Mahfud MD, yang kini mendapat amanah sebagai Menkopolhukam (Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum & Keamanan), sekali waktu pernah mengatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan juga bukan negara sekuler, tetapi religious nation state atau negara kebangsaan yang berketuhanan. Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara di Kongres Pancasila, Kamis (23/8) di Balai Senat UGM.
Apa yang disampaikan oleh Prof. Mahfud MD ini menarik, mengingat belakangan ini banyak pihak berusaha mendorong agar diberlakukannya hukum satu agama tertentu dalam hukum negara kita. Seolah-olah Indonesia adalah negara agama. Padahal, demikian Mahfud, Indonesia sebagai religious nation state tidak perlu memberlakukan hukum agama tertentu.
Terlepas dari soal adanya dorongan penerapan hukum agama tertentu ke dalam hukum negara, kita bisa mengamati sendiri bahwa di negara kita tercinta ini isu seputar agama masih merupakan topik yang hangat untuk dibicarakan. Makanya jangan heran ketika ada pemberitaan mengenai agama, rasa-rasanya semua terdorong untuk ikut nimbrung.
Sejalan dengan kemunculan isu agama, biasanya juga bermunculan orang-orang yang sok pahlawan agama. Bagi mereka, agama harus dibentengilah, Tuhan wajib dibelalah. Bla … bla … bla. Pokonya jangan sampai tersentil sedikit saja soal agama, mereka akan keluar dari sarangnya. Seolah Tuhan tidak Mahakuasa sehingga harus disokong dengan kekuatan manusia.
Parahnya lagi, di negara kebangsaan yang berketuhanan ini, orang-orang yang mengaku ‘beragama’ itu mencoba ‘mengintip’ ajaran agama tetangga. Hasil intip-mengintip itu membuat sebagian dari mereka merasa bahwa mereka sudah melihat seluruh isi ajaran agama tetangga; dan mereka beranggapan bahwa agama merekalah yang paling benar, paling suci, dan paling bersih; sedangkan agama tetangga yang mereka intip itu tidak.
Padahal, semua orang tahu bahwa apa yang mereka lihat dari hasil intip-mengintip itu hanyalah sebagian kecil dari seluruh isi ajaran agama tetangga.
Sekiranya sudah saatnya bagi kita untuk mengakui bahwa semua agama, tanpa terkecuali, menyimpan sejuta misteri tentang Tuhan. Itulah ‘ruang gelap’ yang belum pernah dimasuki oleh manusia entah dari agama manapun. Makanya, orang-orang beragama dari abad ke abad tanpa henti berusaha menyingkap realitas di balik ‘ruang gelap’ itu.
Usaha untuk menyingkap misteri tentang Tuhan telah dilalui lewat berbagai jalan. Hanya saja, sayangnya, masing-masing agama mengklaim jalan yang dipilih sebagai jalan yang paling benar menuju penyingkapan misteri itu.
Klaim seperti itu wajar saja sebab hanya jalan itulah yang kita ketahui dan kita lewati. Namun, menjadi tidak wajar kalau kemudian klaim kebenaran itu dipakai untuk menghina dan mengejek jalan kebenaran yang dilalui oleh agama lain.
Jangan lupa bahwa ‘ruang gelap’ itu tetap tak tersentuh oleh pemikiran manusia sampai kapanpun. Ya, dalam setiap agama akan selalu ada ‘ruang gelap’ yang luput dari penjelasan logis-ilmiah.
Sejauh ‘ruang gelap’ itu belum tersingkap, manusia tidak akan pernah berhenti mencari tahu. Misteri tetaplah misteri. Justru agama mampu bertahan selama berabad-abad karena ada misteri tentang Tuhan yang tidak pernah terkuak.
Sebaiknya jangan pernah berharap bahwa manusia beragama akan mengerti seluruhnya misteri tentang Tuhan – sebab ketika Tuhan bisa dikaji seluruhnya dan dijelaskan semuanya oleh pemikiran manusia, maka itu namanya ilmu pengetahuan, bukan agama.
Patut dicatat juga bahwa keberadaan misteri dalam agama hanya bisa dipahami oleh penganut agama yang bersangkutan. Kita yang hanya mengintipnya dari luar, jelas tidak mampu menangkap seluruh pesan di balik tirai ‘ruang gelap’ itu.
Misteri hanya bisa diterima pakai hati, sementara orang yang mengandalkan kemampuan mengintip seringkali mencoba menerimanya menggunakan pisau akal budi. Jelaslah bahwa akal budi tidak mampu menjelaskan realita di balik misteri itu.
Usaha penyingkapan misteri itu baru berhenti ketika semua yang dicari sudah terjawab. Kapan semuanya akan terjawab? Yaitu, ketika kita sudah bersatu kembali dengan Dia dan menatap wajah-Nya. Ya, sebab tujuan dari semua umat beragama sebetulnya adalah bersatu kembali dengan Dia. Hal itu sepenuhnya terjadi ketika kita beralih dari dunia ini (saat kita mati).
Saya ibaratkan usaha untuk memasuki misteri tentang Tuhan itu seperti mendaki gunung. Tujuan kita sebenarnya sama, yaitu mencapai puncak gunung yang satu dan sama. Kita berusaha berjalan mendaki dari satu sisi, sementara orang lain mendaki dari sisi yang berbeda.
Kita mengira bahwa jalan yang kita tempuh adalah jalan yang paling benar menuju puncak. Kita lupa bahwa di sisi yang lain dari gunung itu masih ada jalan lain yang sama bagusnya dengan jalan yang kita tempuh.
Agama manapun pastilah mengarahkan penganutnya supaya mencintai Tuhan dan sesamanya. Dan, semua agama bercita-cita membawa penganutnya masuk surga. Untuk bisa sampai kesana, syarat dan ketentuan berlaku. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Agama mengajarkan apa yang harus dilakukan dan mana yang perlu dihindari.
Tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan; sebab kata ‘agama’ itu sendiri berarti ‘tidak kacau’. Maka, kalau ada orang membuat kekacauan atas nama agama, berarti orang bersangkutan tidak mengerti agama. Sebaliknya, jika semua orang taat terhadap ajaran agamanya, maka sebetulnya tidak akan ada lagi kekacauan di muka bumi ini.
Kalau demikian, perlukah kita membela Tuhan? Jawabannya: jelas tidak. Tuhan tidak perlu dibela sebab Tuhan bisa membela diri-Nya sendiri. Lagipula, pembelaan kita hanya sia-sia sebab ternyata tujuan kita sama.
Oleh karena itu, saudara-saudaraku, selamat mendaki dan mencari gunung Tuhan! Jangan lupa bahwa ada pendaki lain yang sedang mendaki bersama Anda di sisi yang lain dari gunung itu. Selamat sampai tujuan!