Rabu, April 24, 2024

Menyoal Tubuh Jokowi: Memahami Keragaman, Merayakan Perbedaan

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.

Menurut Plato, tubuh adalah penjara. Secara kodrati, ia bukan hanya sekadar fisik yang bergerak, tetapi ia adalah dunia berpikir yang tak bisa langsung bekerja memecahkan masalah karena ia bersifat abstrak. Hal senada juga diungkapkan oleh Sartre, bahwa tubuhku adalah pikiranku.

Dalam sosiologi politik, tubuh tidak hanya sekadar serangkaian fisik, melainkan ia mengandung simbolisme kultural, politik, ekonomi, seksual, moral bahkan aspek kontroversial. Menyoal tubuh Jokowi, ia adalah potret sosiologi politik yang paling fenomenal. Tubuhnya tidak mudah untuk dideskripsikan karena merupakan gabungan kompleks beragam citra tubuh .

Lain lagi pembahasannya, jika tubuh sudah ditutupi oleh pakaian, terlebih pakaian adat. Saya teringat peristiwa penting saat pakaian adat nusantara dipakai oleh Presiden RI, Joko Widodo, dalam upacara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-72 Republik Indonesia tahun 2017. Mungkinkah agustus-an bulan depan, 17 Agustus 2018, akan kembali dipakai sebagai simbol pentingnya memahami kemajemukan di tengah krisis kebersamaan bangsa ini yang terkoyak oleh “tipu daya” partai politik di tahun politik.

Pada saat itu, tak hanya Jokowi ternyata yang memakai baju adat daerah tersebut. Pakaian adat dari berbagai daerah di Nusantara ini juga dikenakan oleh Jusuf Kalla, BJ Habibie, Megawati, dan Soesilo Bambang Yudhoyono. Sebuah persitiwa pertama dalam 12 tahun terakhir.

Atau ingatan saya tiba-tiba tertumpu pada peristiwa terakhir, saat Jokowi mengenakan jaket denim yang menyerupai jaket Dilan, tokoh anak SMA yang baru gede, dalam film Dilan 1990.  Di bagian depan jaketnya ada corak merah dengan gambar peta Indonesia yang berwarna putih. Saat itu, jaket yang dikenakannya ia pakai dengan mengendarai motor “chopper” barunya di jalan raya menuju Sukabumi sekitar 30 kilometer (8/4/2018).

Pakaian adat serta jaket yang Jokowi kenakan tersebut dipilih sebagai simbol keragaman nusantara yang menunjukkan bangsa Indonesia ini adalah majemuk. Jokowi berharap, keberagaman atau kemajemukan tersebut diterima dan dipahami sebagai sebuah spirit serta kekuatan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Pesan Jokowi di atas mengenai keragaman atau kemajemukan bangsa sangatlah penting, sebagai pengingat atau media penyadar bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa negeri kita ini majemuk, kompleks dan beragam.

Sebut saja misalnya, suku yang ada di negeri kita sebanyak 714 suku, ditambah bahasa lokalnya sekitar 1.100 bahasa, datambah pula beragamnya adat istiadat, budaya serta agama yang dimiliki negeri ini. Sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar bahwa kita hidup di negeri ini sudah beragam dari awal.

Memahami Keragaman

Memahami kemajemukan berarti kita tak akan pernah mempertentangkan perbedaan. Perbedaan suku, bahasa, adat, agama, budaya dan seterusnya merupakan aset kekuatan bangsa ini. Masyarakat yang majemuk hendaknya dijadikan sebagai media untuk membangun kekuatan bangsa ini. Keragaman juga merupakan modal untuk mengahadapi tantangan zaman. Semangat keragaman harus terus dijaga, dirawat dan dipelihara baik melalui pendidikan, kebudayaan atau kesenian.

Untuk menjadi negara bangsa yang maju di tengah persaingan global, persatuan dan kesatuan menjadi “kunci sakti” yang harus terus dijaga, dirawat dan dipelihara. Tantangan, hambatan, dan ancaman berupa hasutan, informasi hoaks, paham radikal, dll., yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan negeri ini terus menerus mengintip.

Pemahaman mengenai keragaman atau kemajemukan penting untuk diajarkan kepada anak-anak dan para remaja seluruh Indonesia. Pemahaman di atas wajib disampaikan sejak dini, karena mereka rentan terhadap isu radikalisme dan intoleransi.

Mengenai radikalisme, daya tangkal generasi muda terhadap paham radikal ini semakin memperihatinkan. Dari data Kompas (15/8) diketahui para sejumlah teroris yang ditangkap Datasemen Khusus 88 di Jawa Barat rata-rata beranggotakan anak-anak muda yang lahir pada dekade 1990-an.

Adapun sikap intoleransi muncul karena perbedaan yang sering dijumpai dalam berbagai hal di lapangan. Perbedaan juga seringkali menjadi jarak pemisah antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, pendidikan dan informasi yang tepatlah yang akan meloloskan negeri ini dari tantangan, hambatan dan ancaman di atas.

Pengalaman seorang pelajar remaja misalnya, ketika ia berinteraksi dengan keragaman saat di sekolahnya, maka hal tersebut akan membuahkan keharmonisan sosial antarwarganegara pada generasi mendatang. Artinya, lingkungan pendidikan yang beragam akan menyumbang kedamaian, keselarasan kehidupan masyarakat di masa yang akan datang. Sekolah atau pendidikan menjadi media paling rasional untuk menularkan virus-virus keragaman atau kemajemukan.

Pendidikan keragaman, sekali lagi, akan mampu menghantarkan peserta didik, yang notabene sebagai generasi penerus bangsa, untuk menghargai perbedaan sebagai suatu nilai positif nan terpuji. Menurut Franz Magnis Suseno (2002) pendidikan keragaman merupakan suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita bisa melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita.

Adapun Nurcholish Madjid (2000) mengatakan bahwa pluralisme (keragaman) tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk (realitas), tapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan itu sebagai sebuah nilai positif.

Masih menurutnya, pluralisme (keragaman) tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada (politic of recognition), melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati.

Pertemuan para mantan presiden tahun lalu, saat Peringatan Detik-detik Proklamasi Ke-72 di Istana Negara, Jakarta (17/8/2017) sebagai anggota klub presiden, diharapkan menjadi contoh atau teladan dari elit politik bahwa negeri ini tetap kuat, solid, dan bersatu untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan sejahtera.

Pertemuan, dialog dan saling bersalaman antarelit yang dilakukan di atas sejatinya bisa dicontoh oleh rakyat di bawah, sebagai sebuah harapan dan keoptimisan membangun negeri ini. Setidaknya pula, hal tersebut dapat membantu meredakan ketegangan yang kerap mewarnai karena ulah politik serta ulah elit politiknya itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tantangan utama bangsa saat ini adalah menjaga kemajemukan dan meneguhkan kemandirian bangsa.

Keragaman suku, bahasa, adat istiadat, budaya, dan agama yang ada di Indonesia ini merupakan sebuah keniscayaan. Kita hendaknya perlu memahami hal tersebut sebagai sebuah modal utama yang sangat berharga untuk membangun negeri ini menjadi negeri idaman yang subur makmur dan sejahtera. Mari rayakan perbedaan!

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.