Jumat, Maret 29, 2024

Menyikapi Kembalinya PMII di Tubuh NU

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.

61 tahun, PMII telah berkiprah menjadi organisasi yang mengusung pemahaman islam ahlussunnah wal jamaah di tengah gilang gemilang gerakan mahasiswa di Indonesia. Menyikapi gerakan kita (PMII), yang memang tidak lahir dari ruang kosong. PMII menyampaikan sikap dengan gagah berani dengan memberikan sumbangsih bagi bangsa ini.

Beberapa mengira organisasi ini (PMII), merupakan bagian secara resmi dari Nahdlotul Ulama. Tak hanya itu, beberapa juga mengira, organisasi ini sebagai bamper partai politik untuk dibentuk menjadi kader partai kelak nanti. Ada yang menarik dari organisasi ini. Tepat pada 17 April 2022, PMII menginjak usianya yang ke-62. Tak lagi, organisasi ini dikatakan sebagai organisasi kemarin sore.

Organisasi dengan pelbagai gilang-gemilangnya itu, memberikan warna tersendiri dalam keberjalanannya. Kendati demikian, merefleksikan dengan membaca ulang sebagai ladang kontemplasi secara futuristik, PMII perlu mengetahui jati dirinya untuk tujuan gerakan mereka di masa mendatang.

Ucapan Salam Pergerakan! Jadi jargon untuk memantik semangat mereka. Nampaknya, idiom itu juga memantik semangat dalam garis pergerakan.  Alhasil, muncullah lokus-lokus pemikiran yang melandaskan pada landasan berpikir (manhajul fikr) -Ahlussunnah Waljamaah. Nilai Dasar Pergerakan (NDP) sebagai kalimatunsawa’, agar mengikat antara nilai keislaman dan keindonesia sebagai dasar argumentasi kader sampai anggota untuk bersikap.

Awal mula, struktur PMII itu di dalam partai NU, hal ini didasari oleh Surat Keputusan (SK) PBNU 14 Juni 1960 yang menginduk pada salah satu lembaga badan otonom (Banom) di bidang pendidikan (LP) Ma’arif NU. Namun pada Peraturan Dasar (PD)  dan Peraturan Rumah Tangga (PRT) PMII Bab IV pasal 7 pada rapat muktamar NU ke-23, PMII disahkan menjadi banom yang sejajar dengan banom lainnya.

Kongres ke IV pada 25-30 April 1970, sebagai faktor pertama kali menyampaikan perihal pentingannya Independensi di tubuh PMII. Ketika NU menjadi partai politik, kader dan anggota terseok-seok oleh kondisi sosial yang akhirnya memaksakan organisasi islam berhimpun dalam suatu wadah, termasuk NU di dalamnya.

Deklarasi Murnajati pada tahun 1972, memberikan corak bahwasannya PMII merupakan organisasi Independen. Benturan pun terjadi. Antara pihak pro dan kontra tak bisa dibendung. PMII secara historis memang tidak bisa di jauhkan dengan NU sendiri, memutuskan untuk menentukan sikap dan pilihan  gerak organisasi dengan berani dalam menentukan masa depan mereka.

Kontroversi dan keberanian diri

NU sudah tak lagi jadi partai politik, NU kembali ke khittah 1926, hal tersebut merujuk Muktamar NU ke-27 di Pesantren Salafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1984. Gagasan dari KH. Achmad Sidiq menyampaikan bahwasannya NU tidak lagi menggunakan politik sebagai politik praktis. Namun, politik yang digunakan NU adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatan dan politik yang penuh dengan etika.

PMII masih memilih tetap independen. Disamping itu, appeal pondok gede menyatakan insyaf dengan hasil “interpendensi PMII,” yang menuai banyak tanya dari pelbagai pihak kepada gerakan sikap PMII. Appeal pondok gede yang berlangsung pada Kongres ke-10 PMII pada tahun 1991, memiliki beberapa argumentasi posisi PMII dengan NU.

