Kamis, April 18, 2024

Moralitas dan Keadaban Politik di Mata Demokrasi Buya Syafii

Faizin Amahoroe
Faizin Amahoroe
Mahasiswa Ilmu Hadis, Universitas Ahmad Dahlan. Divisi Litbang Pegiat Pendidikan untuk Indonesia (Pundi). Kabid RPK IMM FAI UAD 2021-2022.

Nurcholis Majid, cendekiawan muslim dan juga sahabat baik Buya Syafi’i, mengibaratkan bahwa membicarakan demokrasi di Indonesia seperti mengunjungi rumah antik.

Kita terkadang mampu mengetahui dengan pasti tata ruang, desain bangunan, dan perabotannya. Tetapi, belum tentu dapat memahami bagaimana penghuninya dulu hidup (Madjid, 1994).

Pasca kemerdekaan, negara ini mulai memperbaiki sistem pemerintahan walaupun belum sepenuhnya stabil.

Mulai dari Orde lama dengan demokrasi terpimpinnya, Orde Baru dengan demokrasi pancasilanya yang otoriter sampai demokrasi reformasi yang memberi kebebasan dan partisipasi masyarakat. Di usia yang sudah mencapai 77 tahun, demokrasi Indonesia mengalami pasang surut.

Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada awal Februari 2022 menunjukkan indeks demokrasi Indonesia rata-rata mencapai 6,71. Skor ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2020 yang menyentuh 6,30.

Namun, kualitas demokrasi Indonesia masuk kategori flawed democracy (demokrasi catat) bahkan lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06).

Demokrasi merupakan pilar penting dalam membangun realitas persatuan dan kebangsaan. Apalagi cita-cita luhur para pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia negara yang menjunjung nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan.

Negara dikatakan demokrasi apabila prinsip egaliter dan keadilan di mata hukum berlaku bagi semua warga negara, membuka kebebasan dan partisipasi dalam membuat keputusan, serta adanya kesejahteraan ekonomi.

Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) seperti yang dilaporkan Kompas.com memandang bahwa demokrasi Indonesia tidak bisa dilihat secara kuantitatif saja.

Penelitian LP3ES secara kualitatif justru mendapati demokrasi Indonesia tidak banyak berubah dari tahun sebelumnya.

Beberapa indikator antara lain adalah penggunaan kekerasan aparat terhadap warga, kebebasan ekspresi masyarakat sipil yang dibatasi, pelaporan aktivis ke kepolisian oleh pejabat negara, dan juga konsolidasi oligarki yang makin cepat dan kuat.

Indikator tersebut menunjukkan adanya keretakan dalam menjalankan nilai-nilai demokrasi dan pancasila. Buya Syafi’i pun sering kali sampaikan bahwa pancasila itu digaungkan di mulut,  dimuliakan di tulisan, tetapi miskin dalam perbuatan.

Kritik Demokrasi Buya Syafii

Adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif, Intelektual yang dijuluki sebagai Muazin Moralitas Bangsa ini paling gencar mengkritik sistem politik dan demokrasi Indonesia.

Menurut beliau demokrasi saat ini adalah kompi-kompi politikus yang miskin pengalaman dan wawasan keindonesiaan. Literasi politik mereka kering dan sepi sehingga mereka tidak mampu memahami tujuan Indonesia merdeka (Maarif, 2022).

Para politikus dan partai politik justru menciptakan gelanggang yang memiliki tujuan serba pragmatis. Nalar kebangsaan mereka dangkal dan tidak mampu membaca lebih jauh kebutuhan-kebutuhan yang lebih penting.

Bagi Buya Syafii salah satu tantangan terbesar dalam membentuk iklim demokrasi yang sehat adalah para politikus yang memiliki mentalitas sumbu pendek.

Politikus sumbu pendek adalah mereka yang tidak pernah mau naik kelas menjadi negarawan. Salah satu karakternya adalah daya jangkau mereka diibaratkan seperti sebatas pekarangan rumah yang sempit.

Persoalan-persoalan yang lebih besar dan kompleks hanya menjadi percuma. Bahkan mereka tidak memiliki Integritas dan wawasan kebangsaan serta rasa tanggung jawab berbangsa dan bernegara.

Untuk demokrasi yang efektif, Buya Syafi’i menghimbau kepada partai politik untuk mendorong dan memberi peluang kepada kader yang memiliki integritas.

