Di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) di New York, September 2025, Presiden Indonesia berdiri tegak dengan sorot mata yang penuh keyakinan. Suaranya yang mantap menggema di ruangan megah itu, membawa pesan yang bukan hanya untuk hadirin di ruangan tersebut, tetapi untuk seluruh umat manusia di planet ini. “Kita tidak bisa membiarkan tragedi kemanusiaan di Gaza berlangsung terus-menerus. Dunia harus bersuara bersama untuk menghentikan kekerasan yang tak berdasar.
Kemanusiaan harus menjadi dasar segala kebijakan global – bukan hanya kekuatan, tetapi keadilan.” Momen ini bukan sekadar pidato diplomatik biasa. Ini adalah manifestasi dari perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian dunia.
Sebagai seorang praktisi komunikasi dan tenaga ahli di Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, serta founder Mata Project Indonesia (MPI), saya menyaksikan bagaimana periode Agustus-September 2025 menjadi titik balik penting dalam komunikasi kebangsaan Indonesia di panggung global. Enam pilar utama yang disampaikan Presiden dalam berbagai forum internasional tersebut tidak muncul begitu saja. Ini adalah hasil dari arsitektur komunikasi kebangsaan yang matang, yang melibatkan berbagai saluran komunikasi mulai dari organisasi masyarakat, partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat, media massa, hingga tokoh publik.
Pesan-pesan itu juga memiliki akar yang kuat dalam konstitusi kita, UUD 1945, dan falsafah negara Pancasila. Artikel ini akan mengupas secara mendalam bagaimana komunikasi kebangsaan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden berhasil menancapkan pengaruhnya di kancah global, bagaimana enam pilar kemanusiaan tersebut menjadi fondasi diplomasi Indonesia, dan mengapa dunia harus benarbenar mendengarkan ketika Indonesia berbicara.
Enam Bendera Kemanusiaan dalam Komunikasi Kebangsaan Kemanusiaan sebagai Landasan Kebijakan
“Setiap anak yang terluka, setiap ibu yang kehilangan anaknya, setiap keluarga yang kehilangan rumahnya, adalah suara kemanusiaan yang menangis. Kita, sebagai dunia, harus mendengarkan.” Kutipan ini bukan sekadar retorika politik belaka. Ini adalah refleksi dari nilai- nilai fundamental yang telah menjadi bagian dari DNA bangsa Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan.
Dalam konteks komunikasi kebangsaan, penekanan pada kemanusiaan sebagai landasan kebijakan menjadi pembeda penting antara diplomasi Indonesia dengan pendekatan realisme politik yang selama ini mendominasi hubungan internasional. Sebagai praktisi komunikasi yang telah mengamati dinamika komunikasi kebangsaan selama bertahun-tahun, saya melihat bagaimana Presiden berhasil membangun narasi yang kuat di mana kemanusiaan tidak lagi menjadi sekadar pelengkap dalam kebijakan luar negeri, melainkan menjadi inti dari setiap keputusan. Ini adalah pergeseran paradigma yang signifikan.
“Dalam dunia yang dipenuhi teknologi dan kekuatan, jangan lupa hak dasar – manusia — hidup, aman, bernafas tanpa takut adalah fondasi semua kebijakan,” tegas Presiden dalam forum internasional lainnya. Pendekatan ini memiliki implikasi luas dalam komunikasi kebangsaan. Pertama, ia memposisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki moral authority untuk berbicara tentang isu-isu global. Kedua, ia menciptakan resonansi emosional dengan audiens global, terutama di negara-negara Selatan yang seringkali merasa tidak didengar dalam tatanan internasional. Ketiga, ia membuka ruang bagi Indonesia untuk memimpin inisiatif-inisiatif kemanusiaan global.
Empati kepada Korban Konflik
“Kita melihat dunia dari udara, dari drone, dari layar ponsel. Tetapi di tanah Palestina, anak-anak hidup dalam ketakutan nyata. Hanya lewat kepedulian lahir perdamaian.” Pilar kedua dalam komunikasi kebangsaan Indonesia ini menyoroti pentingnya empati dalam melihat konflik internasional. Dalam era mana konflik seringkali dilihat melalui lensa strategis dan kepentingan nasional, pendekatan empatik ini menjadi di penyeimbang yang krusial.
Sebagai tenaga ahli yang sering berinteraksi dengan pekerja migran Indonesia di berbagai negara konflik, saya menyaksikan langsung bagaimana empati bukan sekadar konsep abstrak, melainkan kebutuhan nyata dalam menangani dampak konflik bagi warga sipil. Ketika Presiden menyatakan, “Jangan pernah menganggap rakyat Palestina hanya ‘bagian dari konflik’.
