Dalam beberapa tahun terakhir, tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Myanmar banyak menarik perhatian dunia internasional. Pada tahun 2018, Amnesti Internasional mencatat adanya upaya genosida terhadap kelompok minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine.
Sebagai dampaknya, banyak warga Rohingya yang mengungsi, tercatat sekitar 740 ribu warga Rohingya pergi ke Bangladesh. Ketika junta militer mengkudeta kekuasaan pada Februari 2021, tindak kekerasan semakin gencar dilakukan termasuk penggunaan senjata kepada para demonstran anti pemerintah. Belum lagi penangkapan ilegal yang diduga masih terus dilakukan kepada pihak-pihak yang dianggap kritis bagi pemerintahan junta militer tersebut. Human Rights Watch (2022) mencatat penangkapan sepihak ini mencapai lebih dari 13.000 orang.
Dalam merespon situasi di Myanmar, ASEAN sendiri tidak tinggal diam. Sembilan pemimpin negara ASEAN dan kepala junta militer Myanmar bertemu di Jakarta pada 24 April 2021 dan membuat 5 kesepakatan: pertama, kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan; kedua, demi kepentingan bersama, para pihak untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif untuk mencari solusi damai; ketiga, utusan khusus ASEAN akan memfasilitasi dialog yang dimaksud; dan kelima, utusan khusus dan delegasi ASEAN akan berkunjung ke Myanmar untuk menemui para pihak. Kelima kesepakatan ini diharapkan menjadi awal positif untuk menyelesaikan persoalan di Myanmar.
Namun, tidak lamaberselang, pemerintah junta militer Myanmar justru terus melakukan tindak kekerasan. Atas situasi ini, para pemimpin ASEAN pada akhirnya memutuskan untuk tidak melibatkan Myanmar dalam pertemuan ASEAN Summit pada Oktober tahun lalu, melainkan meminta perwakilan non-politik untuk terlibat disana. Permintaan ini ditolak oleh Myanmar. Langkah yang ditempuh ASEAN ini dianggap sebagai tindakan yang cukup maju mengingat prinsip non-interference yang dipegang teguh ASEAN. Meskipun, kenyataannya tidak ada kemajuan cukup berarti setelah itu.
Penangguhan Myanmar?
ASEAN pun didesak untuk melakukan tindakan lebih tegas, termasuk upaya penangguhan Myanmar dari keanggotaan ASEAN. Fenomena penangguhan keanggotaan negara dalam sebuah organisasi internasional bukanlah hal yang baru sama sekali. PBB pernah mengangguhkan kenggotaan Libya dari Dewan HAM PBB pada tahun 2011 lalu menyusul pecahnya protes anti-pemerintah di negara Afrika ini. Kasus paling baru adalah penangguhan keanggotaan Rusia dari Dewan ini setelah tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Rusia di Ukraina.
Bagi saya, gagasan penangguhan keanggotaan Myanmar dari ASEAN bisa ditempuh ketika tidak ada upaya lain yang bisa di lakukan lagi. Ada beberapa pertimbangan tentang hal ini. Pertama, penangguhan keanggotaan sebuah negara tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Contoh konkret adalah penangguhan Rusia dari Dewan HAM PBB. Alih-alih meredakan ketegangan dan perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, sampai hari ini perang masih berlanjut tanpa kepastian kapan perang akan berakhir. Dan ini tidak hanya berdampak kepada situasi di kedua negara tapi juga situasi global.
Kedua, penangguhan keanggotan sendiri tidak disebutkan dalam Piagam ASEAN sehingga upaya ini tidak gampang dilakukan. Berbeda dengan PBB yang menyebutkan soal penangguhan anggota yang disebutkan dalam Piagam PBB bagian 2 poin 5 bahkan pengeluaran (poin 6), ASEAN tidak menyebutkan secara spesifik soal penangguhan ini. Ketika ada pelanggaran serius yang dilakukan oleh sebuah negara, maka keputusan terkait langkah penyelesaian atau pemberian sanksi akan ditentukan lewat pertemuan ASEAN (ASEAN Summit). Ini berarti bahwa penagguhan mungkin dilakukan ketika ada kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam ASEAN Summit.
