Dalam al-Qur’an, tidak ada teks yang secara terang benderang menyinggung masalah musik. Fatwa-fatwa ulama juga menunjukkan pendapat yang berbeda-beda tentang musik, ada yang membolehkannya, ada pula yang melarangnya. Mereka yang melarang musik, mendasarkan diri pada penafsiran atas Surat Lukman Ayat 6:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”.
Menurut catatan sumber-sumber Muslim awal, ditemukan pandangan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa ayat ini mengacu pada makna nyanyian atau bernyanyi. Juga, salah seorang penafsir awal, Mujahid, mengatakan bahwa makna ayat ini mengacu pada bermain drum. Lebih tegas lagi, Hasan al-Basri berpendapat bahwa ayat ini mengacu pada bernyanyi dan alat musik.
Beberapa pendapat ulama kontemporer yang juga menolak musik, sebagamana dikutip oleh Abdullah Saeed dalam bukunya berjudul “Islamic Thought; an Introdaction”, menyatakan bahwa makna ayat ini mencakup segala bentuk ucapan yang dilarang, omong kosong, kebohongan dan bentuk diskusi yang mendorong kepada ketidakpercayaan kepada Tuhan, seperti ghibah, kebohongan dan fitnah, penghinaan, makian, menyanyi dan alat-alat musik iblis yang dianggap tidak memiliki manfaat secara spiritual dan duniawi.
Selain itu, ada ayat lain yang juga dijadikan landasan dasar untuk melarang musik, seperti tertuang dalam Surat Al-Isra’ Ayat 64: “Dan perdayakanlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu”. Ibn Qoyyim berpendapat bahwa kata “suaramu” dalam ayat ini mengacu pada segala sesuatu yang tidak patuh kepada Allah. Sehingga, siapa saja yang memainkan musik dan menimbulkan bunyi-bunyian, maka itu termasuk kategori suara iblis.
Sementara itu, mereka yang memilih sikap terbuka dan membolehkan musik, berpendapat bahwa alam raya ini pada hakikatnya adalah orkestra simponi yang terdiri atas lantunan suara, gerakan, nada, ritme dan berbagai ketukan yang indah dan saling beriringan, semua itu diciptakan secara sempurna oleh Allah.
Tilawatil Qur’an misalnya, merupakan bentuk ekspresi musik religius yang amat mendalam. Banyak hadits yang menyebutkan agar al-Qur’an dibaca dengan bacaan yang indah dan harmonis. Selain itu, seruan sholat pun (adzan) dimulai oleh Nabi sendiri pada tahun pertama setelah hijrah ke Madinah. Suara panggilan untuk mendirikan sholat juga dilantunkan dengan irama yang indah.
Para ulama yang membolehkan musik, mendasarkan diri pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Ia mengatakan bahwa pada suatu hari raya, Abu Bakar memasuki rumah yang juga ditinggali oleh Nabi. Di dalam rumah tersebut, ada dua wanita yang sedang bernyanyi, lalu Abu Bakar marah dan berkata “Apakah alat musik setan dibiarkan di dekat Nabi?”, Nabi mendengar dan berkata kepada, “Wahai Abu Bakar, masing-masing kaum memiliki hari rayanya, dan inilah hari raya kita” (Sahih Bukhari).
Hadits lain yang dikutip oleh mereka yang membolehkan musik adalah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad pernah menyuruh agar seorang penyanyi dikirim ke sebuah acara pesta pernikahan yang diselenggarakan oleh salah seorang Sahabat dari Madinah.
Terlepas dari sikap umat Islam yang pro dan kontra terhadap musik, sejarah telah membuktikan bahwa musik telah menjadi suatu pencapain yang sempurna dan memiliki momentum saat masa keemasan Islam era itu, yakni pada antara abad ke-8 hingga abad ke-13. Adanya interaksi dengan budaya luar melalui proses asimilasi menjadikan musik Arab berkembang semakin pesat.
Secara integral, musik juga dikaitkan dengan disiplin ilmu pengetahuan. Misalnya, buku-buku dari Yunani yang dibaca oleh para cendekiawan muslim telah membantu mengembangkan musik menjadi suatu disiplin spekulatif dan menjadi bagian dari bidang ilmu matematik.
Begitu juga pada masa kekaisaran Turki Usmani, adanya hegemoni politik era dinasti Utsmaniah telah menyebabkan terjadinya asimilasi dan pertukaran budaya secara gradual, khususnya interaksi antara musik Arab dan Turki sekaligus menyerap berbagai unsur musik dari Asia Tengah, Persia, Anatolia dan juga kebudayaan Islam Damaskus dan Irak pada masa abad pertengahan.
Sebut saja misalnya musik religius sufi dalam bentuk instrumen, tari dan vocal suara yang sebagaian telah ditransmisikan ke dalam dunia Islam melalui jenis tarikat Maulawiah, atau suatu bentuk ajaran musik yang berasal dari Turki selama abad ke13 M.
Al-Farabi, salah seorang filosof dan ilmuwan yang sangat produktif, juga menulis tentang musik yang tertuang dalam karyanya berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir. Kitab ini secara khusus, membahas tentang tema-tema utama dalam musik, seperti ilmu suara, instrumen musik, komposisi dan pengaruh musik. Seorang teoritikus abad ke-13 M, Saifuddin al-Urmawi, juga merupakan seorang kontibutor musik yang sangat signifikan terhadap perkembangan pengetahuan dan sistematisasi model-model irama musik.
Ini menunjukkan bahwa musik dalam sejarah Islam telah menjadi bagian penting dari cakrawala perkembangan ilmu pengetahuan. Musik tidak hanya sekedar alat atau bunyi-bunyian yang tidak berguna, tetapi berkembang lebih jauh melintasi batas agama dan kebudayaan. Jadi tidak benar jika musik dan nyanyi-nyanyian selalu mengacu pada hal-hal yang menjauhkan diri kepada Allah. Justru seseorang dapat menjadi amat sangat religius berkat musik, sebagaimana dalam sufisme yang tergambar dalam tarikat Maulawiah.