Sabtu, April 27, 2024

Metode Omnibuslaw Harus Diatur dalam Regulasi?

Raden Mahdum
Raden Mahdum
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia r.mahdum10@gmail.com

Pada dasarnya Omnibus berasal dari bahasa latin yaitu “untuk semua/untuk segalanya” sehingga metode Omnibus Law diartikan sebagai satu undang-undang baru yang mengandung atau mengatur berbagai macam materi dan subyek guna penyederhanaan dari berbagai undang-undang yang masih berlaku.

Secara umum, pembentukan undang-undang  melalui metode omnibus law seringkali digunakan di negara-negara yang menganut  tradisi hukum common law. Dalam konsep sistem Common Law, metode Omnibus Law dipraktikkan dalam membuat suatu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus.

Praktik Omnibus Law yang sudah menjadi hukum kebiasaan di dalam sistem Common Law ini, dapat dipandang baik untuk diterapkan dalam sistem hukum Indonesia sebagai upaya  penyederhanaan dan keterpaduan undang-undang yang saling berkaitan.

Metode pendekatan omnibus law juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan hyper regulation peraturan perundang-undangan mengatur hal yang sama dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan memberikan ketidakpastian hukum. Meskipun dalam tataran hukum di indonesia lebih merujuk kepada sistem hukum civil law, tetapi dalam dewasa ini, pada era keterbukaan global sekarang, kedua sistem itu telah bercampur menjadi sebuah sistem baru yang kita kenal sebagai mixed-system.

Berbicara terkait metode Omnibuslaw yang diterapkan dalam penyusunan UU Ciptakerja yang telah diputus Inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, para Hakim MK berbeda pendapat terkait penerapan metode Omnibuslaw dalam pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini.

Perbedaan tersebut antara lain seperti, metode pembentukan peraturan perundang-undangan melalui omnibuslaw dapat digunakan karena secara eksplisit tidak diatur, dibolehkan atau dilarang dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pendapat hukum tersebut, disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi  Daniel Yusmic P. Foekh, pada bagian pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam Dissenting opinion tersebut, merujuk pada pendekatan hukum sebagaimana diuraikan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dengan menggunakan pendekatan baru yang bersifat out of the box sangat relevan untuk digunakan dalam rangka mengantisipasi perubahan-perubahan.

Pendekatan hukum progresif mengandung semangat melepaskan dari tradisi berhukum yang konvensional. Hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan masyarakat  dan hukum itu juga harus mampu untuk mengatur perkembangan kebutuhan  masyarakatnya sehingga hukum harus bersifat dinamis dan progresif.Hukum  sebagai sebuah institusi yang progresif tidak hanya secara nyata dibutuhkan di era  sekarang, tetapi juga di masa yang akan datang.

Merujuk dalam konteks hukum progresif, metode pembentukan undang undang melalui metode omnibus law tidak mempermasalahkan nilai baik atau pun buruk. Karena ia adalah suatu metode yang bebas nilai. Oleh karena itu metode  pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law dapat diadopsi dan cocok diterapkan dalam konsepsi negara hukum Pancasila sepanjang omnibus law itu dibuat sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip yang termuat dalam Konstitusi.

Lagipula Undang-Undang Nomor 12 Tahun  2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto Undang Undang 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011  tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak secara eksplisit menentukan keharusan menggunakan metode apa dalam pembentukan suatu undang-undang sehingga praktik pembentukan undang undang dengan menggunakan metode omnibus law dapat dilakukan.

Adapun para Hakim Konstitusi 5/9 yang tidak setuju Metode Omnibuslaw digunakan dalam pembentukan undang-undang tanpa dasar hukum yang jelas, dengan dasar pertimbangan hukum yang merujuk pada putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yaitu:

“[3.18.2.2] Terlepas dari definisi omnibus law tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan teknik atau metode apapun yang akan digunakan oleh pembentuk UU dalam upaya melakukan penyederhanaan UU, menghilangkan berbagai tumpang tindih UU, ataupun mempercepat proses pembentukan UU, bukanlah persoalan konstitusionalitas sepanjang pilihan atas metode tersebut dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar serta dituangkan terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik atau metode tersebut. Diperlukannya tata cara yang jelas dan baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya merupakan amanat konstitusi dalam mengatur rancang bangun pembentukan UU. Artinya, metode ini tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Penulis sendiri bersependapat dengan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi  Daniel Yusmic P. Foekh. Sebab telah sangat jelas yang diuraikan oleh para Hakim konstitusi dalam Dissenting opinion yang merujuk pada pendapat Prof. Dr Satjipto Rahardjo, bahwa pendekatan hukum yang relevan digunakan adalah pendekatan baru yang bersifat out of the box dalam rangka mengantisipasi perubahan-perubahan. Di sinilah pentingnya berhukum secara progresif dan tidak melulu berpandangan positivis-legalistic formal. Sebab, hukum dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum.

Tetapi, meskipun penulis setuju dengan penggunaan pembentukan undang-undang melalui metode omnibus law yang dapat dilakukan tanpa memasukannya terlebih dahulu ke dalam ketentuan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.

Maka dalam rangka pembangunan hukum nasional, terutama dalam hal  pembentukan undang-undang di masa berikutnya dan demi memenuhi asas  kepastian hukum, maka diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesegera mungkin guna  mengakomodir metode omnibus law dalam pembentukan undang-undang ke depan.

Raden Mahdum
Raden Mahdum
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia r.mahdum10@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.