Kita tentu mahfum, beginilah suasana kampanye Pilpres saat ini. Kubu Joko Widodo selaku petahana sibuk mempromosikan capres andalannya dengan jargon, “kerja, kerja, kerja”. Mempertunjukkan hasil kerja dengan meresmikan banyak infrastruktur, membagi-bagikan sertifikat tanah buat masyarakat, dan atau mencoba membangkitkan semangat optimisme.
Sementara kubu penantang, Prabowo Subianto, sibuk gencar berupaya menghancurkan kesan hasil kerja petahana, bahkan hingga memberikan cibiran dan label “pencitraan” bila petahana mencoba menyebarluaskan hasil kerjanya kepada masyarakat.
Celotehan harga-harga mahal, tempe setipis ATM, rakyat makin susah ditambah ungkapan bahwa rakyat miskin semakin bertambah tentu sering didengar di televisi. Terlebih lagi, dari mulut Fadly Zon, sang punggawa Gerindra dan dari kader-kader Gerindra lain. Akhir-akhir ini muncul berita bahwa Prabowo menyatakan, “Kalau Kita Kalah, Negara Akan Punah”.
Mungkin, pada diri Joko Widodo selaku petahana, tidak terlalu mau ambil pusing atas semua cibiran serta label pencitraan. Tetapi, sebaik-baik manusia yang mencoba bersikap peduli kepada cibiran manusia lain, tentu ada batas kesabaran.
Jokowi terlihat beberapa kali meradang. Saat sang petahana pidato tentang sikap optimis melawan sikap pesimis, lalu muncul istilah genderuwo, sontoloyo, lalu perbedaan kritik dengan mencela hingga akhirnya Joko Widodo mempertontonkan keluarganya sebagai gambaran ikeluarga Indonesia yang ideal, normal, harmonis dan manis. Para pendukungnya lebih bersikap bertahan terhadap serangan-serangan pendukung Prabowo.
Jihad Harta, Sebuah Kontradiksi
Bahwa sementara kubu Prabowo meneriakkan kondisi banyaknya kemiskinan, Neno Warisman malah berseru, “Jihad Harta untuk Kemenangan Prabowo – Sandiaga, nanti Allah ganti”.
Dahi saya berkerut membaca seruan ini. Saya jadi ingat dulu. Ada seruan mbak Tutut agar masyarakat mengumpulkan emas untuk mengatasi krismon.
Harga-harga naik, masyarakat miskin semakin banyak, rakyat makin susah, tapi kok malah disuruh nyumbang capres kaya-raya yang hartanya sudah trilyunan? Apalagi cawapresnya, katanya pengusaha kaya-raya juga.
Kita gak pernah tahu, entah kemana raibnya emas-emas yang sudah terkumpul dari masyarakat. Alangkah naifnya cara berkampanye sepeti ini. Bila pendukung Prabowo melaksanakan seruan Neno Warisman, saya mengumpamakan laksana domba bodoh yang akan digiring ketempat penyembelihan dan manut aja tanpa melawan. Agak seperti pembodohan.
Saya gak tahu, ini ide Prabowo atau ide Neno Warisman sendiri. Tapi, kampanye begini benar-benar diluar nalar. Mungkin, hitung-hitung, kalo kalah, masih ada banyak hasil sumbangan yang terkumpul dari rakyat.
Mungkin dipikirnya, kalo kalah Pilpres, Neno Warisman masih dapat bagian, kelompoknya masih dapat bagian. Sementara rakyat semakin miskin, Prabowo akan semakin kaya.
Dan, inilah cara mudah membuat Indonesia punah. Rakyat sudah miskin, suruh jihad harta, lalu rakyat Indonesia semakin miskin, tinggal tunggu sebentar aja punah.