“Ketika kita hidup untuk kepentingan pribadi, hidup ini tampak sangat pendek dan kerdil. Ia bermula saat kita mengerti dan berakhir bersama berakhirnya usia kita yang terbatas. Tapi apabila kita hidup untuk orang lain, yakni hidup untuk (memperjuangkan) sebuah fikrah, maka kehidupan ini terasa panjang dan memiliki makna yang dalam. Ia bermula bersama mulanya kehidupan manusia dan membentang beberapa masa setelah kita berpisah dengan permukaan bumi” (Sayyid Quthb)
Demokrasi bisa saja terjebak sekedar pada ajang prosedural dimana masyarakat hanya berkutat pada hiruk-pikuk imbas kebijakan alam demokrasi, mulai dari terbukanya akses demokrasi langsung lewat pemilihan umum langsung, ataupun penyebaran dan akses infromasi yang lebih merata di ruang publik serta sikap kritis lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam menganalisa setiap tindakan-tindakan pemerintah.
Imagine native democracy, menempatkan hubungan antara masyarakat, media, negara, partai politik, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam konteks transisi demokrasi, yang tergambar dalam realitas masyarakat adalah kepragmatisan masyarakat. Bisa kita sebut kepragmatisan masyarakat ini terjadi karena kepragmatisan partai politik dan politisi itu sendiri. Di satu sisi bisa kita katakan pula efek dari transisi rezim mencampuri di dalamnya.
Kepragmatisan masyarakat ini bisa berupa berbagai hal bahkan kepada konteks yang menganggap politik tidak mempengaruhi hal-hal signifikan secara individu, timbulnya keinginan diberi uang untuk partisipasi dalam politik (mencoblos), apatis dengan politik, dan seterusnya.
Partai politik dan politisi pun berlaku demikian, tidak adanya fit and proper test terhadap calon legislatif yang diusung yang merata dari pusat hingga ke daerah, tidak menunjukkan kualitas kinerja yang baik sebagai nilai jual, tidak memiliki ideologi yang kental dalam berpolitik yang menjadi jalur partai politik, mayoritas mengandalkan tokoh bukan platform partai.
Media pula turut mengambil peran didalamnya, bisa kita lihat dalam beberapa pemberitaan media nasional khususnya media televisi dalam beberapa waktu yang lalu mempengaruhi elektabiltas partai politik dan tokoh calon pemimpin kini.
Maka disana media memainkan peran pencitraan terhadap tokoh-tokoh partai. Sehingga muncul tokoh-tokoh yang dicitrakan media ‘secara tidak merata’ itu menghasilkan tokoh-tokoh dengan gaya blusukan, sederhana, apa adanya, hanya tokoh-tokoh itu yang disorot media menghasilkan pencitraan, disisi lain segilintir politisi dan pengamat mengatakan tokoh-tokoh itu tidak punya gagasan tapi elektabilitasnya tinggi.
Anehnya disatu sisi yang lain partainya dengan tokoh seperti ini malah menurut beberapa hasil survei termasuk dalam beberapa partai terkorup di Indonesia. Inilah kesalahan mengandalkan tokoh bukan platform partai.
Transisi demokrasi memang cenderung berkutat kepada “orang brengsek memilih orang brengsek, orang baik memilih orang brengsek, orang brengsek memilih orang baik, dan orang baik memilih orang baik”. Pemaknaan ini berlaku umum seperti halnya bisa dianalogikan secara seorang pemabuk dan seorang ustad. Dalam demokrasi pula suara seorang pemabuk sama dengan suara seorang ustad.
Akan hal ini imagine native democracy, untuk menjadikan transisi demokrasi hanya berkutat kepada “orang brengsek memilih orang baik, dan orang baik memilih orang baik” maka perlu ada peran kaderisasi partai politik, bisa dikatakan hanya segelintir partai yang memiliki kaderisasi partai terhadap kadernya, dengan bahasa lain imagine native democracy seharusnya menghasilkan partai kader.
