Jumat, Oktober 4, 2024

Mewaspadai Infiltrasi Kelompok Teror dalam Pemilihan Umum

Lutfi Awaludin Basori
Lutfi Awaludin Basori
Freelance Journalist

Penangkapan terduga teroris DE di Bekasi pada 14 Agustus lalu telah memunculkan keprihatinan mendalam. Selain mengamankan senjata dan amunisi, fakta bahwa DE merupakan karyawan BUMN, khususnya PT Kereta Api Indonesia(KAI), menjadi fokus perhatian.

Penangkapan ini memperlihatkan dua aspek yang patut dicermati. Pertama, berhasilnya polisi menyita 16 senjata, termasuk senjata laras panjang dan pendek, bahkan senjata buatan PT Pindad, sebuah BUMN di sektor persenjataan. Hal ini mengungkapkan ketidakcakapan pengawasan terhadap peredaran senjata ilegal di Indonesia. Yang lebih mengkhawatirkan, hal ini melibatkan BUMN dan aparat negara.

Kedua, penangkapan DE ini mengungkap kegagapan BUMN dalam memeriksa latar belakang karyawannya, terutama PT KAI. Ini mengindikasikan kelemahan sistem dalam mengidentifikasi potensi ancaman di lingkungan kerja BUMN. Sebab faktanya, DE telah terpapar paham radikal dan terlibat dengan kelompok Mujahidin Indonesia Barat (MIB) sejak 2010. Dia juga telah berbaiat kepada Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pada 2014. Ini artinya, ketika DE bergabung ke PT KAI pada 2016, dia sudah terpapar paham radikal.

Kasus DE di BUMN memunculkan pertanyaan serius mengenai potensi infiltrasi kelompok teror dalam pemilihan umum, pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Ancaman ini tidak hanya terbatas pada satu metode, tetapi juga melibatkan beberapa pendekatan yang perlu diantisipasi.

Berikut empat potensi metode infiltrasi kelompok teror pada pemilu di Indonesia:

1. Pembentukan Partai Politik

Walaupun terdengar kontradiktif, kelompok teror memiliki potensi untuk membentuk partai politik. Meskipun mereka menentang demokrasi, tujuan mereka dapat membenarkan langkah semacam itu. Kelompok seperti Jamaah Islamiyah (JI) telah membahas kemungkinan keterlibatannya dalam pemilu, hal ini menunjukkan fleksibilitas strategi mereka.

Contoh: Seperti yang tertuang dalam dokumen putusan pengadilan Farid Ahmad Okbah, Nomor 574/Pid.Sus/2022/PN Jkt.Tim. Dijelaskan bahwa kelompok JI membahas wacana keterlibatannya dalam pemilu pada pertemuan para senior mereka di 2018. Kelompok ini mempertimbangkan ikuti pemilu dan mendukung partai yang membawa aspirasi Islam. Bahkan mereka juga mewacanakan untuk membentuk partai politik. Salah satu partai politik yang dihubungkan dengan kelompok teror di data pengadilan tersebut adalah Partai Dakwah Rakyat Indonesia.

Pembentukan partai tersebut disebut-sebut sebagai penjabaran strategi Tamkin (upayapenguasaan wilayah dengan menyusup ke seluruh institusi negara maupunmasyarakat) JI, khususnya Syiasah Syariah (Politik Islam). FaridOkbah menyarankan agar JI mengadopsi apa yang dilakukan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, yang awalnya bergerak dengan senyap, kemudian muncul ke permukaan menjadi partai politik yang besar dan memenangkan pemilu.

Namun, Partai Dakwah gagal melewati verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), ini menyebabkan suara dari kelompok teroris ini mengambang. Logisnya mereka tentu akan mengedepankan transaksional antara ‘dukungan suara’ dengan ‘titipan kebijakan’ yang akan diusung oleh partai yang siap menampung.

Hal ini diperkuat penjelasan dokumen putusan pengadilan Amir JI, Parawijayanto, Nomor: 308/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim, yang menyebutkan kelompok JI lebih memilih metode/cara Tamkin Siyasi (konsolidasi Politik) dengan mengedepankan pendekatan-pendekatan persuasif untuk mencapai tujuan dan bukan dengan jalan kekerasan sehingga, inflitrasi melalui jalur membuat partai politik menjadi masuk akal.

