakan kewajiban adat mereka untuk turut serta membantu menumbukan pare atau padi milik Abah sebagai pertanda dibukanya musim “menikmati” (nganyaran). Acara-acara ini tidak hanya sebagai rangkaian kegiatan pertanian, tetapi juga sebagai momen untuk memperkuat ikatan sosial dan kebersamaan antar warga kasepuhan.
Kegiatan Nutu Pare Anyar merupakan suatu prosesi yang memiliki arti filosofis yang sangat besar dalam masyarakat Kasepuhan Gelar Alam. Prosesi numbuk padi atau dapat disebut sebagai prosesi Nutu Pare Anyar merupakan simbol dari gotong royong antara kaum laki-laki dan juga kaum perempuan. Prosesi ini dapat dikatakan sebagai wujud realisasi dari gotong royong karena dilihat dari turut andilnya para laki-laki yang membawa padi dari sawah menuju tempat ditaruhnya padi sampai ke tempat penumbukkan padi. Lalu, para kaum perempuan yang menumbuk padi yang telah dibawa oleh kaum laki-laki secara bersama-sama dan bergantian.
Selain dari segi filosofis kegotong-royongan para warga, kegiatan Nutu Pare Anyar juga memiliki arti lain yaitu arti kehidupan yang besar. Hal tersebut dinilai dari bentuk alat menumbuk padi yang berbentuk tongkat panjang dan juga batu yang berbentuk lubang besar dan memanjang.
Alunan angklung dan hentakan alu pada lesung perlahan memudar, menandakan Nutu Pare Anyar telah selesai. Puluhan mobil pick-up mengantri gilirannya untuk pergi dari Kasepuhan Gelar Alam mengembalikan para penumpang ke area rumah masing-masing. Setiap kaki yang beranjak pergi membawa kenangan sekaligus pembelajaran dari Ritual Nutu Pare Anyar. Nutu Pare Anyar memberikan rasa syukur akan kehidupan, rasa kebersamaan, dan rasa kenikmatan.