Mereka adalah manusia: ibu, bapak, anakanak dengan mimpі, harapan, dan hak atas kehidupan yang beradab, beliau sebenarnya sedang memperjuangkan perspektif yang seringkali hilang dalam diskursus geopolitik. Komunikasi berbasis empati ini memiliki kekuatan luar biasa dalam membangun koneksi dengan audiens global. Ia mengingatkan kita bahwa di balik statistik korban dan analisis strategis, ada manusia-manusia dengan cerita, harapan, dan penderitaan nyata. “Ketika anak kecil di Gaza menangis dan mencari ibunya, ia tidak menangis karena ia Palestina. la menangis karena ia manusia,” pesan ini berhasil mengatasi sekat-sekat identitas politik dan menyentuh esensi kemanusiaan universal.
Penolakan Kekerasan dan Politik Kemanusiaan
“Indonesia tidak pernah mendukung kekerasan. Namun kami tidak bisa diam saat kekerasan berulang. Diam adalah pilihan yang berbayar – bayarannya darah manusia.” Pilar ketiga ini menunjukkan sikap tegas Indonesia terhadap kekerasan sekaligus kritik terhadap politisasi bantuan kemanusiaan.
Dalam komunikasi kebangsaan, sikap ini menjadi penting karena menegaskan posisi prinsipil Indonesia di tengah tekanan geopolitik yang kompleks. “Bantuan kemanusiaan tidak boleh dipolitisasi. Kemanusiaan harus lepas dari politik, bukan tameng untuk perang” tegas Presiden, mengulangi pesan yang telah menjadi konsisten dalam diplomasi Indonesia.
Sebagai praktisi komunikasi, saya melihat bagaimana pesan ini berhasil membangun framing yang kuat tentang posisi Indonesia di kancah global. Indonesia tidak hanya menolak kekerasan, tetapi juga menolak instrumentalasi kemanusiaan untuk kepentingan politik tertentu. Ini adalah posisi yang sulit dijaga dalam dunia internasional yang penuh dengan kepentingan saling bertentangan, namun Presiden berhasil membawanya dengan konsisten dan meyakinkan.
Pengulangan pesan “Diam adalah pilihan yang berbayar – bayarannya adalah darah manusia” dalam berbagai kesempatan menunjukkan strategi komunikasi yang cerdas. Pengulangan ini bukan sekadar retorika, melainkan upaya untuk menanamkan kesadaran kolektif tentang biaya nyata dari ketidakpedulian internasional. Ketahanan Pangan sebagai Isu Global Manusiawi “Ketahanan pangan bukan lagi hanya urusan negara. Ini adalah urusan umat manusia. Kita tidak bisa menunggu bencana datang baru menyelamatkan orangorang yang kelaparan.” Pilar keempat ini mengangkat isu ketahanan pangan dari level nasional ke level kemanusiaan universal. ‘
Dalam konteks komunikasi kebangsaan, ini adalah langkah strategis yang memperluas ruang lingkup kepemimpinan Indonesia di kancah global. “Ketahanan pangan bukan soal siapa yang punya cadangan beras, melainkan siapa yang lapar. Jika kita tidak saling menopang, dunia tidak akan selamat dari krisis yang lebih besar,” tambah Presiden, menegaskan perspektif kemanusiaan dalam isu ketahanan pangan.
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan produsen pangan penting, Indonesia memiliki kredibilitas untuk berbicara tentang isu ini. Namun yang lebih penting, pendekatan kemanusiaan yang diusung berhasil mengalihkan fokus dari kepentingan negara-negara maju dalam mengendalikan sistem pangan global menuju kerangka kerja yang lebih adil dan berpusat pada manusia.
Peran Indonesia di PBB dan Multilateralisme
“Indonesia mungkin kecil di peta, tetapi bukan kecil dalam hati manusia. Kami datang bukan untuk menyerap kekuasaan, melainkan menyuarakan mereka yang tidak bersuara.” Pilar kelima ini menegaskan posisi Indonesia dalam tatanan multilateral dan visi reformasi PBB. Dalam komunikasi kebangsaan, pesan ini penting untuk membangun citra Indonesia sebagai negara yang memiliki visi global dan kapasitas diplomasi yang signifikan.
“PBB adalah rumah keadilan – bukan arena bagi kekuatan besar menentukan nasib kecil. Maka reformasi PBB diperlukan agar lebih adil, inklusif, dan manusiawi,” tegas Presiden, mengkritik struktur kekuasaan dalam PBB yang selama ini didominasi oleh negara-negara kuat.