Masih dalam dokumen yang sama, dalam jangka panjang JI berupaya mendidik banyak jamaahnya hingga pendidikan tinggi untuk mempersiapkan anggotanya yang memiliki kompetensi menejerial atau kepemimpinan di semua bidang, sehingga dapat menempati posisi-posisi strategis di negara ini. Ketika JI sudah siap atau mampu untuk merubah sistem demokrasi menjadi sistem yang berlandaskan syariat, maka tidak perlu lagi melalui kekerasan atau peperangan.

2. Partisipasisebagai Calon Legislatif

Upaya infiltrasi yang lebih realistis adalah dengan mengajukan anggota mereka sebagai calon legislatif. Mengingat perubahan perilaku kelompok teror yang lebih adaptif, potensi mereka masuk dalam sistem politik menjadi lebih nyata.

Contoh: Dalam bukuyang berjudul “Narasi Mematikan Pendanaan Teror di Indonesia”, pengamat terorisme, Noor Huda Ismail menceritakan seorang anggota JI di Semarang menjalani kehidupan sehari-hari secara normal dan menyamar dengan baik. Sehingga ketika ia ditangkap Densus 88, banyak masyarakat yang tidak percaya bahwa dirinya adalah anggota kelompok teror.

Kemampuan mereka berkamuflase dan berinteraksi dengan masyarakat umum dapat memungkinkan mereka menyusup ke dalam partai politik atau bahkan menjadi calon anggota legislatif. Seperti pada kasus DE yang begitu mudah menysup ke BUMN, bukan tidak mungkin bagi anggota kelompok teror untuk menyusup ke partai politik.

3. Pemanfaatan Dana

Kelompok teror memiliki kemampuan untuk mengumpulkan dana melalui berbagai cara. Dana tersebut bisa dialihkan ke partai politik atau calon yang mendukung tujuan mereka, yang dapat merusak integritas pemilihan.

Contoh: Lembaga AmilZakat Baitul Maal Abdurrahman Bin Auf yang dikendalikan oleh JI di Lampung dapat mengumpulkan dana dalam jumlah besar. Bahkan mencapai 70 juta per bulannya. Itu hanya satu lembaga, sementara JI memiliki sejumlah lembaga resmi untuk mengumpulkan dana.

JI memiliki lembaga amal resmi yang berpotensi untuk mereka salurkan ke partai politik, hal tersebut dapat mengarah pada pengaruh politik yang merugikan.

Dana yang masuk ke partai politik tersebut dapat mempengaruhi keputusan-keputusan partai di tingkat legislatif, sehingga JI akan diuntungkan melalui “transaksi politik”.

4. Pemanfaatan Tokoh Publik

Kelompok teror dapat memanfaatkan tokoh-tokoh publik yang tidak secara terang-terangan berafiliasi dengan mereka. Ini dapat menjadi tantangan, karena tokoh tersebut akan memiliki akses dan pengaruh dalam dunia politik dan masyarakat.

Contoh: Ustadz Fari Ahmad Okbah, seorang tokoh publik yang memiliki pengaruh dan akses ke pemerintah, dapat mempengaruhi kebijakan melalui pandangan dan opini yang ia sampaikan. Meskipun tidak secara resmi terkait dengan kelompok JI, tokoh seperti ini dapat memengaruhi arah kebijakan pemerintah.

Masih dari catatan putusan pengadilan Farid Okbah, diketahui bahwa pada 2004 dirinya pernah menjadi kandidat utama sebagai Amir JI.

Meskipun perhatian cenderung tertuju pada infiltrasi kelompok teror ke partai politik berbasis Islam, penting untuk memahami bahwa partai politik sekuler juga rentan terhadap risiko serupa. Maka, kerjasama yang efektif antara pemerintah, NGO, dan masyarakat menjadi kunci dalam mencegah infiltrasi dan melindungi integritas pemilihan.

Harus kita akui bahwa ancaman dari infiltrasi kelompok teror dalam pemilihan umum itu nyata. Karena itu, penting bagi KPU untuk menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88, Kementerian Agama dan partai-partai politik peserta pemilu untuk mencegah infiltrasi kelompok terror.

Lutfi Awaludin Basori
Lutfi Awaludin Basori
Freelance Journalist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.