Minggu, Oktober 13, 2024

Negara dan Usaha Pemajuan Kebudayaan

Muh. Akbar
Muh. Akbar
Pelajar Sosiologi di Universitas Hasanuddin, yang minat dengan isu dan kajian seputar Sosial, Politik, Pendidikan, Sejarah, Filsafat, dan Riset. Dapat dihubungi melalui @m_akbarif (IG)

Indonesia dikenal dunia sebagai negara yang multikultural dengan pusparagam kebudayaannya yang sangat melipah ruah, dari ujung Sabang di Aceh sampai tanah Merauke di Papua tidak akan pernah sejengkal pun kita tidak menemui corak kebudyaan yang beragam.

Keadaan Medan geografis dan struktur yang berbentuk kepulauan (Archipelago) membuat kondisi sosial, nilai, norma dan kultus yang berkembang memiliki perbedaan signifikan antar satu dengan yang lain. Sehingga dalam proses sosial yang panjang berhasil menelurkan bentuk kebudyaan yang dalam karya Soerjono Soekanto berjudul Sosiologi Suatu Pengantar (2017) meliputi segi materiil berupa karya, kebendaan, dan teknologi, maupun dari segi spiritual yang mengandung rupa semacam ilmu pengetahuan, ritual kepercayaan, sistem sosial, kaidah etika dan estetika

Maka dari itu Kebudayaan tidak bisa ditafsirkan sependek sebuah karya seni atau cagar budaya semata. Kebudayaan diyakini sebagai suatu bentuk mahakarya yang paling luas di jagat kehidupan manusia. Persoalan rajin menabung dan mendatangi orang berkabung sangat dengan mudah dikategorikan sebagai kebudayaan apabila merujuk pada konteks-konteks tertentu.

Meskipun budaya merupakan karya cipta manusia yang berkhas, memiliki sisi filosofis dan nilai-nilai tertentu. Ada banyak debat dalam menyikapi kebudayaan secara tekstual, definisi, maupun praktiknya. Banyak sekali ragam definisi dari para ahli, praktisi kebudayaan, sampai yang bukan salah satu dari kedua hal tersebut yang mencoba memberikan gambaran utuh mengenai bentuk kebudayaan.

Pelacakan atas maksud tekstual dan definitif dari kebudayaan mungkin tidak akan ada ujung dan habisnya, sebab menjadi kesia-siaan sebenarnya apabila menghabiskan energi untuk menetapkan satu landasan utuh seraya memberikan batas pada apa yang dimaksud kebudayaan atau yang bukan kebudayaan.

Penulis teringat gundah gulananya seorang Dirjen kebudayaan Indonesia, yakni Hilmar Farid ketika merespon persoalan mengapa “kementrian kebudayaan” tidak hadir di Indonesia sampai saat ini, ketidak hadiran nomenklatur kementrian kebudayaan diyakini berasal dari luasnya makna kosa kata kebudayaan sendiri.

Kehadiran Negara

Sebagai sebuah entitas bersama nan mengikat, negara hadir dalam bentuk menaungi perihal urusan-urusan publik yang ada, tanpa harus terjegal oleh sekat-sekat suku, golongan, ras, agama, atau jenis yang lain. Urusan perihal kebudayaan juga sebenarnya menjadi tanggung jawab negara, karena domainnya bisa dikatakan memuat unsur publik.

Apabila berkaca pada negara kita tercinta, Indonesia, landasan legal mengenai kebudayaan sudah diatur melalui UUD 1945 dalam Pasal 32 ayat 1 yang berunyi “Negara Memajukan Kebudayaan Nasional Bangsa Indonesia di Tengah Peradaban Dunia dengan Menjamin Kebebasan Masyarakat dalam Memelihara dan Mengembangkan Nilai-Nilai Budayanya”.

Komitmen negara dalam merealisasikan visi kebudayaan nasional memang memiliki dinamikanya tersendiri pada setiap zaman yang ada, saya mungkin tidak akan merujuk pada contoh yang terlampau lama. Namun, beberapa tahun belakangan ini, sebuah langkah progresif hadir merebak dalam putaram isu kebudayaan nasional. Pada tahun 2017, sebuah aturan hukum keluar memberikan secercah harapan akan majunya budaya bangsa kita, melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan (UU Pemajuan Kebudayaan).

Teknis dari implementasi aturan tersebut kurang lebih seperti ini: Kebudayaan yang ada disetiap daerah diramu dan dirangkum sesuai dengan beberapa kriteria yang ditentukan oleh Dinas terkait maupun Dirjen Kebudayaan, setelah meramu dan merangkumnya, pihak terkait kemudian mendata berbagai elemen yang ikut berkontribusi dalam proses kebudayaan dan kendala apa saja yang dihadapi, setelah melakukan semua itu, data yang ada kemudian menghasilkan apa yang kita sebut sebagai objek pemajuan kebudayaan.

Pakem berupa hukum legal formal inilah yang menghasilkan 10 bulir objek pemajuan kebudayaan nasional. Objek pemajuan kebudayaan ini selain diharapkan mampu mengintegrasikan permasalahan fundamental pada kebudayaan nasional masa kini, juga diharap menjadi pemberi batas jelas definisi kebudayaan dalam skala nasional—meskipun hal ini tampak berpotensi memyempitkan makna kebudayaan. 10 objek ini berupa Tradisi Lisan, Manuskrip, Adat Istiadat, Ritus, Pengetahuan Tradisional, Teknologi Tradisional, Seni, Bahasa, Permainan Rakyat, Olahraga Tradisional.

Dengan adanya objek yang menjadi prioritas pemajuan kebudayaan, minimal bisa menjawab rasa penasaran kita tentang pertanyaan dasar mengenai kebudayaan nasional seperti apa yang kita ingin pertahankan di masa yang akan datang. Tentu, setelah objek pemajuan kebudayaan terdata secara baik, langkah selanjutnya pasti lebih berat.

Kita sebagai warga negara pada dasarnya turut andil dalam menyumbang dan memaksimalkan pikiran, tenaga, dan tentunya sumber dana mengenai langkah strategis apa yang membantu proses pemajuan kebudayaan bangsa ini. Terlebih lagi, setelah 4 tahun hadirnya UU Pemajuan Kebudayaan, masih banyak persoalan yang meliputinya sampai saat ini

Muh. Akbar
Muh. Akbar
Pelajar Sosiologi di Universitas Hasanuddin, yang minat dengan isu dan kajian seputar Sosial, Politik, Pendidikan, Sejarah, Filsafat, dan Riset. Dapat dihubungi melalui @m_akbarif (IG)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.