Minggu, November 24, 2024

Neoinstitusionalisme, Mahar Politik, Korupsi Kepala Daerah

Dian Dwi Jayanto
Dian Dwi Jayanto
Penulis Lepas, alumni Ilmu Politik FISIP UNAIR serta pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambaberas Jombang.
- Advertisement -

Memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan pernyataan yang menuduh pemberlakuan sebuah sistem menjadi biang keladi maraknya kejahatan politik belakangan ini. Terutama statement tersebut sering mencuat dalam menanggapi maraknya kepala daerah yang terjerat korupsi, atau mahar politik yang mengitari proses pencalonan para kepala daerah oleh partai politik.

Bagaimana pun juga, fungsi utama pembentukan lembaga dan seluruh perangkat sistem yang mengikutinya pada dasarnya untuk mengarahkan keteraturan para aktor dalam arena tertentu. Sehingga, digambarkan para aktor politik di dalam bingkai kerja sebuah tatanan  politik bersifat sistemik, hanya mengikuti acuan normatif yang telah digariskan.

Hal di atas benar. Namun, ini adalah paradigma kelembagaan usang yang sudah lama ditinggalkan. Sebagaimana dalam buku “21st Political Science” (2011), khususnya Bab Neoinstitusioanlism dijelaskan, dalam melihat hubungan kelembagaan dengan perilaku individu, neoinstitusionalisme menawarkan pendekatan untuk mengeksplorasi bagaimana struktur, norma, aturan sebuah sistem kelembagaan yang bersitegang dengan pilihan dan aksi individu ketika mereka menjadi bagian dari suatu tatanan institusi politik.

Ringkasnya dijelaskan bahwa, “prespektif institusional baru yakni mengkombinasikan studi menyangkut mikro level terkait perilaku individu dengan sensitifitas makro level terkait faktor institusional yang turut membentuk perilaku” (Miller, 2011:22).

Dengan demikian, tidak bisa secara mutlak kita menihilkan kerangka kerja sistem dalam membentuk perilaku seseorang. Begitu pula sebaliknya, menihilkan faktor kepribadian seseorang dalam menentukan pilihan aksi politiknya.

Berkaitan dengan mahar politik dan korupsi kepala daerah, meskipun tidak secara langsung sebuah sistem secara otomatis mengarahkan para politisi untuk melakukan perbuatan tercela, namun implikasi bekerjanya sebuah sistem dapat berpotensi mengarahkan perilaku demikian.

Sebagai ilustrasi contoh misalnya, dalam Revisi UU Pilkada disebutkan untuk bisa maju menjadi calon kepala daerah melalui jalur independen (non-partai) harus mengantongi dukungan berkisar antara 6,5% hingga 10% tergantung dari jumlah DPT (sebelumnya hanya 3,5%).

Dukungan tersebut harus dibuktikan dengan pengumpulan KTP dari para DPT. Taruhlah untuk maju menjadi calon gubernur di Jawa Timur harus mengantongi 6,5% suara dari total DPT Jawa Timur sebesar 30.963.078 atau calon harus mengumpulkan dukungan sebesar 2.012.601 yang tersebar lebih dari 50% dari 38 kabupaten atau kota di Jawa Timur (Data KPU Jatim). Tentu ini syarat yang berat. Belum menambahkan pula persoalan operasional pengumpulan KTP dan seterusnya. Di sisi lain, jika maju melalui partai politik atau gabungan memerlukan 20% kursi di DPRD.

Sebagai komparasi misalnya, dua pasangan calon independen dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, akhirnya sama-sama beguguran. Mereka tidak bisa memenuhi syarat pengumpulan KTP sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akhirnya Pilkada Deli Serdang berpotensi hanya diikuti satu pasangan calon yaitu Ashari-Ali yang sukses menyapu bersih dukungan 11 partai politik di DPRD Deli Serdang (Liputan6.com).

Melihat keruwetan calon independen untuk maju tersebut, patut lah kemudian dikatakan nilai tawar partai politik dalam setiap kontestasi Pilkada sangat tinggi (Jika dalam pemilihan presiden malah tertutup bagi calon independen). Partai politik menjadi semacam EO (Event Organizer) dalam setiap Pilkada.

- Advertisement -

Mahar politik menjadi potensi besar dari implikasi sebuah sistem yang memang memberatkan calon independen untuk maju. Siapa yang membuat UU tersebut? DPR. Siapa DPR itu? Orang partai juga. Artinya, fenomena kuatnya figur politik di luar parpol yang berbuntut terjadinya deparpolisasi (melemahnya kekuatan Parpol karena kekuatan figure di luar Parpol) akan senantiasa dilawan oleh DPR.

Di sini penulis mengiyakan jika menyalahkan pemberlakuan sistem tertentu berimplikasi terjadinya mahar politik.

Sedangkan dalam urusan korupsi kepala daerah apa alasan taktisnya menyalahkan sebuah sistem? Terutama menyalahkan otonomi daerah? Memang, kekuasaan berdempetan mesra dengan perilaku korup, besarnya kewenangan akan menyimpan potensi besar terhadap perilaku KKN. Namun ini lebih bersifat opsional dibanding proses mahar politik yang telah dijelaskan sebelumnya. Berkaitan dengan pendekatan neoinstitusional yang telah dijelaskan di awal, kepribadian individu lebih menjadi faktor determinasi dibanding faktor sebuah sistem.

Apalagi, otonomi daerah adalah sebuah jawaban dari desakan reformasi terkait sentralisasi kekuasaan di pusat. Tujuannya memperpendek akses politik masyarakat dengan pemimpin mereka yang dilimpahi kewenangan dalam teritori yang lebih kecil. Ringkasnya, bergulirnya otonomi adalah upaya percepatan kesejahteraan dengan memaksimalkan peran serta masyarakat dan pemimpin politik dalam level yang lebih rendah.

Hal ini tentu menyangkut integritas personal seorang pemimpin. Bukan pada persoalan sistem yang telah memberikan keleluasaan kewenangan terhadap kepala daerah.  Terutama persoalan KKNnya menyangkut transaksi jual beli jabatan di dalam pemerintahan daerah sebagai pembiayaan maju kembali.

Penulis sering mendengar ungkapan bernada penyesalan terhadap sistem yang menyeret sosok politik tertentu dalam kubangan kasus korupsi. Seperti perkataan, “si A sebenarnya orang baik, namun bagaimana lagi memang sistem yang membuat dia melakukan hal itu”. Jika diteruskan, kita bisa mengatakan,

Soeharto itu orang baik, namun sistem yang berlaku (padahal dia sendiri yang merancang) yang membuatnya demikian. Atau lebih jauh lagu dapat dikatakan, Firaun yang memusuhi Nabi Musa itu sebenarnya orang baik, tapi sistem yang membuat bersikap demikian.

Bagi penulis, jika memang seseorang itu benar-benar baik, sebuah sistem yang buruk sekali pun tidak akan merubah dirinya, karena dia punya kehendak bebas menyesuaikan kebaikan dirinya di dalam sebuah sistem. Kalau harus terpaksa berkompromi dengan sistem yang benar-benar memaksanya menjadi buruk, mungkin, dia akan lebih memilih untuk menghindarinya.

Daftar Referensi

Miller, Mark C. 2011. Neoinstitusionalism. dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. 2011. 21st Political Science: A Reference Handbook. London: Sage Publication Ltd.

Dian Dwi Jayanto
Dian Dwi Jayanto
Penulis Lepas, alumni Ilmu Politik FISIP UNAIR serta pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambaberas Jombang.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.