Kamis, April 25, 2024

Menyemarakkan Kembali Agama yang Kosmopolitan

Abd. Rasyid
Abd. Rasyid
Studi Agama-Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Perkembangan pesat era modern menjadi pekerjaan besar kaum agamawan untuk menghadirkan wajah agama dalam wujud yang lebih segar dan kontekstual. Tuntutan kontekstualisasi tersebut bertujuan agar agama tetap eksis dan berdialog dengan realitas secara produktif dan progresif.

Agama akan kehilangan peminatnya jika ia terus-menerus tampil dalam wujud jumud, stagnan, dan tidak mempunyai semangat untuk menyongsong masa depan. Rentetan kasus kekerasan yang berdalih atas nama agama, menjadi bagian dari bukti bahwa masih banyak kaum agamawan yang merasa alergi dengan produk-produk kemodernan, baik dalam hal sistem, pemikiran, ataupun hal-hal korelatif lainnya.

Merasa alergi terhadap polarisasi kehidupan era modern, yang kemudian diakhiri dengan tindak kekerasan, menunjukkan bahwa pertumbuhan diseminasi moderasi beragama di Indonesia tidak sepenuhnya menjamin absennya pelanggaran atas nama agama. Laporan yang dirilis Setara Institute sebagai misal mencatat bahwa sepanjang 2022 terdapat 175 pelanggaran yang bermotif agama, atau lebih tepatnya kebebasan beragama, dengan akumulasi kasus sebanyak 333 tindakan. Kekerasan pada tahun itu meningkat jika dibanding dengan kasus kekerasan yang terjadi pada tahun sebelumnya (171 peristiwa/318 tindakan). Koersi tersebut memiliki motif berbeda-beda, mulai dari konflik rumah ibadah hingga penodaan agama.

Berkaca dari kasus-kasus di atas, semangat untuk mengorientasikan kembali moderasi beragama yang berbasis pada “kosmopolitanisme” harus terus dikawal. Kosmopolitanisme diperlukan berhubung sebagian umat cenderung menginterpretasikan sesuatu secara tekstualis-skripturalis tanpa memperhatikan unsur sosio-historisnya. Padahal tuntutan untuk memadupadankan antara kepercayaan yang bersifat normatif dengan ilmu pengetahuan yang bersifat operatif harus berjalan seimbang.

Nurcholish Madjid, cendikiawan muslim kenamaan, sering menekankan bahwa nilai fundamen keindonesiaan ketika ingin diterapkan secara rill harus dipijakkan pada semangat kosmopolitanisme, yaitu suatu tata pergaulan nasional yang terbuka dan merata kepada seluruh elemen masyarakat. Semangat kosmopolitanisme tersebut kemudian diklasifikasikan pada tiga bagian, yaitu pola pikir inklusif, menerima kemajemukan (pluralis), dan tidak melakukan tindakan diskriminatif (nir-kekerasan).

Pola Pikir Inklusif

Orang Islam kerap menjustifikasi dirinya sebagai umat terbaik. Mereka memandang Islam sebagai satu-satunya jalan yang nantinya dapat membawa keselamatan. Cara berpikir demikian tentu tidak salah, selama dalam proses perkembangannya mereka siap untuk terus dikoreksi dan menerima masukan.

Problemnya, tidak sedikit umat Islam di Indonesia justru berpikir terbalik. Isu utama yang kerap mereka kampanyekan adalah penerapan hukum Islam secara kaffah (total). Hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa kelompok ini hanya berpacu pada “kebenaran” Islam saja, sementara yang lain sengaja dieksklusikan.

Sikap dan tindakan beragama dengan model demikian tentu terlalu simplistik, keras, dan eksklusif. Padahal, seperti yang ditegaskan Abdulaziz Sachedina, dalam banyak hal Islam senantiasa menempuh jalan tengah (wasath) untuk memecahkan setiap problem, membawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin), serta menampilkan wajah kosmopolitanismenya yang inklusif (Sachedina, 2013).

Pola pikir inklusif merupakan pemikiran yang bersifat open minded, siap menerima ide-ide baru, sekalipun harus berbeda dengan pemahamannya sendiri. Inklusif menunjukkan kepada individu bahwa kebenaran harus terus dicari dan dikaji. Tidak ada kebenaran absolut, karenanya ia bersifat relatif tergantung pada subjek yang mengkajinya.

Pemikiran inklusif juga memberikan pelajaran bahwa individu tidak akan luput dari kesalahan, yang senantiasa membutuhkan koreksi dari individu lainnya. Dengan koreksi, kekuatan antar individu akan mampu memberikan referensi terus-menerus yang dapat menghadang hegemoni kebenaran disatu pihak dan kekeliruan dipihak lain. Keterbukaan pemikiran yang bersifat kosmopolitan akan membuka jalan sekaligus kekuatan baru bagi kerja kemanusiaan yang lebih bersifat kolektif, egaliter, dan emansipatoris.