Partai politik sebagai aktor demokrasi harus mampu melahirkan politisi yang berwawasan luas dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat. Kerja-kerja mereka adalah harapan bahwa demokrasi indonesia belum mati suri.

Pendidikan pula harus mengambil peran dalam membangun kesadaran dan martabat kebangsaan, terutama terkait demokrasi.

Anindito Aditomo, Kepala Badan Penelitian dan pengembangan dan perbukuan menyampaikan, salah satu fungsi fundamental dan esensial dari cita-cita kemerdekaan adalah untuk menjadi bangsa demokratis.

Pendidikan demokrasi adalah upaya untuk mengenalkan, mempelajari, mempraktikkan prinsip dan nilai-nilai demokrasi.

Harapannya, pendidikan demokrasi dapat membentuk masyarakat yang lebih cakap dan cerdas dalam menentukan sikap politik. Hal ini merupakan cara untuk memperbaiki budaya politik Indonesia yang dalam indeks demokrasi nilainya selalu stagnan.

Moralitas dan Keadaban Politik Prespektif Demokrasi Buya Syafii

Pasca Pemilu tahun 2014 sampai pemilu tahun 2019, pilihan politik yang berbeda menjadikan masyarakat terpecah belah, terutama di media sosial. Padahal seharusnya mampu disikapi dengan bijak.

Salah satunya dengan menumbuhkan -meminjam istilah Moh. Hatta- moralitas inklusif (terbuka) yaitu moralitas yang melampui sekat-sekat yang bersifat formalistik.

Terutama keluar dari sentimen terhadap agama, etnis, suku,  dan budaya sehingga dapat sejalan dengan nafas kebangsaan dan kemanusiaan. Masyarakat kemudian tidak memonopoli kebenaran yang memiliki potensi mendiskriminasi kelompok yang berbeda.

Penyebab pertengkaran publik dan politik juga karena penyebaran informasi yang tidak benar. Berbahaya sekali, jika itu dilakukan untuk kepentingan politik jangka pendek. Masyarakat masih saja labil sedangkan pemilu adalah rutinitas lima tahunan.

Demokrasi kita bahkan menerobos etika sopan santun, perilaku yang telah kita rawat sejak lama, padahal perbedaan adalah niscaya yang seharusnya tidak membunuh kemanusiaan kita.

Buya Syafi’i menekankan bahwa informasi yang tidak jujur (hoaks, dusta) dapat memutus tali persaudaraan. Sebagai konsumen informasi masalah seperti ini harus kita sikapi dengan arif.

Bahkan, Allah Swt memerintahkan untuk bersikap tabayyun (ketelitian) guna tidak mendatangkan bahaya sehingga menjadi penyesalan bagi kita nantinya. (Q.S al-Hujurat/49:6).

Kultur politik demokrasi harus tetap dalam bingkai kesopanan dan keadaban, hal ini terus diingatkan oleh Buya Syafi’i. Sesuai dengan amanat sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Bagi Buya, hanya dengan cara-cara yang beradab, jati diri bangsa akan mancarkan kekuatan dan mengaluarkan bangsa ini dari situasi yang kelam. Sila ke-lima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”  harus menjadi pedoman utama dalam pembangunan nasional. (Mizan, 2022)

Mengutip yang disampaikan Buya Syafii,  “Politik tunaadab dan tuna moral telah dan akan menggrogoti nilai-nilai luhur bangsa dan membunuh cita-cita kemerdekaan, dan itu adalah penghianatan terbuka terhadap martabat bangsa dan negara ini!”.

Pemilu serentak 2024 sebentar lagi. Situasi ini menguji kembali komitmen persatuan, kebangsaan, dan kemanusiaan kita.

Apakah sebagai bangsa yang besar kita dapat belajar dari “politik perpecahan” yang lalu-lalu? Atau kita malah membuat gelanggang perpecahan yang baru karena perbedaan pandangan, pilihan politik maupun ideologi?

Sejarah telah menggambarkan besar upaya untuk menjadikan bangsa ini berdiri di atas kaki sendiri. Namun, kita tidak pernah menjadi bangsa yang dewasa dalam menyelesaikan problematika-problematika kebangsaan yang ada.

Faizin Amahoroe
Faizin Amahoroe
Mahasiswa Ilmu Hadis, Universitas Ahmad Dahlan. Divisi Litbang Pegiat Pendidikan untuk Indonesia (Pundi). Kabid RPK IMM FAI UAD 2021-2022.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.