Sebagai pengamat diplomasi Indonesia, saya melihat bagaimana pesan ini berhasil memposisikan Indonesia sebagai pemimpin Global South yang mampu menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang. Ini bukan sekadar retorika, melainkan refleksi dari peran historis Indonesia dalam gerakan Non-Blok dan kontribusi aktif dalam berbagai forum internasional. “Dalam era digital, keadilan yang tak terlihat justru lebih berbahaya. Kita harus menjadikan PBB tempat di mana suara kecil pun dapat didengar – karena suara kecil dapat mengguncang dunia,” pesan penutup pada pilar ini menunjukkan kesadaran akan perubahan dinamika kekuasaan di era digital dan pentingnya inklusivitas dalam tatanan global.
Akhir Pidato dengan Pesan Perdamaian dan Empati
“Saya, seorang presiden, mengatakan ini: kita semua harus menjadi ‘ayah’ atau ‘ibu’ bagi mereka yang terlupakan di dunia ini. Bukan karena kekayaan, melainkan karena hati.” Pilar keenam dan terakhir ini menjadi penutup yang kuat dari seluruh narasi komunikasi kebangsaan Indonesia.
Pesan tentang perdamaian dan empati ini tidak hanya menjadi kesimpulan, melainkan juga ajakan konkret untuk tindakan kolektif. “Perdamaian tidak datang dari perang. Perdamaian datang dari keberanian untuk berbicara, mendengar, dan berkata: ‘Aku bersama kamu'” lanjut Presiden, menawarkan perspektif alternatif tentang bagaimana perdamaian seharusnya dibangun.
“Indonesia percaya bahwa perdamaian tidak dapat dibangun dengan kekuatan – melainkan dengan empati, keadilan, dan pengakuan atas hak dasar setiap manusia, tanpa memandang warna kulit, agama, atau asal negara,” penutup ini menjadi ringkasan sempurna dari seluruh filsafat diplomasi Indonesia yang dikomunikasikan dalam periode AgustusSeptember 2025.
Komunikasi Kebangsaan: Bagaimana Pesan Menyebar
Enam pilar kemanusiaan tersebut tidak akan memiliki dampak signifikan tanpa arsitektur komunikasi kebangsaan yang kokoh. Sebagai praktisi komunikasi yang telah mengamati perkembangan ini secara langsung, saya dapat mengidentifikasi beberapa saluran komunikasi kunci yang memastikan pesanpesan Presiden tidak hanya didengar, tetapi juga dipahami dan diinternalisasi oleh berbagai pemangku kepentingan.
Saluran Organisasi Masyarakat (Ormas)
Organisasi masyarakat, khususnya yang tergabung dalam serikat-serikat besar, menjadi saluran penting dalam menyebarluaskan pesan-pesan kemanusiaan ini ke tingkat grassroot. Melalui jaringan Ormas yang luas, pesan tentang kemanusiaan, empati, dan penolakan kekerasan dapat dijelaskan dalam konteks yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sebagai contoh, ketika Presiden menyampaikan pesan tentang pentingnya empati kepada korban konflik di Gaza, berbagai Ormas keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia mengadakan diskusi, pengajian, dan kampanye sosial yang mengaitkan pesan ini dengan nilai-nilai keagamaan dan budaya lokal. Pendekatan ini membuat pesan global menjadi relevan dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Saluran Partai Politik dan DPR
Partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi saluran komunikasi formal yang memastikan pesan-pesan Presiden mendapatkan legitimasi politik dan dukungan institusional. Melalui berbagai rapat paripurna, hearing, dan forum diskusi di DPR, enam pilar kemanusiaan tersebut dibahas dan diinternalisasi menjadi bagian dari kebijakan nasional. Proses ini penting karena menciptakan kesinambungan antara komunikasi kebangsaan di level internasional dengan implementasi kebijakan di level domestik.
Sebagai contoh, ketika Presiden menekankan pentingnya ketahanan pangan sebagai isu global manusiawi, DPR melalui komisi-komisi terkait membahas bagaimana Indonesia dapat memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus berkontribusi pada ketahanan pangan global.
Saluran Media Massa
Media massa, baik cetak, elektronik, maupun digital, menjadi saluran komunikasi yang paling luas jangkauannya dalam menyebarkan pesan-pesan Presiden ke publik domestik dan internasional. Melalui liputan media yang komprehensif, pidato-pidato Presiden di berbagai forum internasional dapat diakses oleh masyarakat luas. Yang menarik, saya mengamati bagaimana media Indonesia tidak hanya sekadar meliput, tetapi juga melakukan analisis mendalam tentang enam pilar kemanusiaan tersebut.
