Jumat, April 26, 2024

Meredam Hoaks ala Negeri Hitler

Irwan Hafid
Irwan Hafid
Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Islam Indonesia

Perkembangan hoaks melalui dunia siber saat ini dinilai sebagai ancaman baru bagi stabilitas keamanan negara. Bahkan belakangan muncul wacana untuk menjerat penyebar hoaks dengan UU No. 5/2018 tentang Pemberantasan Terorisme. Alasannya, hoaks dinilai sebagai teror non-fisik, sehingga Indonesia merasa perlu mencari regulasi yang tepat untuk memberantas hoaks tersebut.

Sejarah hoaks bisa dikatakan mengikuti sejarah awal mula diciptakannya manusia, dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa setan telah membisikkan rayuan jahat kepada nabi adam agar terusir dari surga (QS. Taha: 120). Sementara istilah ‘hoax’ menurut Lynda Walsh (2006) populer pertama kali sejak tahun 1808. Kemudian diserap sebagai kata ‘hoaks’ dalam KBBI pada tahun 2016.

Berdasarkan sejarah tersebut dapat dipahami bahwa hoaks merupakan isu lintas masa. Dulu kasus hoaks mudah berkembang dikarenakan minimnya literatur untuk menguji fakta. Sekarang, kita disuguhi banyak literatur dan informasi akibat perkembangan teknologi, namun hoaks juga tidak kunjung reda tapi malah berkembang sedemikian rupa.

Hoaks dan Terorisme

Menurut data Mabes Polri tahun 2018, ditemukan sekitar 3.500 konten hoaks di media sosial. Sementara Kemkominfo mengungkap, sepanjang Agustus 2018-Februari 2019 ditemukan 771 kasus hoaks dan 800 ribu situs penyebar hoaks pada 2016. Bahkan hoaks berkaitan dengan politik terlihat semakin masif penyebarannya menjelang pemilu seperti sekarang.

Sementara menurut kajian sejumlah akademisi dari New York University (2016) dalam laman Science Advance & The Verge, bahwa penyebar hoaks juga merupakan korban hoaks. Kebanyakan dari mereka berusia 65 tahun keatas sehingga lebih rentan tertipu hoaks. Faktornya beragam, mulai terlambat mengenal teknologi, rendahnya literasi, hingga persoalan menurunnya kemampuan kognitif.

Kita sepakat bahwa hoaks harus dilawan, tapi jika instrumennya harus menggunakan UU Terorisme terlihat berlebihan. Karena penyebar hoaks di Indonesia, telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE, UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta KUHP. Sementara jika terduga teroris ikut menjadi bagian dari penyebar hoaks dan menimbulkan kekacauan maka bisa ditambah jerat hukumnya dengan pasal 13A UU Terorisme.

Dalam Memorie van Toelichting pembetukannya, UU Terorisme memang dibentuk untuk menjadi landasan hukum yang kukuh dalam mencegah dan memberantas terorisme. Dengan kata lain, UU Terorisme diperuntukkan bagi terduga atau terafiliasi teroris. Sementara jika penyebarnya masyarakat biasa, hukum yang berlaku ialah UU ITE dan pidana lainnya non terorisme.

Sehingga dinilai kurang tepat, jika pelaku terduga teroris dan masyarakat biasa diberlakukan hukum yang sama dengan UU Terorisme, karena instrumen hukumnya telah tegas membedakan antara keduanya. Selain itu, kalau rakyat terlalu banyak menyerahkan hak privasinya dan pemerintah terlalu banyak mengatur hal tersebut, kita juga khawatir bahwa pemerintah sewaktu-waktu bisa kembali tergelincir pada otoritarinisme.

