Terjadi kembali pernikahan anak usia dibawah umur pada 1 Mei 2019 di Sulawesi Selatan. Satu bulan sebelumnya, hal serupa juga terjadi di provinsi yang sama. Sebenarnya fenomena pernikahan dini bukan suatu isu baru di negara ini.
Pernikahan dini adalah suatu permasalahan yang berusaha diberantas sejak dulu. Mayarakat dan pemerintah gencar menyoroti kejadian ini, namun hingga saat ini masalah pernikahan anak dibawah umur tak kunjung terselesaikan.
Seiring berjalannya waktu, pernikahan dini justru menjadi tren tersendiri bagi sebagian kalangan masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di daerah jauh dari pusat kota. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan presentase pernikahan dini di Indonesia meningkat menjadi 15,66% pada tahun 2018, dibanding tahun 2017 yaitu 14,18%. Presentase pernikahan dini tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan 22,77%, Provinsi Jawa Barat 20,93%, dan Provinsi Jawa Timur 20,73%. (nasional.sindonews.com)
Banyak faktor atau penyebab terjadinya pernikahan anak di bawah umur. Faktor yang pertama adalah rendahnya tingkat pendidikan. Hasil analisis data perkawinan usia anak oleh BPS dan UNICEF menunjukan pencapaian tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan mendorong penundaan perkawinan hingga dewasa. Pada tahun 2012 tercatat perempuan usia 15-19 tahun yang pernah menikah sebanyak 35,4% lulusan SD dan 44,7% lulusan SMP. (unicef.org)
Faktor yang kedua adalah kemiskinan. Kebanyakan orang tua yang berada di bawah garis kemiskinan lebih memilih menikahkan anaknya daripada membiayai anaknya untuk mengeyam pendidikan. Para orang tua berharap keadaan perekonomian keluarga akan menjadi lebih baik setelah anaknya menikah.
Faktor yang ketiga adalah pergaulan anak-anak yang semakin bebas dan pengaruh teknologi yang semakin mudah diakses. Jika dilihat anak-anak sekarang ini seakan-akan sudah mengetahui apa itu rasa cinta terhadap lawan jenis, pacaran dan pernikahan. Hal ini turut dipengaruhi oleh banyaknya siaran televisi yang menampilkan sinetron mengenai percintaan dan pacaran di kalangan anak muda.
Di media sosial juga banyak konten yang berisi percintaan anak muda. Hal-hal inilah yang harusnya tidak diserap oleh anak-anak untuk ditiru. Mirisnya banyak orang tua yang membiarkan anak-anak mereka menonton siaran televisi dan media sosial yang berisi hal seperti itu.
Pernikahan dini tak bisa dibiarkan begitu saja, karena masalah yang ditimbulkan dari pernikahan dini tak main-main. Masalah tersebut diantaranya adalah kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Rata-rata anak di bawah umur masih memiliki emosi yang belum matang. Belum stabilnya emosi antara kedua belah pihak akan memungkinkan timbulnya percek-cokan mengenai masalah rumah tangga hingga memicu terjadinya kekerasan.
Selanjutnya, pernikahan dini dapat membahayakan ibu dan calon anak. Dilansir dari National Health Service perempuan yang melahirkan dibawah usia 18 tahun beresiko meninggal saat bersalin, karena secara fisik belum siap untuk hamil dan melahirkan. Panggul perempuan usia dibawah 18 tahun masih terlalu kecil untuk melahirkan. Calon bayi juga memiliki resiko lahir prematur karena berat badan yang rendah.
Selain itu, kemiskinan akan menjadi semakin langgeng dengan anak-anak yang menikah di usia dini. Pemikiran orang tua untuk menikahkan anaknya di usia muda supaya meringankan beban ekonomi keluarga adalah salah besar. Justru mereka akan tetap berada di garis kemiskinan, karena sang anak tidak atau belum berpenghasilan. Mereka juga akan sulit mencari pekerjaan karena tingkat pendidikan yang rendah.
Lalu bagaimana cara untuk menghentikan fenomena pernikahan anak dibawah umur supaya kejadian ini tidak dijadikan sebuah kebiasaan oleh sebagian kalangan masyarakat?
Pertama, pemerintah harus mewajibkan setiap sekolah untuk memberikan edukasi mengenai dampak pernikahaan dini pada anak-anak. Edukasi ini dapat diberikan pada saat jam pelajaran bimbingan konseling. Peran guru juga sangat penting disini. Mengingat guru adalah orang tua kedua bagi murid, maka guru juga wajib mengawasi setiap tingkah polah anak didik mereka di sekolahan.
Kedua, masyarakat harus membantu pemerintah dalam memberikan sosialisasi kepada orang tua mengenai permasalahan pernikahan dini. Orang tua yang teredukasi pasti akan berubah pola pikirnya. Mereka akan mempertimbangkan matang-matang apa yang akan terjadi ketika menikahkan anaknya pada usia dini. Mereka akan tahu permasalahan yang timbul akibat pernikahan dini yang terjadi pada anak-anak.
Ketiga, pemerintah harus merevisi UU perkawinan pasal 7 yang menyebutkan batas usia menikah laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Pemerintah bisa mengganti batas usia menikah menjadi 25 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Usia 25 tahun dianggap sudah matang secara emosi, dan pada usia tersebut kebanyakan orang sudah memiliki penghasilan sendiri.
Fenomena pernikahan anak dibawah umur memang tidak bisa langung dihilangkan di kehidupan masyarakat. Maka kita harus gencar membantu pemerintah untuk membuat program dan aturan untuk mengurangi fenomena ini. Kita harus turut serta mengedukasi masyarakat mengenai dampak dari pernikahan anak dibawah umur.