Berbagai talk show, artikel analisis, dan diskusi panel di televisi dan media online mengupas makna dan implikasi dari pesan-pesan ini bagi diplomasi Indonesia dan posisi kita di kancah global.
Saluran Tokoh Publik
Tokoh publik, termasuk akademisi, aktivis, seniman, dan influencer, menjadi saluran komunikasi kunci dalam menginterpretasikan dan menyebarkan pesan- pesan Presiden kepada berbagai segmen audiens. Melalui keunggulan masingmasing, tokoh publik ini dapat mengemas pesanpesan kemanusiaan dalam bentuk yang lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan. Sebagai contoh, akademisi melalui berbagai seminar dan publikasi ilmiah menganalisis enam pilar kemanusiaan dalam kerangka teori hubungan internasional dan studi perdamaian.
Aktivis kemanusiaan menghubungkan pesan-pesan ini dengan kampanye konkret untuk membantu korban konflik. Sementara seniman dan influencer mengemas pesan-pesan ini dalam karya kreatif yang menyentuh hati.
Sinergi Antar-Saluran
Yang membuat arsitektur komunikasi kebangsaan Indonesia efektif adalah sinergi yang kuat antara berbagai saluran tersebut. Pesan-pesan yang disampaikan Presiden di forum internasional tidak berhenti di situ, melainkan diolah, diinterpretasikan, dan disebarkan melalui berbagai saluran komunikasi ini dengan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing saluran. Sinergi ini menciptakan echo chamber yang positif, di mana pesan-pesan kemanusiaan terusmenerus didengungkan di berbagai ruang publik, baik formal maupun informal, baik elit maupun grassroot.
Hasilnya adalah kesadaran kolektif tentang pentingnya kemanusiaan sebagai landasan kebijakan, baik di level global maupuu nasional.
Akar Konstitusional: UUD 1945 & Pancasila sebagai Jiwa Diplomasi
Enam pilar kemanusiaan yang menjadi landasan komunikasi kebangsaan Indonesia tidak muncul dalam ruang hampa. Mereka memiliki akar yang kuat dalam konstitusi kita, UUD 1945, dan falsafah negara Pancasila.
Sebagai tenaga ahli yang sering bekerja dengan kerangka hukum dan kebijakan, saya ingin menunjukkan bagaimana enam pilar tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari nilai-nilai konstitusional kita. Kaitan dengan UUD 1945 UUD 1945, sebagai konstitusi negara kita, mengandung berbagai pasal yang menjadi dasar konstitusional bagi enam pilar kemanusiaan tersebut.
Mari kita lihat kaitannya satu per satu. Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” menjadi dasar bagi penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis identitas, sebagaimana ditegaskan dalam pilar penolakan kekerasan dan politik kemanusiaan.
Pasal 28 tentang hak atas kehidupan, kebebasan, dan hak asasi manusia secara luas menjadi fondasi konstitusional bagi penekanan pada kemanusiaan sebagai landasan kebijakan dan empati kepada korban konflik. Pasal ini secara tegas menjamin hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak kebebasan pribadi, dan hak-hak fundamental lainnya yang seringkali dilanggar dalam situasi konflik.
Pasal 28C ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia” menjadi dasar bagi penekanan pada ketahanan pangan sebagai isu global manusiawi.
Pasal 33 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, khususnya ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” menjadi landasan bagi pandangan Indonesia tentang ketahanan pangan dan kesejahteraan global yang berkeadilan.
Pasal 34 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, serta ayat (2) yang menyatakan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat” menjadi dasar bagi pandangan Indonesia tentang pentingnya perlindungan sosial dan kemanusiaan dalam tatanan global.
Kaitan dengan Pancasila
Pancasila, sebagai falsafah negara Indonesia, juga memberikan landasan filosofis yang kuat bagi enam pilar kemanusiaan tersebut. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar bagi pandangan Indonesia tentang martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang harus dihormati. Pandangan ini mendasari penekanan pada kemanusiaan sebagai landasan kebijakan dan empati kepada korban konflik.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab secara eksplisit menjadi landasan filosofis bagi seluruh enam pilar kemanusiaan tersebut. Sila ini menegaskan pentingnya menghormati hak asasi manusia, menolak kekerasan, dan membangun perdamaian berdasarkan keadilan.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia memberikan perspektif tentang pentingnya membangun solidaritas global di atas perbedaan, sebagaimana ditegaskan dalam pesan tentang perdamaian dan empati. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan menjadi dasar bagi pandangan Indonesia tentang pentingnya multilateralisme dan reformasi PBB agar lebih inklusif dan demokratis.
Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menjadi landasan bagi penekanan pada ketahanan pangan sebagai isu global manusiawi dan kritik terhadap politisasi bantuan kemanusiaan.
Amanat Bebas Aktif
Selain UUD 1945 dan Pancasila, amanat konstitusional tentang politik luar negeri bebas aktif juga menjadi dasar bagi enam pilar kemanusiaan tersebut. Politik luar negeri bebas aktif, yang diartikan sebagai kebebasan untuk menentukan sikap dalam hubungan internasional berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan, tanpa terikat pada blok kekuatan tertentu, menjadi fondasi bagi posisi Indonesia yang kritis terhadap dominasi kekuatan besar dalam tatanan global.
Sebagai praktisi komunikasi dan tenaga ahli, saya melihat bagaimana enam pilar kemanusiaan tersebut bukan sekadar retorika diplomatik, melainkan manifestasi otentik dari nilai-nilai konstitusional dan filosofis bangsa Indonesia. Inilah yang memberikan kekuatan dan kredibilitas bagi komunikasi kebangsaan Indonesia di kancah global.
Sejarah sebagai Bukti: Dari Afrika hingga Palestina
Komitmen Indonesia terhadap kemanusiaan dan keadilan global bukanlah fenomena baru. Sejarah panjang bangsa ini menunjukkan konsistensi dalam memperjuangkan pembebasan dari penjajahan dan penindasan, baik di kawasan maupun di tingkat global. Sebagai founder Mata Proyek Indonesia yang concern dengan isu-isu kemanusiaan global, saya ingin menyoroti beberapa momen bersejarah yang menjadi bukti komitmen ini.
Peran Indonesia dalam Dekolonisasi Afrika
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mendukung gerakan dekolonisasi di Afrika. Sebagai salah satu negara pendiri Gerakan NonBlok (GNB) bersama India, Yugoslavia, Mesir, dan Ghana pada tahun 1961, Indonesia secara konsisten menyuarakan pentingnya pembebasan bangsabangsa Afrika dari belenggu kolonialisme.
Pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, Indonesia bersama negara-negara Asia dan Afrika menyuarakan penentangan terhadap kolonialisme dalam segala bentuknya. Konferensi ini menjadi titik balik penting dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk meraih kemerdekaan.
Di tingkat bilateral, Indonesia secara aktif mendukung perjuangan kemerdekaan berbagai negara Afrika. Sebagai contoh, Indonesia adalah salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Aljazair pada tahun 1962 dan memberikan dukungan diplomatik serta pelatihan bagi pejuang kemerdekaan Aljazair. Indonesia juga mendukung perjuangan kemerdekaan Angola, Mozambik, GuineaBissau, dan negara-negara Afrika lainnya. Dukungan ini tidak hanya bersifat diplomatik, tetapi juga termasuk bantuan pelatihan, pendidikan, dan kerja sama teknis.
Dukungan Konsisten terhadap Palestina Dukungan Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina juga memiliki sejarah panjang yang dapat ditelusuri sejak kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1947, Indonesia adalah salah satu dari 13 negara yang menolak Rencana Pembagian Palestina yang diusulkan PBB.
Pada tahun 1966, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang membuka perwakilan diplomatik untuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Pada tahun 1986, Indonesia secara resmi mengakui Negara Palestina dan membuka kedutaan besar untuk Palestina di Jakarta.
Di tingkat multilateral, Indonesia secara konsisten mendukung resolusiresolusi PBB yang menyerukan penghentian pendudukan Israel di Palestina dan pengakuan terhadap hak bangsa Palestina untuk menentukan nasib sendiri. Indonesia juga aktif dalam berbagai inisiatif internasional untuk mendukung Palestina, termasuk melalui Komite Solidaritas dengan Rakyat Palestina yang dibentuk pada tahun 1980.
Dukungan Indonesia terhadap Palestina tidak hanya bersifat diplomatik, tetapi juga termasuk bantuan kemanusiaan, pendidikan, dan kapasitas building. Ribuan warga Palestina telah mendapatkan beasiswa untuk belajar di Indonesia, sementara berbagai proyek kemanusiaan telah dilaksanakan di Tepi Barat dan Gaza.
Konsistensi dalam Perjuangan Kemanusiaan Konsistensi Indonesia dalam memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan global juga terlihat dalam berbagai isu internasional lainnya. Indonesia adalah salah satu negara paling vokal dalam menentang apartheid di Afrika Selatan dan mendukung perjuangan Nelson Mandela untuk kemerdekaan. Indonesia juga aktif dalam berbagai inisiatif kemanusiaan global, termasuk dalam penanganan bencana alam, konflik bersenjata, dan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai contoh, Indonesia telah mengirimkan pasukan perdamaian ke berbagai wilayah konflik, mulai dari Kongo, Lebanon, hingga Darfur.
