Selasa, Maret 19, 2024

Nasib Perempuan dalam Industri Pariwisata

Rizqina Mukarromah
Rizqina Mukarromah
Mahasiswi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Isu terkait gender kian malang melintang di jagad Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Berbicara terkait gender memang tidak ada habisnya. Gender sendiri dapat didefinisikan sebagai bentuk untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin atau biologis.

Persoalannya pun tidak jauh dengan ketidakadilan gender yang kerap diterima oleh para perempuan, khususnya dalam sektor ekonomi dan industri. Perempuan kaitannya dengan industri pariwisata memang tidak banyak mendapatkan sorotan dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Padahal, acapkali terdapat banyak persoalan yang terdapat di dalamnya, seperti perlakuan yang tidak mengenakkan dari kolega, atasan, bahkan customer sekalipun di tempat kerja.

Terlepas dari itu, pekerja perempuan juga mendapatkan pembagian peran, hak, dan kewajiban yang tidak seimbang, seperti perlakuan dalam sistem pengupahan atau pemberian gaji. Meskipun dia mendapatkan pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan kolega lawan jenisnya, pekerja laki-laki cenderung mendapatkan gaji lebih besar karena dinilai memiliki beban hidup yang lebih berat, seperti menjadi tulang punggung keluarga maupun pencari nafkah utama.

Berbanding terbalik dengan hal tersebut, pekerja perempuan justru mendapat gaji lebih rendah daripada laki-laki, sebab eksistensi perempuan dalam tempat kerja dinilai menjadi beban publik. Akan tetapi, perempuan dapat dilihat pantas apabila mereka mampu menyelesaikan pekerjaan dalam sektor domestik, seperti mengurus keperluan rumah tangga, mengurus anak, dan menjadi istri yang baik dalam keluarga.

Perempuan dipandang sebagai individu yang tidak rasional, sensitif, lemah, emosional, dan terbelakang dari segi pendidikan. Dengan demikian, perempuan mendapatkan pelabelan atau stigma negatif dari masyarakat.

Sedangkan, laki-laki mendapatkan citra jauh lebih baik dari masyarakat, seperti lebih rasional, pintar, kuat, tekun, dan memiliki kemampuan teknis yang kuat. Oleh karena itu, laki-laki mendapatkan kesempatan kerja lebih banyak dibandingkan perempuan. Kehadiran laki-laki juga mendapatkan perlakukan jauh lebih hangat daripada perempuan.

Keberadaan perempuan dalam sektor publik, khususnya dalam sebuah industri pariwisata memang sudah banyak ditemui hingga saat ini. Namun, kedudukan pekerjaan yang dimiliki seorang perempuan kerap tidak sesuai dengan latar belakang keterampilan dan pendidikan yang dia miliki.

Pada akhirnya, perempuan sering dijumpai dalam pekerjaan yang hanya memerlukan keahlian manual, tanpa pendidikan tinggi, dan keterampilan kerja rendah. Pekerjaan tersebut tidak lain merupakan perpanjangan dari pekerjaan domestik perempuan, seperti menjadi seorang juru masak, cleaning service, maupun resepsionis. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, laki-laki justru mendominasi posisi manajerial dan profesional. Oleh karena itu, relasi kekuasaan yang terdapat dalam dunia kerja akan sulit didapatkan bagi mereka para pekerja perempuan.

Berkaitan dengan hal tersebut, terbentuknya paradigma pembagian kerja yang eksis di masyarakat menjadi salah satu penyebab perempuan dinomorduakan. Dalam sebuah industri, para pekerja perempuan juga tidak jarang terus dipaksa melakukan sebuah produksi demi menghasilkan produk yang lebih banyak dalam memenuhi target. Hal tersebut, suatu industri dinilai telah memforsir tenaga kerja perempuan di atas kemampuannya.

Glass ceiling merupakan hambatan yang dialami oleh kaum minoritas dan perempuan agar dapat hidup lebih maju dalam mencapai kesuksesan yang lebih tinggi, seperti dalam menempati posisi kunci sebagai manajer maupun atasan.

Kemunculan glass ceiling dalam masyarakat tidak lain terjadi karena adanya bias gender, seperti stereotip, subordinasi, diskriminasi, hingga tanggung jawab perempuan dalam ranah domestik yang jauh lebih banyak dan berat. Sejauh ini, dampak yang dihadapi selama adanya glass ceiling ini bahwa para pekerja perempuan lebih sering mengalami penuh tekanan, kurangnya percaya diri, hingga menyebabkan gangguan psikologis.

Sangat disayangkan, hasil kerja perempuan dalam sektor publik kini kerap diremehkan dalam tempat kerja maupun atasan mereka sendiri. Tampaknya idiom, “don’t judge a book by its cover” tepat diberikan bagi para atasan yang hanya memandang sekilas bagaimana para pekerja perempuannya dalam menjalankan tugas. Tidak ada penilaian secara berkala dalam setiap harinya, sehingga mudah menyimpulkan suatu kondisi

Peran perempuan dalam pembangunan negara diharapkan mampu memainkan peran publik, tidak hanya dalam domestik. Seperti dengan keberadaan perempuan dalam sejumlah industri yang mampu menggerakkan pembangunan dan kemajuan negara dari ketertinggalan. Sebab, kemajuan suatu negara dapat dilihat melalui indeks pembangunan manusia yang tinggi, dalam artian memiliki memiliki pendidikan dan keterampilan yang dapat diadu dalam dunia kerja.

Semua manusia dalam kehidupan bermasyarakat ini pasti selalu menginginkan kedamaian dalam dunia, salah satunya dalam permasalahan gender. Perhatian khusus dari pemerintah dan lembaga terkait, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUG-PUPR) diharapkan mampu mendorong pengarusutamaan gender.

Pemberlakuan kebijakan ramah perempuan dinilai mampu memberi upaya dalam mewujudkan gender equality yang lebih konkret. Seperti halnya aturan dalam memperbolehkan perempuan bekerja dari rumah setelah cuti melahirkan, hak cuti haid dipertegas, adanya pemberian upah yang adil dan seimbang antara laki-laki dan perempuan, serta kebijakan dan hak perempuan dapat diberlakukan dengan sebagaimana mestinya.

Tidak melakukan diskriminasi merupakan salah satu cara mudah yang dapat kita implementasikan sekarang ini, baik sesama perempuan maupun laki-laki. Perlunya upaya potong generasi juga dapat menjadi salah satu cara agar keadilan gender dalam negara ini dapat berjalan efektif. Memang saja selama ini masih terdapat banyak kesulitan dan hambatan dalam memperjuangkan gender equality. Akan tetapi, tindakan tersebut dapat kita lakukan dalam diri kita dan orang-orang di sekitar kita agar dapat teredukasi juga terkait pentingnya keadilan gender.

Rizqina Mukarromah
Rizqina Mukarromah
Mahasiswi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.