Pertama, bahwa ulama sebagai pewaris para nabi (Ulama Warasatul Ambiya). Kedua, Memiliki ikatan kesejarahan bahwa PMII lahir dan besar dari NU. Ketiga, Ada persamaan paham kegamaan antara PMII dan NU. Keempat, Persamaan kebangsaan. Kelima, adanya persamaan kelompok sasaran.

Diksi kerja sama merupakan kata kunci bagaimana NU dan PMII menjalankan roda organisasinya masing-masing. PMII yang memiliki aturan dasar, aturan rumah tangga itu, tidak bisa disetir oleh siapapun. Kendati demikian, hubungan antara NU dan PMII jelas sebagai partner kolaboratif dalam mencapai tujuan organisasi.

Relasi Kuasa dan Perdebatan Interdependensi

Sudah usangkah sikap Interdependensi PMII terhadap NU? Narasi, ketika NU sudah tidak lagi menjadi partai politik, memantik pelbagai pihak menanyakan  sikap PMII kembali. Konsep interdependensi banyak disinggunga oleh beberapa kalangan. Pasalanya interdependensi ini, dinilai kurang tegas.

Kemelut dependensi mulai muncul kembali paska Muktamar ke-34 di Lampung berhelat. Narasi di media masa menyoroti PMII ketika mengkaji perihal calon Ketum PBNU untuk dibenturkannya dua organisasi besar ketika pencalonan tengah berlangsung. Namun, bukan itu yang akan di bedah.

Mengingat kembali makna interdependensi, yang dihelat pada Appeal Pondok Gede tahun 1991, masih memiliki relevansi bagi PMII. Narasi interdependensi sebagai sikap, sekali lagi. Kita tidak bisa mengatakan bahwasannya dalam deklarasi tersebut masih grambyang.

Namun, beberapa pertimbangan lain menawarkan agar PMII, kembali lagi dipangkuan NU. Setelah NU keluar dari partai politik, NU benar-benar membutuhkan PMII sebagai sayap organisasi. Peranan Mahasiswa yang kala nalar kritisnya itu jadi pendorong organisasi, sangat dibutuhkan NU untuk menjemput satu abad usianya.

Dirasa begitu kering, ketika PMII tidak hadir atau syukurnya bisa masuk kembali ke dalam struktural NU. Menilik gubahan Gus Dur dengan judul PMII dan prioritas program NU (1991), seakan-akan mengingatkan kembali kader PMII seyogiyanya harus bisa berkontribusi lebih kepada NU.

Apakah memang, kontribusi PMII kepada NU harus melalui dependensi organisasi? Ataukah kita sedang diombang-ambingkan pelbagai kepentingan ketika kursi panas PBNU selalu diperebutkan? Ataukah mereka terbelenggu oleh rasa ketidakpercayaan diri kita sebagai kader dan anggota PMII?

PMII perlu sekali menyikapi hal ini secara serius. Pasalnya anggapan untuk kembali pada banom NU, memiliki pelbagai relevansi salah satunya kontribusi lebih ketika masuk dalam sistem. Namun, bagi Michel Faucoult pada “Discipline and Punishment,” kekuasaan bukan hanya dinilai pada aspek struktural saja, akan tetapi wacana lah sebagai kekuasaan itu sendiri. Maka, sudah selaiknya kader dan anggota juga perlu merenung agar menguatkan kualitas pribadi mereka sebagai bagian dari NU, untuk bersama-sama dalam menyongsong satu abad NU lebih baik, bukan saja hanya dinilai pada retorika politik bersifat praktis.

Sumber:

Alfas, Fauzan. 2006. PMII dalam simpul-simpul sejarah perjuangan. Jakarta: Pengurus Besar (PB) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

Priyono, Joko. 2021. Transformasi Keempat PMII. Surakarta: Buku Revolusi

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.