Di tingkat regional, Indonesia juga memainkan peran penting dalam mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di ASEAN. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Indonesia tetap konsisten dalam mendorong ASEAN untuk lebih responsif terhadap isu-isu kemanusiaan dan HAM.
Relevansi Sejarah bagi Komunikasi Kebangsaan Kontemporer
Sejarah panjang Indonesia dalam memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan global ini memberikan kredibilitas dan legitimasi bagi enam pilar kemanusiaan yang menjadi landasan komunikasi kebangsaan kontemporer. Ketika Presiden menyampaikan pesan tentang kemanusiaan sebagai landasan kebijakan atau empati kepada korban konflik, pesan-pesan ini tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan memiliki akar historis yang kuat.
Sebagai praktisi komunikasi, saya melihat bagaimana sejarah ini menjadi modal sosial dan politik yang penting bagi diplomasi Indonesia. Ketika Indonesia berbicara tentang Palestina atau isu-isu kemanusiaan lainnya, dunia tahu bahwa ini bukan sekadar retorika, melainkan refleksi dari komitmen historis yang telah teruji waktu. Sejarah juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas dan pengalaman dalam memimpin inisiatif kemanusiaan global.
Dari Konferensi Asia-Afrika hingga peran aktif dalam GNB dan PBB, Indonesia telah membuktikan diri sebagai negara yang mampu memberikan kontribusi signifikan bagi tatanan global yang lebih adil dan manusiawi. Indonesia sebagai Pionir Kesejahteraan Global Berdasarkan sejarah panjang dan enam pilar kemanusiaan yang telah dijelaskan, Indonesia memiliki posisi yang unik dan strategis untuk menjadi pionir kesejahteraan global.
Sebagai founder Mata Proyek Indonesia yang memiliki visi untuk meningkatkan peran Indonesia di kancah internasional, saya ingin menguraikan bagaimana Indonesia dapat mengambil peran kepemimpinan ini di masa depan. Visi Ketahanan Pangan Global Indonesia, sebagai negara agraris dengan populasi besar dan pengalaman dalam mengelola ketahanan pangan nasional, memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin global dalam isu ketahanan pangan.
Visi ini sejalan dengan pilar keempat tentang ketahanan pangan sebagai isu global manusiawi. Indonesia dapat memimpin inisiatif-inisiatif global untuk: 이 Membangun sistem 이 ketahanan pangan global yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan Mendorong transfer teknologi pertanian antar negara Selatan Membangun sistem cadangan pangan global yang responsif terhadap krisis Mempromosikan model pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan Memperkuat peran petani kecil dan menengah dalam sistem pangan global
Untuk mewujudkan visi ini, Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan negaranegara lain di Global South, khususnya dalam kerangka South-South Cooperation. Indonesia juga dapat memanfaatkan pengalaman dalam mengelola program ketahanan pangan nasional, seperti program swasembada padi, untuk dibagikan dengan negaranegara lain.
Diplomasi Kemanusiaan Proaktif
Indonesia juga memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam diplomasi kemanusiaan global. Berdasarkan enam pilar kemanusiaan yang telah menjadi landasan komunikasi kebangsaan, Indonesia dapat mengembangkan model diplomasi kemanusiaan yang proaktif dan inovatif. Beberapa inisiatif yang dapat dikembangkan antara lain: Membentuk koalisi global untuk reformasi PBB agar lebih responsif terhadap isu-isu kemanusiaan. Mendorong pembentukan mekanisme internasional untuk mencegah politisasi bantuan kemanusiaan. Memimpin inisiatif global untuk perlindungan warga sipil dalam konflik. Membangun jaringan global kota-kota perdamaian yang berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan
• Mengembangkan model mediasi konflik berbasis empati dan keadilan
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan pengalaman dalam membangun masyarakat multikultural yang harmonis, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam memimpin diplomasi kemanusiaan yang inklusif dan lintas budaya.
Kepemimpinan di Global South Indonesia juga dapat memperkuat peran kepemimpinannya di Global South, khususnya dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang di berbagai forum internasional. Peran ini sejalan dengan pilar kelima tentang peran Indonesia di PBB dan multilateralisme.
