Kamis, Maret 28, 2024

‘Milenialisasi’ Ekonomi

Azhar Syahida
Azhar Syahida
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya, Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Belakangan ini, diksi milenial (millennial) terus bertebaran di berbagai tulisan. Media massa, buku, hasil riset, bahkan sampai tulisan whatsApp. Seolah gandrung, apalagi sekarang dibumbui “kids zaman now” atau “zaman now”. Lema ini muncul entah bersifat peyoratif atau bukan, saya pribadi tidak tahu. Tapi yang jelas, diksi ini terus menggema.

Secara praktis, menyembulnya lema ‘milenial’, disebabkan struktur penduduk yang didominasi generasi emas milenial. Karena secara urutan, berdasar tahun kelahirannya, generasi milenial saat ini berusia 17-37 tahun; veteran (1925-1945), baby boomers (1946-1964), generation X (1965-1979), dan millennials (1980-2000).

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sejak 2010 sudah memproyeksikan penduduk Indonesia untuk beberapa tahun kedepan. Pada 2019 misalnya, penduduk usia 15-34 tahun akan mencapai 86 juta jiwa, atau 32% dari total penduduk Indonesia. Sedang di tahun 2035, meningkat menjadi 92 juta jiwa, atau 30% dari total penduduk. Jika dilihat persentasenya memang turun, tapi secara kuantitas terus terkerek naik. Inilah barangkali yang disebut bonus demografi.

Jumlah generasi milenial yang berjibun harus dimanfaatkan dengan baik. Sebab jika tidak, bisa saja menjadi musibah demografi. Penyediaan ruang berekspresi generasi milenial adalah upaya yang harus dilakukan. Pew Research Center (2010) merilis laporan riset berjudul “Millennials: A Portrait of Generation Next”.

Dalam laporan itu, tercatat karakteristik utama generasi milenial; gandrung (kecanduan) pada teknologi. “Who have ever placed their cell phone on or right next to their bed while sleeping?” 83% generasi milenial menjawab: yes. “what makes your generation unique?” generasi milenial menjawab teknologi: skor 24%. Untuk pertanyaan terakhir ini, generasi X (Gen X) juga menempatkan teknologi pada tangga pertama, namun skornya hanya 12%. Artinya tidak prioritas.

Bila dilihat dengan seksama, hasil riset itu mengidealkan ketersediaan kualitas teknologi yang baik sebagai prasyarat utama ruang ekspresi anak milenial. Namun nyatanya, teknologi Indonesia masih tertinggal jauh di burit negara lain. Dalam Global Digital Competitiveness Index, IMD (2017) mencatat, Indonesia hanya bertengger di peringkat 56 dunia. Harus puas kalah dengan Malaysia (24) dan Thailand (41).

Belum lagi, kini berbagai negara di Eropa Barat sudah memasuki fase industrialisasi 4.0, dimana teknologi otomatisasi berbasis Internet of Things (IoT) menjadi kuncinya. Jerman, sejak 2011, dalam hal ini menjadi pioner untuk merambah jalan baru industrialisasi. China, Jepang, Korea, dan Taiwan sebagai empat macan Asia juga tengah bersiap diri menuju ke arah sana. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Maka di sini, jeli meneropong akar masalah menjadi ihwal yang krusial. Sebab penyelesaian masalah tidak dari akar hanya menggiring pada penyelesaian semu. Dua sektor fundamental, yaitu pertanian dan industri rasanya menjadi akar perekonomian dan perlu perhatian lebih di zaman milenial ini. karena jelas, penyerapan tenaga kerja dan pertambahan nilai ekonomi ada dalam keduanya.

Sektor Pertanian

Sektor pertanian, terkhusus pasca panen (baca: distribusi) pantas digiring ke aktivitas milenial. Selama ini, pasca panen, menjadi fase yang tak diacuhkan. Dianggap tak penting. Bahkan pemerintah pun meremehkan. Pemerintah hanya melirik peningkatan produksi. Padahal aras distribusi menjadi penentu kesejahteraan petani.

