Kamis, Maret 28, 2024

Musnahnya Perkembangan Bahan Bakar Gas di Indonesia

Insan Ridho
Insan Ridho
Pekerja di sektor transportasi dan lulusan program magister MSc Transport Planning and Engineering di Newcastle University, Inggris

Sewaktu kecil, saya sempat terkesima oleh Bahan Bakar Gas (BBG). BBG ibarat obat penawar dari penggunaan kompor kuno. Kompor lama yang dimiliki orang tua saya berbahan bakar minyak tanah. Saya tahu betul sulitnya mengurusi kompor minyak tanah. Wajah yang berlumur minyak adalah pemandangan lazim tiap kompor lawas tersebut minta diperbaiki.

Keruwetan soal kompor sirna begitu keluarga saya menggunakan kompor gas. Bau minyak tanah dan tali sumbu kompor tidak membebani saya lagi. Hanya saja, saya kini tak lagi terkesan oleh BBG. Selain soal kompor gas, BBG terdengar samar-samar saja di benak saya. Kesan baik soal BBG sewaktu kecil nyaris tak berbekas.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Agustus 2021 menggegerkan banyak pihak termasuk sektor energi. IPCC menyebut energi menjadi salah satu biang keladi bencana karena pemanasan global. Seruan untuk beralih ke energi terbarukan semakin lantang terdengar termasuk di Indonesia.

Pada saat yang sama, Indonesia telah membuka tabir perkembangan energi terbarukan dalam beberapa tahun terakhir. Banyak program pemerintah mendorong ekosistem energi terbarukan, seperti tenaga surya. Limpahan insentif diberikan demi memompa penggunaan energi terbarukan. Perkembangan kendaraan listrik dalam sektor transportasi pun ikut menunggangi tren energi terbarukan.

Di sisi lain, Bahan Bakar Minyak (BBM) masih terus digunakan oleh masyarakat. Tulang punggung perekonomian Indonesia masih ditopang sebagian besar oleh subsidi BBM yang melimpah. Tak ayal, konsumsi BBM begitu menjalar pada sendi-sendi ekonomi masyarakat. Rakyat akan berteriak jika harga BBM melonjak. Ini menandakan BBM masih merajai peta energi di Indonesia terutama di sektor transportasi.

Selain energi terbarukan dan BBM, ada hal yang kini luput oleh kita. Kita telah melupakan bahan bakar alternatif yang sempat panas: Bahan Bakar Gas (BBG). BBG seakan lenyap tak berbekas dalam obrolan kita. Nyaris tidak ada orang yang membahasnya lagi, kecuali untuk kebutuhan memasak atau industri.

Jadi, ke mana perginya potensi BBG?

BBG memang masih banyak digunakan untuk sektor transportasi. Kapal, truk, bus, dan bajaj dengan BBG adalah beberapa konsumen tetap BBG. Selebihnya, BBG tak terasa marwahnya sebagai bahan bakar alternatif. Sebagian dari kita bahkan merasa asing saat mendengar singkatan BBG terlebih dalam konteks transportasi. Seberapa sering Anda melihat kendaraan berbahan bakar gas?

Faktor kuat yang melatarbelakangi impotensi BBG berasal dari pesaingnya sendiri, BBM. BBM masih menjadi primadona bagi sebagian besar orang karena kebanyakan kendaraan masih butuh BBM. Baik di sektor transportasi atau sektor industri, BBM sulit digantikan oleh energi lain. Berdasarkan data dari Pertamina pada 2014, konsumsi BBG hanya mencapai 38 juta kiloliter sedangkan BBM 46 juta kiloliter. BBG jelas inferior soal volume konsumsi.

Pemicu lain dari dominasi BBM terhadap BBG adalah subsidi BBM yang masih tinggi. Meskipun banyak program hadir untuk mengefisiensikan subsidi BBM, masyarakat nyatanya tidak begitu peduli dengan program semacam itu. Karena subsidi yang melimpah, harga BBM yang terlampau murah begitu sulit untuk dilupakan bagi rakyat jelata. BBG semakin tidak dilirik oleh masyarakat.