Persoalannya adalah adanya perbedaan sikap anggota ASEAN terkait Myanmar. Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina cenderung bersikap tegas dengan mengkritik keras tindak kekerasan junta militer dan menyerukan agar larangan pelibatan perwakilan politik Myamar dalam pertemuan ASEAN terus dilanjutkan. Sementara itu Kamboja, sebagai chair ASEAN tahun ini,cenderung mengambil jalan yang lebih kompromis dengan mengunjungi pemerintahan junta militer meskipun tidak diberi akses bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Dalam 5 poin kesepakatan, terutama poin ke lima, utusan khusus ASEAN harus diberikan akses untuk bertemu dengan semua pihak, termasuk kubu anti pemerintah junta militer. Sebelumnya, utusan khusus ASEAN dari Brunei Darussalam ditolak masuk ke Myanmar ketika hendak bertemu dengan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin yangditahan.
Ketiga, yang paling penting untuk dilakukan dalam konteks Myanmar sekarang ini adalah mengupayakan penghentian tindak kekerasan dan pelanggaran yang masih terus terjadi di sana. 5 kesepakatan yang ada, setelah setahun berjalan, terbukti tidak efektif. Karena itu, para pemimpin ASEAN perlu memikirkan langkah alternatif lain yang lebih tegas seperti kesepakatan yang lebih mengikat terkait waktu. Selain itu, pemberlakuan sanksi terbatas dalam bentuk pengontrolan pembelian senjata bagi Myanmar, misalnya, bisa ditempuh.
Ketika berbagai upaya tersebut gagal, maka penagguhan sementara keanggotaan Myanmar bisa dilakukan. Lebih dari itu, ASEAN juga perlu melibatkan pihak lain seperti PBB ataupun negara lain dalam mengupayakan penghentian tindak kekerasan yang terjadi di Myanmar dengan langkah yang lebih konkret. Ini untuk menepis anggapan bahwa ASEAN, yang memegang teguh prinsip non-interference dan konsensus, hanya dijadikan tameng bagi Myanmar dalam kasus tindak kekerasan dan pelanggaran mereka.
Kasus Myanmar adalah tantangan serius bagi kredibilitas ASEAN. Kasus ini bisa menjadi momentum bagi para pemimpin organisasi ini untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam upaya penyelesaian konflik kekerasan yang dialami negara anggota. Termasuk dalam hal ini adalah meninjau ulang atau menafsirkan secara progresif prinsip non-interference yang selama ini dianut. Apalagi ketika kasus yang terjadi berkaitan dengan palanggaran HAM.
ASEAN sendiri tidak memaknai dengan jelas apa yang dimaksud dengan“interference” ini. Praktik politik pada tahun 1990-an oleh negara anggota menunjukkan bahwa “inteference” ini dimaknai sebagai sebuah kontinum yang mewadahi segala bentuk intervensi mulai dari komentar politik sampai intervensi militer (Bellamy dan Drummond2011). Tafsir yang luas ini memungkinkan prinsip non-interference ala ASEAN tidak hanya berfungsi sebagai norma ideal bersama, tapi tidak jarang menjadi alat politik bagi negara anggotanya. Dalam bahasa yang lain, prinsip non-interference dalam prakteknya sering ditafsirkan dan digunakan secara pragmatis (Jones 2010).
Kredibilitas ASEAN tidak hanya tergantung pada kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan anggota, tapi juga kemauan dan keterbukaan untuk bekerja sama dengan organisasi lain seperti PBB untuk menyelesaikan konflik-konlik lain dalam kawasan regional maupun internasional. Dengan berlaku demikian, maka tafsir yang lebih progresif atas prinsip non-interference dimungkinkan. Tanpa itu, maka prinsip ini hanya akan menjadi kedok bagi tindakan-tindakan yang menyalahi norma komunitas internasional.