Hal ini dalam konteks masyarakat maka masyarakat perlu terbentuknya masyarakat yang berlandaskan pada rasionalitas, moralitas dan etika yang kuat. Dan menyadari seperti kata-kata Ali bin Abi Thalib ketika dikritik oleh rakyatnya, “Mengapa kepemimpinanmu tidak sama dengan kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan. Ali pun menjawab ketika kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan, aku adalah bagian dari rakyatnya, dan sekarang aku adalah pemimpinnya dan kalian adalah rakyatnya”.
Ini menunjukkan bahwa pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya. Bila kita adalah rakyat yang memilih pemimpin dan wakil rakyat karena citra dan kepragmatisan kita maka itulah cerminan pemimpin dan wakil rakyat kita. Beberapa pengamat berpandangan calon-calon pemimpin dan calon legislatif miskin narasi dan gagasan, jangan-jangan itulah cerminan kita sebagai rakyat.
Hal ini juga karena menunjukkan sebuah peralihan pada era reformasi dimana perhatian kita dari politik dan ekonomi kepada masyarakat. Beralih dari politik sebagai panglima, ekonomi sebagai panglima dan saatnya menuju masyarakat sebagai panglima.
Pada konteks ini, maka Imagine native democracy merupakan generasi baru, generasi yang sejak lahir hanya mengenal demokrasi. Native democracy juga adalah entitas masyarakat yang lahir di akhir era order baru, dan dibesarkan di era reformasi, mayoritas berkutat dengan demokrasi, mayoritas usia muda dengan usia produktif (45 tahun ke bawah), mayoritas orang muda, umumnya hanya kenal satu bendera, yaitu merah putih saja. Bahkan pada pemilih pemula adalah mereka yang lahir pada rentang 1992-1997.
Pergulatan mencari sistem tidak pernah berujung dengan pilihan benar-salah, tetapi akan berhenti sementara pada suatu titik dimana kita menemukan kesesuaian dan kecocokan. Sistem itu sendiri akan terus mengalami penyesuaian dan penyempurnaan. Ledakan demokrasi harus menuju kepada demokrasi substansial. Terutama pada perubahan-perubahan ide-ide dan nilai-nilai yang kemudian membentuk budaya baru dari masyarakat Indonesia. Hal ini juga menghasilkan toleransi dalam politik yang merupakan bagian dari pemahaman kesadaran tentang kemungkinan semua pihak untuk bersaing sesuai kualitas dan kapasitas individualnya.
Anis Matta mengistilahkan hal ini dengan bagian dari “Gelombang Ketiga”, walaupun gelombang ketiga itu sendiri lebih luas dari wacana imagine native democracy. Model masyarakat baru dalam “Gelombang Ketiga” adalah masyarakat yang religius, berpengetahuan, dan sejahtera. Agama memberi orientasi dan moral sementara pengetahuan menjadi pemberdaya. Kesejahteraan merupakan hasil dari pengetahuan menjadi faktor katalis agar masyarakat makin berkualitas hidupnya termasuk soal spiritual.
Imagine native democracy, masyarakat menjadi aktor utama yang mengimbangi peran negara. Dan membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat yang mengandalkan gagasan, memiliki kemampuan persuasif, dan kemampuan koordinasi. Dengan menyatukan agama, pengetahuan dan kesejahteraan, Indonesia diharapkan akan menjadi bangsa yang religius, lebih berpengetahuan, tetapi sejahtera. Agama akan memberikan basis orientasi dan basis moral, pengetahuan memberikan basis kompetensi dan basis produktivitas, dan kesejahteraan sebagai cita-cita Indonesia.
Minimal, masyarakat yang menjadi aktor utama dan berkata mengutip kata-kata Anis Matta “Tidak! Kaulah pahlawan yang ku rindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata: jadilah pahlawan itu”. Imagine native democracy, masyarakat jadilah pahlawan itu.