Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ValueChampion tahun 2019, Indonesia disebut sebagai negara kedua di kawasan Asia Pasifik yang paling berbahaya untuk wisatawan wanita. Bagi beberapa orang, hal ini tentunya tidak terlalu mengejutkan. Pengalaman buruk wisatawan adalah cerminan dari apa yang harus dilalui wanita Indonesia dalam kesehariannya.
Di sini, isu kejahatan seksual sering disepelekan. Hal ini bisa dilihat dari cara publik dan media merespons kasus kejahatan seksual. Setidaknya ada tiga respons yang biasa muncul: seksualisasi korban, penyalahan korban, dan pemakluman tindak kejahatan.
Seksualisasi Korban
Menurut kamus Cambridge, seksualisasi adalah perbuatan memandang seseorang atau sesuatu dengan cara seksual. Di sini, derajat seseorang atau sesuatu itu hanya dinilai atas dasar seberapa menariknya mereka secara seksual.
Sikap seperti ini sangat merendahkan, sehingga bisa dikatakan bahwa seksualisasi itu merupakan wujud perendahan derajat seseorang.
Himpunan Psikolog Amerika (American Psychological Association) menjelaskan bahwa seksualisasi terjadi ketika:
- derajat seorang individu dinilai dari daya tarik atau perilaku seksualnya saja, tanpa memandang aspek pribadi lain yang dimilikinya,
- individu dihadapkan dengan definisi kecantikan yang sempit, di mana segala jenis daya tarik fisik dianggap seksi,
- individu dianggap sebagai “obyek seks”, yang artinya individu tersebut dianggap sebagai alat pemuas nafsu belaka, alih-alih manusia yang memiliki kehendak dan pemikirannya sendiri,
- individu dipaksa menjadi sosok yang menggairahkan (menarik secara seksual),
Empat faktor tersebut adalah indikator yang bisa digunakan untuk mendeteksi adanya seksualisasi. Dalam percakapan sehari-hari, respons seksualisasi ini tidak jarang terjadi. Orang dengan bebas menjadikan kasus pelecehan atau pemerkosaan sebagai bahan guyonan. Frasa “Cuma bercanda” sering digunakan sebagai pembelaan, seolah frasa itu bisa membatalkan dampak ucapannya.
Dalam pemberitaan kejahatan seksual di Indonesia (baik itu pelecehan seksual atau pemerkosaan), seksualisasi korban bisa dilihat dari pemberian judul yang lancang dan tidak pantas.
Misal:
- “Perkosa Istri Teman, ES: Saya Tergoda Lihat Pahanya” (MetroJambi, 7 September 2020)
- “Seorang Cucu Perkosa Neneknya karena Tergoda Lihat Tubuh Korban” (Kompas.com, 26 April 2020)
- Seorang Kakak Perkosa Adik Kandung Gara-gara Tergoda Kemolekan Tubuh, Nekat Panjat Dinding Kamar” (TribunNews, 2 September 2020)
- “Gara-gara Tergoda saat Lihat Korban Ganti Baju, Pemuda Ini Nekat Memperkosa Rekan Kerjanya”, (nkriku)
- “Joko Perkosa Anaknya yang Baru Kawin karena Terlalu Seksi dan Cantik” (SuaraJatim, 31 Maret 2020)
- “4 Pria di Sulsel Gilir Gadis 15 Tahun, Korban Dijebak Usai Kenalan di Medsos” (Detik, 9 April 2021)
Dari judul-judul atas, bisa kita lihat bagaimana ciri fisik korban dijabarkan secara frontal, seolah penulis ingin membangunkan fantasi seksual pembaca. Penulis seolah tidak peduli akan efek tulisan pada korban dan keluarga korban yang mungkin membaca berita tersebut.
Pembaca tidak perlu tahu tentang paha korban atau seberapa molek tubuhnya, atau semuda apa dia, karena ini adalah berita kriminal, bukan skrip film seksi. Penjabaran yang terlalu deskriptif seperti yang tercermin pada penggunaan kata “gilir”, atau frasa “baru kawin”, “ganti baju”, rasanya juga tidak perlu.
Jurnalis seharusnya berfokus pada aspek kriminalitas kejadian, bukan deskripsi ciri fisik korban atau prosedur kejadian. Perincian peristiwa itu urusan pengadilan dan polisi. Tugas media adalah memberitakan peristiwa, sembari melindungi korban serta keluarganya dari dampak negatif pemberitaan. Bukan justru mempermalukan korban dengan judul berita yang tidak karuan.
Seksualisasi korban dalam media sering terjadi di Indonesia. Belum ada koreksi karena mungkin sudah terlanjur dianggap normal. Awak media yang membuat berita tak pantas seperti ini seharusnya ditegur dan diberikan pelatihan lagi. Jika tidak ada perubahan setelahnya, segera diberhentikan. Masih banyak jurnalis di luar sana yang bisa menulis dengan lebih beradab dan layak baca.
Mempertahankan jurnalis yang gemar menseksualisasikan korban kejahatan itu memalukan. Bukan hanya dia telah melanggar kode etik jurnalistik, dia juga melanggar adab kesopanan.
Tindakannya merupakan refleksi pemikiran yang tidak senonoh dan ketidakmampuan berempati. Orang yang mampu berempati akan memikirkan secara mendalam efek tulisannya sebelum dia mengetikkan satu patah kata, alih-alih memberikan judul seronok demi mendapatkan banyak klik.
Beban mental yang ditanggung korban tidaklah ringan. Satu hal yang tak akan pernah terbersit dalam benak keinginannya adalah untuk lebih dipermalukan lagi.
