Selasa, Oktober 15, 2024

Natal dan Teologi Ibu

Satriwan Salim
Satriwan Salim
Penulis adalah guru di SMA Labschool Jakarta. Organisasi: Saat ini sebagai Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G); Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI (2017-2020); Plt. Ketua Umum Serikat Guru Indonesia/SEGI Jakarta (2017-2020); Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI); dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia/AGPPKnI (2019-2024). Karya Buku: 1. Judul: Guru Menggugat! (Penerbit Indie Publishing, 2013) 2. Judul: Guru untuk Republik, Refleksi Kritis tentang Isu-isu Pendidikan, Kebangsaan dan Kewarganegaraan (Penerbit Indie Publishing, 2017)

Perayaan Natal tiap tahun dirayakan sebagian besar umat Nasrani di seluruh dunia, khususnya di Indonesia menandakan bahwa suasana keberagaman kita masih ada. Dirayakan sebagian besar umat Kristiani, sebab umat Kristen Ortodoks seperti di Rusia merayakan Natal pada 7 Januari. Dilakukan berdasarkan penanggalan Julian, bukan Kalender Gregorian yang umum digunakan saat ini. Tapi nilai dan substansi perayaan Natal tetap satu yaitu tentang “peristiwa kelahiran”. Bagi saya makna sosio-teologis dari Natal adalah penciptaan, keberlanjutan, optimisme dan segala sesuatu tentang Ibu.

Saya bukanlah seorang Nasrani, tetapi ketika tiap tahun melihat saudara-saudara Nasrani merayakan Natal (laiknya umat Nasrani melihat Idul Fitri), yang tampak adalah raut kebahagaiaan dan semangat. Sebab momentumnya pas dengan disambutnya 1 Januari (tahun baru), setelah Natal 25 Desember. Perayaan hari besar agama seperti Natal, merupakan bentuk ritual eskatologis umat Nasrani. Karena relasinya inhern dengan penciptaan dan keberlanjutan. Entitas penciptaan dan keberlanjutan merupakan domain filsafat agama, yang memberikan pesan universal pada semua makhluk (manusia), bahwa masa depan dan harapan akan selalu ada.

Peristiwa Natal memberikan pesan tentang kelahiran. Sebuah peristiwa biologis sekaligus sosial budaya, yang memuat pesan transenden keilahian. Nafas gerak ke-makhluk-an yang sejatinya terlahir, berkembang dan berakhir. Inilah penanda ke-mahadhoif-an makhluk seperti manusia, yang tidak bisa mempertahankan keberadaannya seperti saat ini terus-menerus. Laju gerak kehidupan yang diawali oleh Natal (lahir), kemudian hidup, berkembang dan diakhiri oleh ‘ajal (kematian). Jadi fenomena kelahiran adalah suatu persitiwa teologis dan kosmologis yang maha dahsyat bagi tanda ke-makhluk-an kita.

Pesan Ketuhanan

Memperingati Natal sebagai sekedar perayaan dan ritual minus makna, tentu laiknya perayaan Idul Fitri sekedar berbaju baru di hari raya. Pesan-pesan teologis Natal mesti diaktualisasikan dalam konteks kultural-horizontal maupun ritual-vertikal. Pertama, aktualisasi dalam konteks kultural-horizontal, yang maknanya adalah fungsi ibadah ritual Natal mesti terimplementasi dalam sikap hidup. Baik kepada orang tua, masyarakat dan lingkungan hidup. Natal mesti melahirkan kepekaan sosial, respon terhadap realita yang dominatif dan tak memihak pada yang terpinggirkan. Apapun bentuk penindasan tersebut, baik yang dilakukan oleh negara, maupun oleh sesama manusia. Kedua, begitu pula makna vertikal, ketika Natal memberikan penyadaran kembali kepada umat manusia, bahwa ada yang mengatur, Maha Pengatur, sang Omni Present. Kesadaran betapa dhoifnya kita sebagai makhluk di depan Khalik.

Tapi ada satu hal yang mungkin (sengaja) dilupakan oleh umat saat ini terkait Natal. Bahwa Natal adalah konstruksi teologis keilahian yang ditunjukkan dan dimediasi oleh manusia. Kelahiran bukanlah peristiwa biologis semata. Tetapi merupakan pesan Tuhan pada manusia, bahwa “fungsi ketuhanan” seorang ibu tengah diembannya. Ibu menjadi episentrum kemanusiaan kita sesungguhnya. Sebab kelahiran yang tak hanya peristiwa biologis semata, memberikan kesadaran pada kita, jika proses keberlangsungan kehidupan akan terus ada. Sepanjang peristiwa kelahiran masih ada, maka kehidupan akan senantiasa terjaga.