Yang menjadi ganjalan lain perkembangan BBG di sektor transportasi adalah kelangkaan pasokan gas di sejumlah wilayah. Tanpa pasokan yang cukup, BBG praktis tidak layak menjadi pilihan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Sejumlah daerah di Indonesia pun bisa mengalami kelangkaan yang cukup membuat pusing. Ini bukan hanya terjadi di daerah-daerah terpencil melainkan kota-kota besar di Pulau Jawa.

Salah satu kasus terbaru soal kelangkaan BBG yang lumayan parah terjadi di Kota Jember. Gas Elpiji 3 kg atau gas melon mulai jarang dijumpai sejak dua pekan terakhir. Warga tidak dapat melanjutkan aktivitas sehari-hari dengan mudah, seperti memasak. Kalau pun tersedia, harga Elpiji jauh melambung tinggi. Hal ini pun berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kebutuhan transportasi berbahan bakar BBG di Jember.

Kasus keterbatasan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) juga muncul beberapa tahun yang lalu. Beberapa armada Transjakarta sempat beralih menggunakan bus dengan BBG. Akan tetapi, proyek alih ke BBG ini tidak berjalan mulus. Sejumlah bus sulit melakukan pengisian BBG karena keterbatasan fasilitas. Ini tentu berpotensi mengganggu pola operasi bus Transjakarta yang memiliki jadwal ketat. Alhasil, Transjakarta kini lebih banyak memanfaatkan bus dengan BBM.

Maka, kita tidak perlu kaget bila tak banyak SPBG yang masih aktif beroperasi. Kebanyakan sudah gulung tikar karena berbagai alasan. Alasan finansial menjadi salah satu penyebab punahnya SPBG di berbagai kota. Pemilik SPBG sulit mengambil laba bahkan mencapai titik balik modal. Ini belum juga memperhitungkan pasokan gas yang terbatas. Pebisnis juga perlu realistis, bukan?

Kehadiran energi baru dan terbarukan juga mengaburkan potensi bahan bakar gas. Ini bisa jadi alasan utama BBG tidak dilirik lagi. Energi surya dan energi terbarukan lain kini memakan perhatian semua pihak. Kemudahan dalam konversi ke energi terbarukan menjadi penyebab konversi ke BBG semakin kurang dilirik. Harga konversi ke energi terbarukan pun sudah bersaing ketimbang berpindah ke BBG.

Jika dibandingkan dengan BBG, peralihan ke energi terbarukan, seperti tenaga surya, memang lebih seksi. Proses instalasi pembangkit listrik tenaga surya rumahan lebih menarik bagi orang awam sekalipun. Secara teknis, tenaga surya tidak membutuhkan tangki gas yang memakan banyak ruang. Penyaluran gas pun tidak semudah mendapatkan pancaran sinar matahari. BBG menjadi makin mati kutu.

Akhirnya, BBG kini sudah kehilangan pendarnya. Setelah menjadi bahan bakar alternatif yang menjanjikan, masa depan kita tidak bisa bertumpu pada BBG. Beberapa sektor jelas masih memerlukan BBG, seperti sektor industri. Namun, harapan BBG untuk berkembang makin menipis. BBG sudah berada dalam posisi skak mat dalam percaturan energi di Indonesia.

Saya percaya hidup saya waktu kecil akan makin sulit tanpa kehadiran BBG. Akan tetapi, BBG rasanya tidak relevan lagi bagi saya selain untuk bahan bakar kompor. Asa saya untuk BBG bisa dibilang nyaris punah. Saya bahkan berpikir keras, “Apakah saya perlu membeli kompor listrik, ya?”

Insan Ridho
Insan Ridho
Pekerja di sektor transportasi dan lulusan program magister MSc Transport Planning and Engineering di Newcastle University, Inggris
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.