Kemunculan agripreneur dalam platform online, merupakan angin segar yang harus disambut gembira. Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia (22/10), bangga memajang fotonya bersama anak-anak muda di sebuah sesi seminar bertajuk, “Our Food, Our Future”. Ia memberi catatan bangga dan optimis pada anak muda yang acuh akan sektor pertanian. Sektor yang terancam tak menarik bagi generasi milenial.

Generasi milenial memang tidak gemar bertani. Makanya para petani yang mayoritas lanjut usia, tak lagi punya penerus. Generasi milenial merasa tak untung bekerja di sektor ini. Dan memilih bekerja di sektor lain. Bila hal ini dibiarkan, untuk beberapa dasawarsa kedepan, kita betul-betul akan mengalami kelangkaan logistik (logistic scarcity). Dan pastinya, menekan sektor lain yang harus impor bahan baku dengan biaya tak menentu.

Stigma ini, hemat saya, akan berubah bila sektor pertanian mulai dibumbui unsur milenial: agripreneur misalnya. Pelaku tani berkolaborasi dengan anak muda. Bukan berarti anak muda bertani. Tapi aktif dalam penjualan, distribusi, dan pemasaran. Gaya perpaduan ini akan melahirkan kekuatan baru bagi petani. Tentu dengan gayanya yang milenial. Bila asumsi ini berhasil, praktis akan menguntungkan petani. Pertama, dipastikan memotong rantai tengkulak. Kedua, mengangkat strata sosial petani.

Sektor Industri 

Sektor industri, selayaknya berorientasi pada industri skala kecil dan kreatif. Bermimpi membangun korporasi besar jelas bukan ciri khas Indonesia. Membangun industri kecil dengan memberikan kebebasan pada anak milenial adalah pilihan terbaik. Apalagi, strata intelektual anak milenial kian tak terbendung. Surplus informasi dengan smartphone yang tak pernah lepas dari genggaman, menjadi keunggulan komparatif gen milenial.

Dalam hal ini, apa yang dilakukan presiden Jokowi pada peringatan sumpah pemuda di Istana Bogor lalu (28/10), adalah tindakan yang tepat. Mengundang anak-anak muda dengan pakaian santai dan gaya trendi. Menciptakan lingkungan yang ramah, sehingga tak ada tekanan laiknya lingkungan mekanistik: pabrik. Alhasil, anak-anak muda ini percaya diri berunjuk hasil kreasi.

Pada sisi lain, kita juga semestinya membuka pikiran. Lingkungan industri besar yang mekanistik dan menjemukan harus dirubah. Peraturan kantor yang begitu mengikat semestinya ditinjau ulang. Generasi milenial tidak akan tertarik dan justru jenuh. Aturan ini, sepatutnya dirubah dan dibuat serileks mungkin. Misalnya jam kantor yang fleksibel; tidak berpatokan pada jam kerja harian. Artinya merubah titik tekan industri pada produktifitas kerja bukan kehadiran kerja. komponen-komponen sederhana bisa dikerjakan dalam rumah, sehingga membuka peluang home industry. seragam kerja juga dibuat fleksibel, sehingga memberi lingkungan yang santai. Jika demikian dilakukan, bukan tidak mungkin muncul kreatifitas baru.

Bagi saya, pemasukan unsur milenial meniscayakan kenaikan daya gedor industri. Perasaan rileks dan enjoy menjadi sumbu kreatifitas dan produktifitas kerja. Bagaimana pun harus diakui, sektor industri terus tertekan. Di 2015, hanya mencapai 20,51% terhadap pendapatan nasional (PDB). Padahal sektor industri digadang-gadang sebagai lokomotif pajak nasional. Sumbanganya mencapai 32% di Januari—Oktober 2017. Makanya, sektor ini harus dikemas dengan unsur milenial yang apik. Bukan tidak mungkin, jika berhasil, akrobatik infrastruktur bisa diselesaikan tanpa memeras BUMN.

Bahkan, pemasukan unsur milenial ke dalam ekonomi bisa jadi lumbung solusi. Kemunculan financial technology (fintech) di sektor keuangan yang kian menyembul dan agripreneur yang kian eksis, adalah sebagian unsur milenial yang berhasil merambah. Bukan imajinatif akan muncul sektor lainnya. Yang terpenting, beri ruang berekspresi dan biarkan generasi milenial beraksi.

Azhar Syahida
Azhar Syahida
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya, Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.