Praktik perampasan ruang hidup yang semakin meluas dan masif, merengut banyak dari hak-hak masyarakat, baik kaum tani, kaum adat, buruh, kaum marjinal perkotaan dan bahkan perempuan itu sendiri. Menunjukan suatu kegentingan, sisi darurat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Banalnya wakil-wakil rakyat dengan sisi disruptif, koersif dan wujud predatorisnya. Secara tidak langsung menjadi suatu gambaran bagaimana demokrasi ini tidak lagi berbasis kemaslahatan umat, yang bertumpu pada civil society dan berorientasi pada sosio-nasionalisme, dan sosio demokrasi (demokrasi kerakyatan pancasila).
Mengapa ini terjadi? Apakah ada yang salah dari sistem yang kita jalani hari ini? Tentu proses tersebut merupakan buah dari hegemoni yang berlangsung cukup lama. Pasca tragedi berdarah 65, struktur republik ini telah bergeser menjadi milik segelintir orang. Di mana ada dominasi kuasa oleh elite politik yang berelasi dengan pemilik kekayaan, dengan disokong oleh militerisme, premanisme dan tentu praktik-praktik kolutif dan nepotis.
Gaung Pancasila yang disampaikan berbusa-busa melalui penataran ideologi bangsa, dengan tujuan sempit yakni menangkal radikalisme dan mengukuhkan NKRI. Telah menjadi wujud dari hegemoni itu sendiri.
Di mana ada upaya yang sistematis serta tersusun rapi dalam sebuah skema, untuk mengukuhkan dominasi kuasa serta bagian dari upaya mempertahakan status quo. Pancasila pasca reformasi yang diharapkan akan menjadi nilai progresif, tak ubahnya pancasila di orde baru. Yang mana menjadi wujud dari politik reaksioner, dengan entitasnya yang erat dengan represi dan koersi itu sendiri.
Artinya pancasila tidak menjadi sesuatu yang revolusioner, ia diubah menjadi sisi yang destruktif, digunakan untuk melanggengkan perampasan ruang hidup. Karena pancasila sendiri tidak dipahami secara utuh, dipisahkan dari marwahnya yakni kerakyatan. Pasca 65, pancasila dielaborasi sedemikian rupa menjadi falsafah yang koersif dan represif. Menjadi alat penting orde baru, guna melanggengkan perampasan demokrasi dalam wujud ruang hidup itu sendiri.
Pancasila telah dihilangkan sisi progresifnya, yakni sosio demokrasi dan sosio nasionalismenya, menjadi cukup otoriteristik. Banyak rakyat yang berjuang dihajar dengan dakwaan anti pancasila, anti republik Indonesia, hanya dikarenakan pemikirannya dianggap tidak sesuai pancasila, dan dituduh mengamalkan praktik komunisme atau sosialisme.
Padahal, secara struktur filosofi pancasila adalah entitas sosialisme itu sendiri. Sejalan dengan prinsip kemaslahatan umat, yang bertumpu pada Al Mashalih Ar Raiyah atau kesejahteraan rakyat. Namun sisi-sisi itu dihilangkan, dengan merubah struktur filosofi pancasilan, dengan konstruksi konservatisme.
Dengan demikian ada sesuatu yang hilang di sini, pancasila telah kehilangan ruh progresifnya. Melaui konstruksi sejarah yang panjang, di mana pemerintah otoriterisme orde baru berhasil menggubahnya sesuai dengan kepentingan kuasa mereka. Bahkan, di era reformasi tak ada perubahan yang cukup signifikan.
Di mana pasca Suharto lengser, kekuatan orde baru tak kunjung lenyap. Mereka berdiaspora menjadi kekuatan-kekuatan baru. Orde baru secara wujud telah hilang, tapi secara prinsip filosofi mereka tetap eksis. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan pancasila yang reaksioner.
Jika Yudi Latif dalam pemikirannya mengingkan revolusi pancasila, dengan merubah struktur dan filosofinya menjadi suatu entitas yang kembali pada marwah republikanisme, kedaulatan rakyat dan kuasa rakyat, serta menekankan pada civic nationalism (kewarganegaraan nasional) utuh.
Di mana jelas dalam pendudukan res publica (ranah umum) dan res privata, yang secara filosofis sudah diatur dalam pancasila. Maka keyakinan untuk mengembalikan pancasila sebagai entitas progresif akan terwujud, tentu hal ini akan melahirkan visi revolusi pancasila.
Perampasan ruang hidup rakyat merupakan wujud dari lemahnya pancasila, yang secara trayektori masuk dalam sisi banalitas hegemoni kekuasaan. Negara yang dikuasai oleh kartel politik dan oligarki, telah melemahkan pancasila dan berakibat pada perampasan ruang hidup itu sendiri. Maka upaya ini praktis sekarang ialah, bagaimana mengembalikan marwah pancasila, menjadi sisi progresif guna mengembalikan cita-cita luhur dari pancasila itu sendiri.
Upaya-upaya ini dapat dilakukan dengan memasifkan edukasi politik sebagai bagian dari transformasi sosial, dengan sosialisasi wacana masif guna mengembalikan prinsip pancasila. Tentu upaya ini merupakan bagian berat, dan perlu konsistensi. Tidak mudah memang mengembalikan prinsip republikanisme itu sendiri, yang sejalan dengan sisi revolusioner pancasila.