Beberapa langkah strategis yang dapat diambil antara lain: Memperkukan Gerakan Non-Blok sebagai platform untuk menyuarakan kepentingan Global South. Mendorong reformasi tata kelola global yang lebih inklusif dan demokratis. Membangun aliansi strategis antara negara-negara Selatan untuk isu-isu spesifik. Memperluas kerja sama Selatan-Selatan dalam berbagai bidang, mulai dari perdagangan hingga teknologi. Memfasilitasi dialog antara Global North dan Global South untuk mengatasi berbagai krisis global.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadi jembatan antara negara-negara maju dan berkembang dalam berbagai isu global.
Perluasan Kemitraan Selatan-Selatan
Untuk mendukung peran Indonesia sebagai pionir kesejahteraan global, perluasan kemitraan Selatan-Selatan menjadi sangat penting. Kemitraan ini tidak hanya bersifat bilateral, melainkan juga trilateral dan multilateral. Beberapa area kerja sama yang dapat dikembangkan antara lain: Pertukaran pengetahuan dan teknologi untuk pembangunan berkelanjutan. Kerja sama dalam penanganan bencana alam dan perubahan iklim. Pengembangan model pembangunan alternatif yang berpusat pada manusia. Penguatan kapasitas institusi demokrasi dan hak asasi manusia. Kolaborasi dalam pengembangan ekonomi kreatif dan digital.
Sebagai negara yang telah berhasil melakukan transformasi ekonomi dan politik dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia memiliki banyak pengalaman dan pelajaran yang dapat dibagikan dengan negara-negara lain di Global South.
Membangun Ekosistem Inovasi Sosial Global
Terakhir, Indonesia dapat memimpin dalam membangun ekosistem inovasi sosial global yang berfokus pada penyelesaian berbagai masalah kemanusiaan. Ini sejalan dengan visi Indonesia untuk menjadi negara yang tidak hanya mampu mengatasi masalah domestik, tetapi juga memberikan solusi bagi masalah global. Beberapa inisiatif yang dapat dikembangkan antara lain:
- Membangun pusat inovasi sosial global di Indonesia
- Mengembangkan model pembiayaan inovasi sosial yang berkelanjutan
- Menciptakan platform Ο kolaborasi global untuk inovator sosial
- Memfasilitasi transfer pengetahuan antar inovator sosial di berbagai negara
- Mendorong investasi sosial untuk penyelesaian masalah kemanusiaan
Sebagai negara dengan populasi muda yang besar dan ekosistem startup yang berkembang pesat, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk menjadi pusat inovasi sosial di kawasan dan global.
Panggilan bagi Dunia yang Berperikemanusiaan
Sebagai praktisi komunikasi dan tenaga ahli di Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, serta founder Mata Proyek Indonesia, saya telah menyaksikan langsung bagaimana komunikasi kebangsaan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden berhasil menancapkan pengaruhnya di kancah global.
Enam pilar kemanusiaan yang menjadi landasan komunikasi ini bukan sekadar retorika, melainkan refleksi otentik dari nilai-nilai konstitusional dan filosofis bangsa Indonesia. Refleksi tentang Komunikasi Kebangsaan Efektif Melalui pengamatan saya terhadap dinamika komunikasi kebangsaan dalam periode Agustus-September 2025, saya dapat menarik beberapa pelajaran penting tentang komunikasi kebangsaan yang efektif:
Pertama, komunikasi kebangsaan yang efektif harus memiliki landasan nilai yang kuat. Enam pilar kemanusiaan yang dikomunikasikan oleh Presiden memiliki akar yang kuat dalam UUD 1945 dan Pancasila. Inilah yang memberikan kredibilitas dan legitimasi bagi pesan-pesan tersebut. Kedua, komunikasi kebangsaan yang efektif memerlukan arsitektur komunikasi yang kokoh.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pesan-pesan Presiden disebarkan melalui berbagai saluran komunikasi, mulai dari Ormas, partai politik, DPR, media, hingga tokoh publik. Sinergi antar-saluran ini menciptakan echo chamber yang positif dan memastikan pesan-pesan tersebut mencapai berbagai segmen audiens.
Ketiga, komunikasi kebangsaan yang efektif harus konsisten dan berkelanjutan. Pesan-pesan tentang kemanusiaan, empati, dan penolakan kekerasan bukanlah hal baru dalam diplomasi Indonesia. Mereka memiliki sejarah panjang dan konsisten. Konsistensi ini membangun kepercayaan dan kredibilitas di kancah internasional. Keempat, komunikasi kebangsaan yang efektif harus mampu menghubungkan isu global dengan konteks lokal.