Pluralis    

Fokus pluralisme pada diskursus ini adalah ditekankan pada konteks sosio-politis. Pluralisme pada konteks ini berarti, kepercayaan bahwa adalah mungkin dan baik bagi banyak kelompok rakyat yang berbeda hidup damai dalam kehidupan masyarakat (A.S. Hornby: 2000).

Beragamanya suku, ras, budaya, dan agama yang tumbuh di Indonesia, menunjukkan bahwa pluralitas adalah keniscayaan hakiki yang harus disikapi dengan bijak. Bijak dalam artian, bisa menghilangkan sikap fanatisme atau tribalisme kesukuan yang terlalu berlebihan.

Kosmopolitanisme dimaksudkan sebagai jalan alternatif untuk menyikapi pluralitas secara kreatif, yang kemudian dikonkretkan dengan lahirnya sikap tenggang rasa, gotong royong, kebersamaan dan kekeluargaan. Di Indonesia sendiri, penghargaan tertinggi terhadap pluralitas itu menemukan pijakannya pada semboyan yang diintroduksi oleh Empu Tantular, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang kemudian diinterpretasikan sebagai kesatuan dalam keberagaman (unity in diversity).

Nir-kekerasan

Kekerasan biasanya bermula pada ketidaksanggupan diri untuk menghadapi realitas. Ia merasa frustasi karena tidak mampu berdialog secara rasional. Hilangnya pemikiran yang rasional itu pada tahap lebih ekstrem akan mengganggu jiwa seseorang, yang kemudian berpuncak pada kekerasan fisik.

Doktrin-doktrin yang termuat dalam ajaran agama sendiri tentu bersifat netral; bergantung pada siapa yang menginterpretasikannya. Pada momentum tertentu ia bisa mengedepankan perdamaian yang sesuai dengan koridor kemanusiaan yang bersifat universal, tetapi pada saat bersamaan ia juga bisa hadir dalam wujud kekerasan. Sebabnya, kekerasan yang mengatasnamakan agama tidak dapat dipahami bahwa ia memang benar-benar ajaran agama.

Kosmopolitan hadir untuk memberikan jalan keluar yang lebih solutif, dengan konsep dialog nir-kekerasan. Dalam diskursus tentang keislaman, dialog itu diistilahkan dengan syura (musyawarah), dengan musyawarah, setiap persoalan tentu bisa dicarikan solusinya secara bersama, tanpa harus berakhir dengan kontak fisik.

Untuk bisa mewujudkan sikap moderat dalam beragama, pola pikir kosmopolitanisme harus terus didesimenasikan. Hal ini dimaksudkan agar kita bisa memahami ekses-ekses dan fenomena-fenomena kontemporer berdasarkan pada makna substantifnya, bukan hanya pada stereotip, labelling, dan stigma negatif yang tak berdasar.

Pemikiran inklusif akan melahirkan tatanan masyarakat pluralis yang kulminasinya terwujud dengan pola hidup humanis nir-kekerasan. Tiga ide pokok tersebut merupakan entitas utuh, yang menjadi gerbong awal untuk menuju tangga masyarakat moderat, agamis, sekaligus tidak anti pada yang sang liyan.

Karena menyangkut urusan agama dan kehidupan manusia secara universal, pengarusutamaan (mainstreaming) “kosmopolitanisme” tentu tidak hanya berlaku untuk pembelajaran formal seperti dibangku sekolah, pesantren, atau universitas saja. Ia harus didiseminasikan pada semua altar. Moderasi beragama akan terwujud jika antar umat beragama berusaha saling memahami dan mengapresiasi; tidak mendaku bahwa yang moderat lebih baik dari yang konservatif, ataupun sebaliknya.

Harus diakui bahwa relasi umat beragama memang tidak diikat oleh background keimanan (habl min al-imān) yang sama. Namun demikian, mereka dapat menemukan simpul ikatan yang lebih luas dan universal, yaitu ikatan kemanusiaan (habl min al-nās). Nilai-nilai kemanusiaan itulah yang harus diletakkan di atas segalanya, termasuk dari agama sekalipun (humanity above religion)

Atas dasar itu, dalam upaya mewujudkan konsep moderasi beragama yang gencar disuarakan Kemenag, tidaklah cukup kiranya bila kita hanya berpacu pada sikap moderat yang semu; seolah-olah moderat padahal aslinya masih anti pada yang lain. Lebih penting daripada moderasi, “kosmopolitanisme beragama” yang telah lama digemakan oleh dua patron keislaman bangsa ini, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, menjadi penting berhubung di dalamnya mengandaikan pembebasan doktrin-doktrin agama dari segala sesuatu yang membawa kepada pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

 

 

 

 

 

Abd. Rasyid
Abd. Rasyid
Studi Agama-Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.