Penegakan Perda No 2 tahun 2014 tentang jalur untuk pedestrian kembali digencarkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Setidaknya beberapa titik yang menjadi tempat berjualan Pedagang Kaki Lima (PKL), kembali ditertibkan dengan argumentasi menganggu ketertiban dan jalur pedestrian.
Mengacu pada Perda Nomor 9 tahun 2014 tentang penataan dan pembinaan PKL, mereka yang ditertibkan harus menaati keputusan Pemkot Surabaya. Bahkan salah satu solusi ialah relokasi, ke sentra PKL yang disediakan, atau beberapa kasus tidak sama sekali.
Maraknya penertiban PKL kian gencar di medio 2016-2017, tercatat melalui pengamatan titik seputar Dharmahusada sudah ditertibkan, area seputar Rumah Sakit Jiwa Menur yang lebih mudah dikenal sebagai tempat berjualan minuman kelapa juga tak luput dari penertiban.
Selanjutnya titik di sekitar Rumah Sakit Islam Nahdlatul Ulama di dekat Wonokromo dan Royal Plaza, juga terkena penertiban dengan dalih penataan jalur lalu lintas. Sementara yang terbaru PKL sekitar Pasar Karangmenjangan dan PKL Airlangga sepanjang Srikana hingga area Universitas Airlangga (Unair) kini turut ditertibkan.
Keputusan mendadak hingga tidak melihat secara kontekstual persoalan PKL menjadi problem tersendiri dalam penertiban PKL Memang pada beberapa titik menjadi sarang kemacetan, yang memang harus ditertibkan jika mengikuti logika Pemkot.
Dalam kasus PKL Karangmenjangan penertiban atau bahasa lugasnya penggusuran, dilakukan secara sepihak tanpa adanya proses dialog. Pengguran dilakukan pada umumnya dengan alibi penataan, ketertiban, hingga keindahan yang menganggu orang lain (khalayak umum).
Begitu juga yang dialami oleh PKL Unair sepanjang Srikana dan Airlangga, mereka dituduh sebagai biang kesemrawutan. Oleh karenanya pada tanggal 14 November 2017 Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melakukan penertiban sepihak, hingga memicu protes keras dari PKL dan beberapa elemen masyarakat.
PKL seputar Airlangga dan Srikana, melakukan pembelaan yang sama dengan PKL Menur dan Karangmenjangan. Bahwa mereka telah lama berjualan, dan terpaksa dilakukan untuk menyambung hidup. Memenuhi kebutuhan keluarga, sandang, pangan dan papan.
Namun semua itu tak berarti ketika berbenturan dengan peraturan yang jauh dari konsepsi Hak Asasi Manusida dan Hak Warga Negara. Di mana pada setiap kondisis apapun, baik stakeholder maupun PKL harus ditemukan untuk menentukan solusi bersama.
Upaya PKL dalam Ruang Demokrasi
Sebagai warga negara yang mempunyai hak dan wewenang dalam ruang demokrasi, sebagaimana termaktub dalam UUD Tahun 1945, pasal 28. Secara produk hukum dilindungi haknya sebagai warga negara, baik untuk menyampaikan pendapat hingga mempertahankan hidupnya.
Kemudian mengacu pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), diratifikasi menjadi UU No. 12 tahun 2005, serta Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (The International Covenant on Economics, Social, and Cultural Rights/ ICESCR), diratifikasi menjadi UU No. 11 tahun 2005. Bahwasanya warga negara mempunyai perlindungan hukum mengenai hak menyatakan pendapat, keberatan dan solusi, diperkuat dengan perlindungan atas hak hidupnya sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 tahun 2005 soal hak ekonomi.
Namun dalam realitasnya aturan tersebut tak pernah berlaku, PKL sebagai warga negara selalu dibenturkan dengan Satpol PP dan aparatur terkait. Mereka diusir semena-mena dari ruang penghidupannya, tanpa dialog dan solusi terkait. Seperti penyediaan sarana ekonomi yang sesuai dengan kondisi awal, berkaitan dengan laba.
Rata-rata relokasi kebanyakan ditolak PKL, ialah akses pada pengunjung yang tidak terjangkau, sepi dan kios-kios yang disediakan relatif mahal. Sehingga mereka para PKL mempunyai argumentasi penolakan, karena di tempat biasa mereka cukup sementara di tempat baru kurang. Kembali pada akses ekonomi, kebutuhan dasar.
Indikator demokrasi ialah baik Pemkot dan stakeholder terkait dapat bermusyawarah. Namun ini tidak terjadi dalam praktiknya, mereka harus rela melakukan aksi terlebih dahul baik aksi ke jalan, hingga mengirim audiensi ke DPRD Surabaya yang hingga kini masih belum terjawab, seperti yang dilakukan PKL Karangmenjangan.
Begitu juga untuk melawan kesewenang-wenangan dalam penertiban, PKL Airlangga dan Srikana dengan beberapa elemen juga melakukan aksi, sampai diajak untuk berdialog pada 15 November, namun pada saat itu masih belum terpenuhi hasilnya, karena tempat relokasi belum siap.
Kemudian pada 16 November malam ditengah kesimpangsiuran hasil audiensi, Satpol PP sebagai kaki tangan Pemkot melakukan penertiban kembali, namun terjadi perlawanan sengit dari PKL dan segenap elemen masyarakat termasuk mahasiswa Unair.
Puncaknya ialah ketika Aliansi Mahasiswa Surabaya dan PKL Airlangga dan Srikana, melakukan aksi di depan gerbang depan Kampus B Unair pada tanggal 20 November 2017. Mereka melakukan aksi hingga larut malam, hingga akhirnya pihak Kepolisian, Universitas dan Pemkot sepakat untuk melakukan musyawarah lagi.
Pada 21 November 2017, mereka melakukan musyawarah lagi dengan pihak terkait mengenai nasib para PKL ke depan. Namun Unair masih kukuh pada keputusan awal di Srikana, walaupun tempatnya belum siap. Sehingga nasib PKL kembali tidak menentu.
Tidak hanya PKL, namun masyarakat lainnya juga mengalami persoalan serupa. Ruang demokrasi mereka ditutup, hak-hak hidup mereka dirampas dengan berbagai dalih. Salah satunya kepentingan publik, keteraturan hingga keindahan kota. Warga Morokrembangan yang memperjuangkan status tanahnya dari klaim militer, warga Sepat yang masih bersengketa dengan Pemkot dan Citraland, warga Keputih dengan elemen Pemkot (dinas terkait); kemudian warga Strenkali yang menghadapi persoalan serupa dengan PKL, yaitu penertiban untuk keindahan.
Persoalan-persoalan tersebut merupakan contoh nyata, bagaimana secara realitas mereka dipinggirkan dari tanahnya, alat produksinya dengan dalih kepentingan umum. Sementara mereka yang mempunyai modal dilindungi bahkan ketika melanggar peraturan. Perampasan hutan kota, waduk hingga ruang terbuka hijau masih dibiarkan. Namun warga kota yang hidup dari bawah, hak-haknya masih dirampas tanpa pengecualian.