Enam pilar kemanusiaan tersebut dikomunikasikan dalam cara yang membuat mereka relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, baik melalui penafsiran agama, budaya, maupun pengalaman historis. Panggilan untuk Aksi Kolektif Enam pilar kemanusiaan yang menjadi landasan komunikasi kebangsaan Indonesia mengandung panggilan untuk aksi kolektif di tingkat global. Ketika Presiden menyatakan, “Kita semua harus menjadi ‘ayah atau ‘ibu’ bagi mereka yang terlupakan di dunia ini, beliau sebenarnya sedang mengajak seluruh umat manusia untuk mengambil tanggung jawab kolektif terhadap sesama. Panggilan ini menjadi semakin mendesak dalam konteks tantangan global yang kita hadapi saat ini, mulai dari konflik bersenjata, krisis iklim, ketidaksetaraan ekonomi, hingga pandemi.
Tantangan-tantangan ini tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja, melainkan memerlukan kerja sama global yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Indonesia, dengan sejarah panjangnya dalam memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan global, serta posisinya yang unik sebagai negara demokrasi Muslim terbesar di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memiliki peran penting untuk memimpin aksi kolektif ini.
Visi Masa Depan
Melihat ke masa depan, saya memiliki visi bahwa Indonesia dapat menjadi pemimpin global dalam membangun tatanan internasional yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Visi ini didasarkan pada enam pilar kemanusiaan yang telah menjadi landasan komunikasi kebangsaan Indonesia, serta sejarah panjang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan global. Untuk mewujudkan visi ini, diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, media, hingga individu.
Setiap dari kita memiliki peran untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya berbicara tentang kemanusiaan, tetapi juga bertindak secara konsisten untuk mewujudkannya. Sebagai founder Mata Proyek Indonesia, saya berkomitmen untuk terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkuat peran Indonesia di kancah internasional, khususnya dalam memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan global. Melalui berbagai program dan inisiatif, kami akan terus mendukung komunikasi kebangsaan yang efektif dan diplomasi Indonesia yang berbasis kemanusiaan.
Pesan Penutup
“Perdamaian tidak datang dari perang. Perdamaian datang dari keberanian untuk berbicara, mendengar, dan berkata: ‘Aku bersama kamu.” Pesan ini, yang disampaikan oleh Presiden sebagai penutup dari enam pilar kemanusiaan, menjadi ringkasan sempurna dari seluruh filsafat diplomasi Indonesia.
Perdamaian sejati tidak dapat dibangun dengan kekuatan militer atau dominasi politik, melainkan hanya dapat dicapai melalui empati, keadilan, dan pengakuan atas hak dasar setiap manusia. Sebagai bangsa yang telah merasakan pahitnya penjajahan dan manisnya kemerdekaan, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk terus bersuara bagi mereka yang tidak memiliki suara.
Ketika Indonesia berbicara tentang kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian, dunia harus benar-benar mendengarkan, karena pesan ini bukan hanya untuk kepentingan Indonesia, tetapi untuk seluruh umat manusia. Mari kita bersama-sama mewujudkan dunia yang berperikemanusiaan, dunia di mana setiap anak dapat tumbuh tanpa takut, setiap ibu tidak perlu kehilangan anaknya, dan setiap keluarga dapat hidup dengan damai di rumah mereka. Ini bukan mimpi yang mustahil, melainkan panggilan kemanusiaan yang harus kita jawab bersama. Indonesia siap menjadi pionir kesejahteraan dunia. Apakah dunia siap mendengarkan?
Referensi
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. (2024). Diplomasi Indonesia untuk Kemanusiaan: Dokumentasi Pidato Presiden di Forum • Internasional. Jakarta: Deplu RI. United Nations. (2024). General Assembly Official Records. New York: United Nations. Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. (2024). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Kemenkumham RI. Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia. (2024). Indonesia’s Foreign Policy: Principles and Practices. Jakarta: Ministry of Foreign Affairs. Suryadinata, L. (2023). Indonesia’s Foreign Policy under President Joko Widodo: Continuity and Change. Singapore: ISEAS Publishing. Anwar, D. F. (2023). Indonesia in ASEAN: • Foreign Policy and Regionalism. Singapore: Oxford University Press. Robinson, G. (2023). Indonesia’s Democratic Journey: From Authoritarianism to Democracy. Honolulu: University of Hawai’i Press. Aspinall, E., & Mietzner, M. (2023). Indonesia’s Democracy: Stability and Challenges. Canberra: · Australian National University Press. Fealy, G., & White, S. (2023). Indonesia’s Foreign Policy: Domestic Politics and Strategic Choices. Melbourne: Melbourne University Press. Acharya, A. (2023). Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order. Stanford: Stanford University Press.