Belajar dari Jerman

Setiap negara memiliki aturan berbeda terkait hoaks, tergantung sistem pemerintahan dan hukum yang dianutnya. Di Jerman (Negeri Hitler), larangan hoaks diatur dalam Germany’s Network Enforcement Act (NetzDG). Undang-undang ini menarik dijadikan rujukan karena memiliki perbedaan dengan beberapa aturan di Indonesia, khususnya perhatian negara terhadap perusahaan media sosial.

Berdasarkan riset Jakpat Mobile Survey Platform (2018), bahwa hoaks paling banyak ditemukan di Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Hoaks yang beredar melalui platform media sosial tersebut, seharusnya juga menciptakan tanggung jawab besar dalam pekerjaan mereka.

Sehingga NetzDG mengatur perusahaan media sosial untuk membuat layanan laporan secara komprehensif terkait hoaks. Setelah terdeteksi, maka kewajiban perusahaan untuk menghapusnya dalam waktu maksimal 24 jam setelah laporan atau sepekan jika dianggap lebih rumit. Jika diabaikan, perusahaan harus menanggung denda sekitar 50 juta euro (Rp. 800 miliar).

Berbeda dengan Jerman, hukuman hoaks di Indonesia hampir selalu didebankan kepada penyebarnya. Meskipun tidak keliru, tapi tidak semua yang menyebarkan sengaja berniat jahat memberikan informasi hoaks, bahkan memang ada yang tidak bisa mendeteksi kalau sebenarnya itu hoaks. Maka peran perusahaan menjadi penting untuk mendeteksi hoaks.

Aturan NetzDG ini perlu diwacanakan lebih lanjut di Indonesia. Namun bukan semata-mata hanya untuk mengadopsi hukum negara lain, tapi justru semangat untuk menyelesaikan hoaks harus melalui akar masalahnya. Karena meskipun pelaku telah dihukum, konten hoaks masih bisa saja terus menyebar bahkan menyasar korban dan pelaku baru. Selain itu, setidaknya masih terdapat tiga faktor lain yang penting untuk dibenahi dalam membasmi hoaks dari akarnya.

Pertama, selama ini pendekatan dalam mengatasi hoaks cenderung represif melalui penegakan hukum, padahal instrumen ini haruslah diupayakan sebagai jalan terakhir (ultimum remedium). Seharusnya, pendekatan preventif lebih diutamakan seperti melalui kurikulum literasi digital. Tidak harus menunggu kurikulum baru, dari sekarang guru bisa mengajarkannya secara integratif, misalnya melalui pelajaran bahasa yang sudah mulai diterapkan di Brazil.

Kedua, penyebar hoaks diancam 10 tahun penjara dalam UU Peraturan Pidana dan 6 tahun dalam UU ITE. Seharusnya, hoaks melalui teknologi hukumannya harus lebih berat daripada penyebaran biasa. Sehingga hal tersebut perlu disempurnakan, karena menurut Nonet dan Selznick (1978) dalam bukunya Law & Society in Transition Toward Responsive Law hal tersebut dirasa masih belum memenuhi keadilan substantif.

Ketiga, sebenarnya instrumen hukum dalam mengatasi hoaks di Indonesia saat ini cukup komprehensif dan menjerakan. Misal dalam pasal 45A ayat (1) UU ITE, penyebar hoaks diancam 6 tahun dan denda Rp. 1 miliar. Kalau dibandingkan dengan Filipina, dalam Pasal 15 Republic Act (RA) 10951 bahwa penyebar hoaks hanya diancam 6 bulan dan denda sekitar Rp. 151 juta.

Hanya saja aparat penegak hukum kita perlu lebih istiqomah dan konsisten dalam menegakkannya, yakni tidak tajam kebawah dan tumpul keatas atau tajam ke oposisi dan tumpul ke pemerintah. Meskipun pemberlakuan UU Terorisme terhadap hoaks masih sebatas wacana, namun kita berharap dari polemik ini dapat melahirkan solusi terbaik dalam mengatasi hoaks di Indonesia.

Irwan Hafid
Irwan Hafid
Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.