Ibu memang dikenal oleh penduduk bumi. Dalam berbangsa dan bernegara kita mengenal konsep “Ibu pertiwi”. Orang Barat menyebutnya “mother land” untuk menunjukkan tanah tumpah darahnya. Tanah air tempat darah Ibunya tumpah, tatkala anaknya lahir. Secara geografis kita mengenal “Ibu kota”, untuk menunjukkan pusat sebuah wilayah administrasi. Bahkan selevel negara pun memiliki “seorang” Ibu. Dalam perspektif etnologi, kita juga mengenal istilah “Bahasa Ibu” atau mother tongue, yang merujuk penggunaan bahasa pertama kali bagi seorang anak yang diajarkan langsung oleh Ibunya. Karena beragamnya etnis di Indonesia, bahasa Ibu masih didominasi oleh bahasa daerah. Alhasil dalam berkata-kata pun kita bergantung pada Ibu.

Di universitas atau perguruan tinggi para mahasiswa memakai baju panjang kebanggaannya, “Almamater” sebutannya. Berasal dari tradisi Romawi kuno, dari kata “alma” dan “mater/materna” atau mother yang secara harfiah bermakna “Ibu asuh” atau “Ibu susuan”. Jadi sejatinya universitas itu memang berwatak ke-ibu-an. Jadi sudah menyalahi kodratnya, jika ada universitas yang memberikan ruang dan praktik (budaya) kekerasan (tradisi maskulin) kepada mahasiswanya. Baik itu kekerasan fisik, verbal maupun simbolik.

Terakhir, tangan kita juga punya Ibu yaitu “Ibu jari”. Tanpa Ibu jari, sulit rasanya untuk memegang dan menggenggam sesuatu. Memang Ibu kitalah sang penggenggam hati anak-anaknya untuk selamanya. Taklah heran jika Nabi Muhammad shollallaahu’alaihi wasallam mewajibkan kita berbuat baik pada Ibu, yang perbandingannya 3:1 dengan ayah. “Ibumu, Ibumu, Ibumu baru ayahmu!”

Kemudian kelahiran juga memberikan nilai pada kita tentang optimisme. Optimisme merupakan semangat yang muncul dalam diri (bisa dipengaruhi dari luar), sebagai bentuk motivasi kehidupan manusia. Ini perlu diingat kembali, melihat suasana pesimisme akut yang kerap hadir dan sedang dirasakan umat manusia, terkait globalisasi, terorisme, efek rumah kaca, perang dan bencana global lainnya. Umat manusia tengah dilanda pesimisme global atas semua realita di atas.

Natal dan ke-ibu-an kita

Terpenting kemudian adalah peristiwa kelahiran secara absolut, sangat bergantung terhadap posisi dan fungsi seorang Ibu. Ibu adalah konstruksi budaya yang sejatinya menjalankan peran ke-perempuan-nya. Jika seorang wanita menjadi Ibu, maka dia tak hanya tengah mengemban misi biologis dan sosial-kulturalnya, tetapi lebih kepada misi teologisnya sendiri. Bambang Pranowo (2011) menguraikan secara menarik dengan istilah “Allah Biyung” dalam judul artikelnya.

Peristiwa kelahiran yang perannya dijalankan oleh Ibu mesti ditafsirkan secara progresif, khususnya dalam tafsir kebhinekaan kita. Di tengah hegemoni maskulinitas yang sedang mendominasi realita (tafsiran) keagamaan dan budaya. Ibu menjadi sosok vital dalam kehidupan. Bahkan peristiwa kelahiran yang merupakan bentuk keberlanjutan kehidupan makhluk, secara otoritatif-biologis ditentukan oleh seorang Ibu.

Paradigma dan sikap keberagamaan kita sudah saatnya dipikirkan ulang. Peristiwa Natal tak berdiri sendiri, jauh di atas langit Betlehem saja. Tetapi mesti diturunkan menjadi pola pikir dan sikap hidup yang mengagungkan eksistensi seorang Ibu. Eksistensi sejarah bumi ini sangat bergantung kepada peran seorang Ibu. Ibu juga senantiasa terus mengemban misi ketuhanan yang dijalankannya dengan penuh kemahalembutan dan kasih sayang. Salah satu sifat Tuhan, yang tak hanya melulu ditafsirkan sebagai yang maha besar dan perkasa.

Sudah waktunya penafsiran kita terhadap agama yang maskulin sentris tadi, diimbangi dengan yang feminin. Mungkin dengan reinterpretasi dari maskulin sentris kepada yang feminin, akan membuat suasana kehidupan dunia makin tenang, penuh kelembutan, kasih sayang, damai dan bersahaja. Laiknya seperti kasih Ibu, yang sepanjang hayat untuk anaknya. Laiknya seorang Ibu yang selalu me-Natal-kan umat manusia. Semoga. Selamat Natal dan Hari Ibu!

Satriwan Salim
Satriwan Salim
Penulis adalah guru di SMA Labschool Jakarta. Organisasi: Saat ini sebagai Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G); Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI (2017-2020); Plt. Ketua Umum Serikat Guru Indonesia/SEGI Jakarta (2017-2020); Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI); dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia/AGPPKnI (2019-2024). Karya Buku: 1. Judul: Guru Menggugat! (Penerbit Indie Publishing, 2013) 2. Judul: Guru untuk Republik, Refleksi Kritis tentang Isu-isu Pendidikan, Kebangsaan dan Kewarganegaraan (Penerbit Indie Publishing, 2017)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.