Sejarah bukanlah barang usang yang harus kita tinggalkan, dengan sejarah kita bisa jadikan sebagai “bumbu” semangat zaman untuk mencapai perubahan. Membaca kembali catatan sejarah Indonesia dan beberapa negara seperti Amerika, Jepang dan negara-negara Eropa, tercatat bahwa kemajuan Negara mereka banyak ditentukan oleh posisi dan peranan pemuda.
Di Indonesia, tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka yang tergolong sebagai angkatan muda pada masanya telah memperjuangkan Indonesia menjadi sebuah negara merdeka, lepas dari intervensi pihak kolonialis Belanda. Peran mereka sebagai local genius telah menghantarkan Indonesia menuju “jembatan emas” kemerdekaan. Dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana, secara zelp help mampu mewujudkan Indonesia merdeka dan diakui kedudukannya di kancah dunia internasional.
Sampai saat ini dan kelak mobilitas masyarakat Indonesia pun masih dikendalikan oleh peran pemuda. Sebagai negara besar, Indonesia tentu memiliki jumlah penduduk yang tidak sedikit dengan segala kompleksitas masalah di dalamnya. Hal ini pernah menjadi perhatian Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia, yang memandang pemuda sebagai aset berharga milik bangsa Indonesia.
Menurut Hatta, “salah satu faktor yang menentukan posisi politik Indonesia dalam kancah global adalah kekayaan sumber daya alam yang berlimpah dan jumlah penduduk yang begitu besar” (Hatta, 1958). Namun, besaran jumlah penduduk Indonesia yang amat mewah ini tentu tidak akan bermakna apabila pemuda Indonesia hanya menjadi penikmat atau konsumen yang bersifat pasif.
Pemuda Indonesia di arus globalisasi berada dalam pusaran arus transformasi digitalisasi, di mana segalanya mudah didapat. Berbagai macam layanan kebutuhan publik dimudahkan, arus transformasi pengetahuan dengan mudah diperoleh dan arus informasi dengan mudah pula disebarkan.
Posisi dan peranan pemuda jaman now saya kira sejalan dengan pendapat Ken Wilber (2000) sebagai generasi baby boomer “generasi yang sedang bangkit”, hal itu dapat dibuktikan oleh kreatifitas generasi muda dalam bidang seni, musik, teknologi komputer, politik, hingga gaya hidup yang tak berkesudahan, sedikit banyak dikendalikan oleh kaum muda.
Tak ayal jika kemudian muncul pertanyaan, dimanakah posisi dan peranan pemuda Indonesia dalam situasi seperti saat ini?
Indonesia punya gawe
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar keempat di dunia pada tahun 2045 akan mendapat bonus demografi, dimana usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70 persen dari jumlah total penduduknya. Diperkirakan Indonesia saat itu mengalami masa jaya setelah satu abad merdeka dari penjajahan Belanda.
Selama ini pemerintah dinilai masih belum memposisikan pemuda sebagai aset masa depan bangsa untuk mencapai sebuah kejayaan. Melihat peranan dan posisi pemuda dalam catatan sejarah (Indonesia) yang vital dan begitu signifikan di satu sisi, sekaligus memprihatinkan di sisi lain, akibat lemahnya optimalisasi sumber daya manusia oleh pemerintah sebagai modal pembangunan. Absennya pemerintah dalam pembangunan sumber daya manusia bisa berakibat fatal. Bonus demografi yang seharusnya dapat menjadi berkah tersendiri bagi Indonesia justru bisa menimbulkan petaka jika tidak segera diambil langkah-langkah strategis.
Ada tantangan dan pertimbangan yang perlu diupayakan oleh kita semua menuju kejayaan Indonesia. Pertama, revolusi (mental) nasional belum menunjukkan arah yang jelas dan tidak tepat sasaran. Sejak pemerintahan presiden Joko Widodo, sempat nyaring gaung revolusi nasional (mental), tetapi revolusi itu masih jauh panggang daripada api, apabila revolusi ini benar terjadi modal utama Indonesia mencapai the golden age bisa diperoleh dengan mudah. Sayangnya, revolusi nasional hanya lantang di muka tanpa ada aksi nyata, buktinya tindak pidana korupsi masih merajalela di tingkat bupati sampai pejabat negeri.
Kedua, penyesuaian mental terhadap tantangan budaya global. Budaya tidak akan pernah berhenti atau bahkan habis, selama manusia masih bisa bergerak di bawah kolong langit. Poin ini mestinya menjadi gradasi berikutnya setelah revolusi mental secara nasional terlaksana, mental yang kokoh tak akan goyah oleh perubahan budaya dan semangat zaman yang terus terbarukan. Peran mental seseorang di tengah arus budaya dapat menentukan posisi pemuda, apakah ia berperan sebagai konsumen (objek) atau menjadi pelaku (subjek) di kancah dunia internasional.
Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai aktifator jalannya perubahan. Dalam bentuknya sebagai negara demokrasi, Indonesia harus memiliki peran penting menuju perubahan Indonesia dalam menggapai kejayaannya. Melalui penanaman ideologi, manusia dibentuk secara tidak sadar untuk berprilaku secara objektif. Memang, pemuda tidak memiliki tendensi terhadap pemerintah, tetapi bersama pemerintah peran pemuda menjadi lebih bermakna.
Di antara pemuda dan pemerintah terdapat kebutuhan saling melengkapi. Pemerintah membutuhkan pemuda untuk mentransimisikan kebijakannya kepada masyarakat luas, begitupun sebaliknya, pemuda membutuhkan otoritas pemerintah sebagai pembeking utama mereka. Secara sinergis (gotong royong) antara pemuda dan pemerintah dapat menghantarkan Indonesia mencapai kualitasnya di kancah nasional dan internasional mencapai kejayaannya.