Kuliner merupakan salah satu produk budaya yang mempunyai kedudukan unik bagi setiap daerah. Seringkali kuliner adalah yang pertama terlintas di kepala apabila kita memikirkan suatu tempat tertentu.
Sebagai suatu hasil karya manusia, kuliner yang merupakan kebutuhan primer bagi manusia itu sendiri menjadikannya sebuah budaya yang pasti dimiliki setiap daerah. Dengan didasari oleh adanya beberapa faktor yang melatarbelakangi baik secara geografisnya maupun historisnya, setiap daerah akan menghasilkan suatu kuliner yang baru dan mempunyai ciri khas tersendiri.
Yogyakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki kuliner khas yang cukup terkenal. Salah satunya ialah Bakpia, kue panggang berbentuk bulat yang biasanya berisi kacang hijau. Bakpia merupakan salah satu ikon kuliner Yogyakarta selain Gudeg.
Bakpia secara historis merupakan akulturasi kuliner yang berasal dari Tiongkok. Di Tiongkok, Bakpia merupakan kue yang berisi daging dan minyak babi, sesuai namanya ‘Bak’ yang berarti Babi dan ‘Pia’ adalah kue yang terbuat dari tepung. Pada tahun 1940an Kwik Sun Kwok memperkenalkan Bakpia yang baru di Indonesa dengan mengganti isiannya menjadi kacang hijau.
Seiring berjalannya waktu mulai dilakukan inovasi untuk bakpia di Yogyakarta ini ditandai dengan munculnya banyak rasa baru seperti coklat, keju, taro, hingga durian. Adanya perkembangan varian isian bakpia ini didasari oleh permintaan pasar yang terus meningkat. Selain varian rasa, di Yogyakarta telah muncul juga inovasi bakpia yang awalnya dipanggang menjadi dikukus. Bakpia kukus ini menyajikan tekstur yang lebih lembut dan lebih tahan lama, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumennya.
Munculnya berbagai macam inovasi ini juga melahirkan sebuah dilema baru pula di ruang publik, sebagai suatu produk dari kebudayaan, ada pendapat bahwa bakpia ini harus dijaga keasliannya mulai dari bahan-bahannya hingga cara pembuatannya. Hal ini tentunya masuk akal pula apabila melihat tujuan utamanya adalah untuk menjaga esensi dari bakpia itu sendiri. Bentuk tindakan yang menjadikan unsur-unsur budaya menjadi suatu hal yang bernilai ekonomi dan dapat diperjualbelikan sehingga menimbulkan suatu modifikasi pada unsur budaya tersebut seringkali mendapat kritik dalam hal pelaksanaanya.
Adanya perubahan dari unsur budaya akibat komodifikasi ini seringkali erat kaitannya dengan agenda kapitalisme yang berfokus pada nilai ekonomi, yang akibatnya akan meninggalkan faktor makna dari budaya tersebut, sehingga dikhawatirkan seiring berjalannya waktu esensi budaya tersebut akan luntur dan hanya menjadi sekedar komoditas semata.
Sebagai suatu komoditas, tuntutan untuk dapat bertahan di era globalisasi ini mambuat banyak kebudayaan harus menyesuaikan dengan karakteristik publik yang ada. Sebagai contohnya adalah di bidang bisnis makanan.
Saat ini inovasi berbagai macam rasa seperti keju, taro, matcha yang sedang menjadi tren membuat banyak produsen makanan yang mencoba melakukan inovasi dengan mengambil varian rasa tersebut, begitu pula dengan Bakpia. Selain itu adanya tampilan dan tekstur yang lebih modern juga saat ini menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumennya.
Schiffman dan Kanuk menyatakan bahwa konsumen cenderung menilai kualitas suatu produk berdasarkan faktor-faktor yang diasosiasikan oleh konsumen terhadap produk. Faktor tersebut dapat bersifat instrinsik yaitu karakteristik produk seperti ukuran, warna, rasa atau aroma dan faktor ekstrinsik seperti harga, citra toko, citra merk dan pesan promosi. Apabila atribut-atribut yang terdapat dalam suatu produk itu sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen maka ini akan menimbulkan minat membeli.
Namun, ada pula pandangan bahwa munculnya inovasi dari suatu kebudayaan ini merupakan suatu hal positif. Beberapa ahli mempercayai bahwa kebudayaan bersifat dinamis. Hal ini dapat menjadi antitesa yang kuat untuk bagi yang memiliki sudut pandang budaya yang bersifat esensialis dan statis. Dengan memberikan kesadaran akan karakteristik dinamika kebudayaan tersebut, akan muncul sikap untuk menerima bahwa proses globalisasi dan perubahan budaya tidak pernah hilang dari kehidupan sosial manusia.
Seperti dikatakan Lévi-Strauss, identitas atau jati diri para pendukung suatu kebudayaan menjadi kuat bukan karena isolasi tetapi justru karena adanya interaksi antara budaya. Maka kewaspadaan akan hilangnya jati diri dalam proses globalisasi tak perlu menjadi kekhawatiran berlebihan yang mengarah pada Xenophobia. Karena kontinuitas budaya, seperti dikemukakan oleh Sahlins, justru terwujud sebagai modus perubahan budaya.
Jika merunut lagi secara historis asal-usul Bakpia itu sendiri kita pun harus menyadari bahwa masuknya Bakpia ke Indonesia ini diawali dengan proses Inovasi untuk menyesuaikan karakteristik konsumen di Indonesia yang dari awalnya berisi babi menjadi berisikan kacang hijau.
Kajian Antropologi bahkan telah banyak mengungkapkan contoh di mana bentuk-bentuk kebudayaan yang dianggap sebagai sesuatu yang “asli” ternyata merupakan hasil konstruksi sosial yang terjadi dalam konteks sosial tertentu dengan mengacu kepada kebudayaan “asing.”
Sebagai contoh Tari kecak yang kini kita kenal sebagai bentuk tari “tradisional” Bali, menurut Vickers dan Yamashita merupakan hasil kreasi pelukis Barat Walter Spies yang mengkombinasikan tari Sanghyang dengan motif cerita Ramayana pada tahun 1930an. Kemudian Wayang Kulit Jawa berdasarkan penelitian Laurie J. Sears baru dianggap mengandung filsafat setelah adanya kontak dengan gerakan teosofi barat pada tahun 1910an.
Beberapa sudut pandang mungkin muncul dalam menghadapi adanya suatu perubahan budaya, dan masing-masing pendapat mereka bukanlah sesuatu yang patut disalahkan maupun di dewakan kebenarannya.
Akan tetapi, yang lebih penting dari itu adalah sikap kita untuk bersedia mencari tahu dan mempelajari tentang budaya itu sendiri. Dengan mengetahui asal-usulnya, bagaiamana budaya itu lahir dan juga konteks dalam proses perubahannya, serta berkembangnya, maka pada dasarnya kita akan lebih mengerti mengenai makna dan pelajaran dari budaya itu sendiri.
Sumber:
Lea Lyliana. 2021. “Mengulik Sejarah Bakpia, Kue Asli China yang Kini Jadi Oleh-oleh Khas Yogyakarta”. Kompas.com.
https://www.kompas.com/food/read/2021/09/11/201200475/mengulik-sejarah-bakpia-kue-asli-china-yang-kini-jadi-oleh-oleh-khas?page=allBachtiar, Alam. “Globalisasi dan Perubahan Budaya:Perspektif Teori Kebudayaan”. 1998. Univeritas Indonesia