Penyalahan Korban
Korban kejahatan seringkali disalahkan. Tidak jarang kita mendengar orang berkomentar bahwa pelecehan atau pemerkosaan terjadi karena baju korban terlalu seksi. Atau karena korban pulang malam.
Dalam pemberitaan, hal serupa pun terjadi. Jika kita simak lagi contoh-contoh judul berita di atas, kita bisa melihat tendensi pemberitaan yang menjurus pada sikap menyalahkan korban (victim blaming). Lihat saja kata “tergoda” yang muncul di sana.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “tergoda” memiliki makna “kena goda; digoda”. Implikasi dari penggunaan kata ini ialah bahwa kejadian tersebut bukanlah sepenuhnya salah pelaku (karena dia “kena goda” atau “digoda” oleh si korban). Di sini, korban disalahkan, sementara pelaku justru dicitrakan sebagai korban.
- Perkosa Istri Teman, ES: Saya Tergoda Lihat Pahanya” (MetroJambi, 7 September 2020)
⇒ Makna implisit: yang salah adalah istri teman (karena ciri fisiknya dianggap menggoda); ES korban godaan.
- “Seorang Cucu Perkosa Neneknya karena Tergoda Lihat Tubuh Korban” (Kompas.com, 26 April 2020)
⇒ Makna implisit: yang salah si nenek (karena ciri fisiknya dianggap menggoda); si cucu korban godaan.
- Seorang Kakak Perkosa Adik Kandung Gara-gara Tergoda Kemolekan Tubuh, Nekat Panjat Dinding Kamar” (tribunnews, 2 September 2020)
⇒ Makna implisit: yang salah si adik kandung (karena ciri fisiknya dianggap menggoda); si kakak hanya korban godaan. Demikian seterusnya. Dalam kata “tergoda” terdapat unsur khilaf, yang artinya sesuatu itu dilakukan karena tidak sengaja.
Tindakan pelaku digambarkan sebagai sesuatu yang bukan sepenuhnya didasari atas kemauan sendiri, melainkan datang dari pengaruh luar. Pelaku digambarkan sebagai sosok tidak berdaya yang layak dibela dan tindakannya harus dimaklumi.
Pemakluman Tindakan
Banyak orang sering menggunakan dalil bahwa kejahatan seksual terjadi karena pria tidak bisa mengontrol dorongan “biologisnya”. Ibarat orang lapar, dia akan mencuri makanan untuk dimakan.
Logika ini tidak masuk akal karena kebutuhan biologis seperti makan dan minum itu secara langsung berkaitan erat dengan kelangsungan hidup seseorang, tapi tidak demikian dengan seks.
Tanpa makan dan minum, seseorang bisa jatuh sakit dan meninggal dunia. Tanpa seks, manusia masih bisa hidup. Jadi “dorongan biologis” tidak bisa dijadikan alasan melakukan tindak kejahatan seksual.
Seks bukan perkara hidup atau mati. Jika pelaku “tidak bisa menahan diri”, itu murni kesalahannya.
Hidup di tengah masyarakat beradab mengharuskan kita memahami aturan dan norma yang berlaku. Kalau pelaku menolak norma dan aturan tersebut, dia wajib menanggung risikonya.
Menurut psikolog dan pakar tindak kriminal Stanton Samenow, Ph.D., penjahat seksual melakukan tindakan menyimpang karena dia ingin menunjukkan kekuatannya. Dengan menguasai tubuh korban, dia bisa mendapatkan “pembuktian” bahwa dirinya memang sekuat yang dipikirkannya.
Jika pada umumnya manusia berhubungan seks untuk mendapatkan kepuasan batin dan menjalin hubungan, pelaku memaksakan seks untuk membuktikan dirinya berkuasa.
Jadi, kepuasan seks bukanlah prioritas pelaku, melainkan keinginan untuk menguasai dan mengontrol itulah yang ingin dicapainya. Alasan “tidak bisa menahan diri” adalah taktik untuk mencari simpati dari khalayak awam.
Sayangnya, banyak yang termakan omong kosong tersebut. Publik memaklumi. Media memberikan pembelaan melalui pemberitaan.
Pembelaan ini tidaklah lengkap jika tanpa menyalahkan korban. Jika pihak korban tidak bisa disalahkan, maka mereka akan mencari hal-hal lain yang bisa dikambinghitamkan. Misalnya, film porno, minuman keras, atau setan.
Keberpihakan semacam ini tidak bisa dibenarkan karena akan semakin menyudutkan korban.
Apa yang Harus Dilakukan?
Korban kejahatan seksual (serta keluarganya) menanggung beban berat trauma akibat peristiwa buruk yang menimpanya. Gosip dan komentar negatif akan menambah beban mental korban.
Masyarakat seharusnya belajar berempati dan mengedukasi diri tentang kejahatan seksual. Dengan demikian, mereka bisa menjadi lebih kritis.
Tanggung jawab lebih besar ada di tangan media karena mereka memiliki kekuatan yang luar biasa dalam hal membentuk persepsi. Jangan korbankan kredibilitas demi klik. Kehormatan korban perlu dijaga dan dilindungi.
Tugas media, di antaranya, adalah mendidik publik dan memperkenalkan persepsi baru yang lebih baik. Jadi tidak pantas jika merendahkan harkat martabat orang seperti ini.
Kejahatan seksual mungkin tak akan pernah bisa sirna seutuhnya, akan tetapi, dengan tindakan yang tepat kita dapat mengurangi frekuensi kejadian.
Upaya pengurangan ini bisa dimulai dengan membangun kesadaran akan hak asasi korban kejahatan seksual, melalui pemberitaan yang empatik dan bertanggung jawab serta masyarakat yang kritis dan beradab.