Jumat, April 26, 2024

Merajut Persatuan Pasca Dualisme Demokrasi

Burhanudin Faturahman
Burhanudin Faturahman
Burhanudin Mukhamad Faturahman. Pemerhati Politik dan Kebijakan dalam negeri. Dapat dihubungi melalui burhanmfatur@gmail.com dan burhanudin.faturahman@dpr.go.id

Menjelang akhir masa perhitungan suara pemilu 2019, masyarakat Indonesia sebenarnya sedang tidak dalam kondisi terbaiknya. Khusus untuk saat ini suhu politik Indonesia bagaikan air yang sedang mendidih dimana semakin mendekati hari akhir perhitungan suara pemilu maka semakin besar pula luapan air yang akan tumpah. Analogi luapan air tersebut yaitu adanya ketidakpuasan publik terhadap hasil perhitungan suara oleh KPU disertai dengan gerakan demonstrasi.

Terminologi politik selalu dilontarkan oleh pihak yang kurang menerima perhitungan suara oleh lembaga resmi KPU. Terminologi curang merupakan frase negatif setara dengan black campaign (kampanye hitam).  Bedanya terdapat pada periodisasi saja. Frase curang digunakan setelah kampanye yaitu masa perhitungan suara, sedangkan black campaign digunakan saat masa kampanye. Frase curang ini berbuntut panjang mulai dari people power hingga gerakan kedaulatan rakyat.

Menurut KBBI kata curang berarti tidak jujur, tidak adil. Jika kata curang menjadi kata kerja maka terdapat pihak yang dianggap curang serta ada pihak yang mengklaim bahwa dirinya benar. Serangan terminologi tersebut sebenarnya memaksa publik publik agar menerima atau menolak suatu kegiatan tanpa memberikan publik kesempatan untuk mencerna sebuah proses.

Dalam konteks pemilu berarti mengajak publik untuk tidak percaya kepada hasil perhitungan suara KPU. Imbasnya, tidak hanya dua kubuh tokoh politik yang terbelah menjadi dua dengan klaim kemenangan kubu masing-masing melalui hasil quick count lembaga survei atau exit poll lembaga internal namun publik juga menyatakan secara terbuka bahwasannya tokoh yang mereka dukung telah memenangi kompetisi dengan memasang baliho tokoh junjungan masing-masing.

Di sinilah keprihatinan kita yang membuat bingung masyarakat awam dan semakin membelah masing-masing pendukung yang fanatik. Di sisi lain masyarakat masih sabar menunggu hasil akhir perhitungan suara secara resmi oleh KPU menunjukkan sikap yang lebih bijak.

Tampaknya cara kedua kubu melakukan aktivitas demokrasi prosedural (kampanye) menimbulkan efek samping yang kronis. Sekilas merivew, antusiasime pendukung capres penantang diklaim terlalu eksklusif hal tersebut dinyatakan oleh SBY yang notabene pendukung capres penantang.

Sedangkan pendukung capres yang ditantang lebih menyerukan sikap pro kemajemukan dengan berbagai statementnya. Hal tersebut merupakan salah satu cara demokrasi dari kedua kubu untuk merebut suara publik. Kekhawatiran terjadi jika terlalu fokus pada demokrasi prosedural justru melukai substansi demokrasi Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun kedepan yaitu kesejahteraan warga negara.

Nampaknya isu SARA yang senarnya haram untuk disinggung karena menyangkut privasi malah menjadi sasaran empuk untuk merebut suara penganut agama tertentu. Tapi sebenarnya dalam kehidupan nyata masyarakat masih setuju dengan keharmomisan berbagai sistem kepercayaan dijamin dalam UUD 1945 dan dijadikan ideologi Pancasila. Secara hakekat umat beragama cenderung cinta keharmonisan tanpa menodai sistem kepercayaan lainnya (Hick, 1995).

Tentunya kita sudah lelah dengan kondisi saat ini yang sebenarnya tidak menguntungkan kedua belah pihak baik kompetitor capres maupun para pendukungnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Upaya telah ditempuh untuk meredam konflik yaitu pertemuan di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor oleh sejumlah aktor politik diikuti oleh AHY, Yenny wahid beserta 8 kepala daerah patut kita apresiasi. Langkah ini menurut Zittoun (2018) merupakan usaha dan persetujuan, memungkinkan suasana yang tak dapat diterima.

Hal tersebut diperlukan sebagai pendekatan dalam kebijakan publik melalui aktivitas politik. Dengan pernyataan dari tokoh-tokoh politik, Game of actor ini mengkonstruksi bantuan-pemilik koalisi menjadi solusi dan power game sarat dengan tindakan Game of actor tersebut sehingga sangat berdampak pada pembuat keputusan setelah para aktor tersebut berkoalisi. Inilah proses pembuatan kebijakan berdasarkan karakter politik yang tinggi yang sedang ditempuh oleh Indonesia.

Dengan melakukan rekonsiliasi, para aktor politik tersebut juga mampu menanggulangi penyebaran konten-konten provokatif di media massa yang disinyalir oleh Polri meningkat tajam sekitar 40% pada waktu pemungutan Suara beberapa hari yang lalu.

Para elite politik harus sedemikan rupa menahan langkah-langkah politik yang membelah dan menimbulkan ketegangan politik. Elite politik harus kembali merajut persatuan bangsa. Dampak positif lainnya yaitu dapat mengantisipasi terbelahnya masyarakat masing-masing pendukung secara ekstrim karena tantangan sesungguhnya pasca pemilu adalah membangun stabilitas politik, sosial dan ekonomi bangsa Indonesia.

Burhanudin Faturahman
Burhanudin Faturahman
Burhanudin Mukhamad Faturahman. Pemerhati Politik dan Kebijakan dalam negeri. Dapat dihubungi melalui burhanmfatur@gmail.com dan burhanudin.faturahman@dpr.go.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.