Minggu, Oktober 26, 2025

Menyapa Wahyu dengan Kesadaran Zaman

Jaka Ghianovan
Jaka Ghianovan
Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center Research of Islamic Studies (CRIS) Foundation. Pecinta Studi al-Qur`an, ilmu Sosial dan Sejarah Islam juga Indonesia. Penikmat kopi susu dan travelling. Dosen di perguruan tinggi Islam kota Tangerang.
- Advertisement -

Ketika manusia modern menghadapi kompleksitas sosial, ketimpangan ekonomi, konflik identitas, hingga krisis moral global, pertanyaan yang terus muncul adalah: bagaimana al-Qur’an dapat tetap menjadi pedoman hidup yang relevan bagi manusia kini? Pertanyaan ini menjadi inti dari upaya para pemikir Islam modern untuk menafsirkan al-Qur’an tidak hanya sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai teks sosial—teks yang hidup, berbicara, dan bergerak bersama manusia. Di sinilah konsep hermeneutika sosial dan tafsir kontekstual menemukan titik pertemuan pentingnya.

Dari Hermeneutika ke Hermeneutika Sosial

Secara etimologis, “hermeneutika” berarti seni memahami (art of understanding). Dalam tradisi Barat, hermeneutika berkembang dari sekadar metode memahami teks ke arah filsafat pemahaman itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur. Namun dalam konteks sosial, hermeneutika tidak berhenti pada teks, melainkan bergerak ke arah struktur dan praksis sosial manusia (Ricoeur, 1981).

Hermeneutika sosial lahir dari kesadaran bahwa teks tidak pernah berdiri sendiri. Ia diciptakan, dibaca, dan ditafsirkan dalam ruang sosial yang sarat kepentingan, kekuasaan, dan pengalaman manusia. Jürgen Habermas menegaskan bahwa memahami teks berarti juga membebaskan manusia dari bentuk komunikasi yang terdistorsi oleh dominasi sosial (Habermas, 1984). Dengan demikian, hermeneutika sosial bukan hanya upaya intelektual, tetapi juga upaya emansipatoris—membebaskan kesadaran manusia melalui pemaknaan yang kritis terhadap realitas.

Dalam konteks keislaman, hermeneutika sosial diterjemahkan sebagai upaya menafsirkan wahyu dengan kesadaran sosial dan historis. Nasr Hamid Abu Zayd menolak pandangan bahwa al-Qur’an adalah teks yang beku dan ahistoris. Baginya, al-Qur’an merupakan “produk interaksi antara teks ilahi dan konteks manusiawi” (Abu Zayd, 1990). Maka, setiap pembacaan al-Qur’an sesungguhnya juga merupakan pembacaan terhadap masyarakatnya sendiri.

Tafsir Kontekstual: Gerak Ganda antara Teks dan Realitas

Dalam tradisi Islam, tafsir telah memiliki sejarah panjang. Dari tafsir klasik yang tekstual dan linguistik hingga tafsir modern yang sosiologis dan historis. Di antara tokoh sentral dalam perkembangan tafsir modern adalah Fazlur Rahman, dengan gagasan besarnya tentang “gerak ganda” (double movement) dalam memahami al-Qur’an (Rahman, 1982).

Menurut Fazlur Rahman, proses memahami al-Qur’an harus dilakukan melalui dua gerakan:

  • Dari konteks historis menuju prinsip moral universal. Artinya, kita perlu menelusuri latar sosial-historis ayat untuk memahami maksud universalnya.
  • Dari prinsip universal kembali ke konteks masa kini. Prinsip moral itu kemudian diaktualisasikan dalam kondisi sosial modern.

Sebagai contoh, ayat-ayat tentang perbudakan tidak bisa lagi diterapkan secara literal hari ini. Namun prinsip moral di baliknya—yakni penghormatan terhadap martabat manusia dan kebebasan—tetap berlaku. Di sinilah tafsir kontekstual bekerja: ia menjaga ruh al-Qur’an agar tetap hidup dalam zaman yang berubah.

Pendekatan semacam ini juga dikembangkan oleh Abdullah Saeed (2006), yang menekankan pentingnya “tafsir berbasis maqasid”—yakni penafsiran yang berorientasi pada tujuan moral al-Qur’an, bukan hanya bentuk lahir teks. Dengan cara ini, al-Qur’an menjadi petunjuk moral dan sosial yang dinamis, bukan sekadar dokumen hukum yang kaku.

Ketika Hermeneutika Sosial Bertemu Tafsir Kontekstual

Baik hermeneutika sosial maupun tafsir kontekstual memiliki tujuan epistemologis yang sama: menautkan wahyu dengan realitas manusia. Jika hermeneutika sosial menekankan peran pembaca dan masyarakat, maka tafsir kontekstual menekankan peran sejarah dan tujuan moral teks. Keduanya saling melengkapi dalam menjawab tantangan zaman.

Dalam praktiknya, tafsir sosial-kontekstual menuntut mufasir untuk tidak berhenti pada bunyi teks (tekstualitas), tetapi menelusuri “pesan moral sosial” di balik teks. Misalnya, ketika menafsirkan surat al-Ma‘ūn, Hamka (1983) tidak hanya membaca ayat itu sebagai celaan terhadap individu yang enggan menolong anak yatim, tetapi juga sebagai kritik sosial terhadap kemunafikan struktural—yakni sistem sosial yang menindas kaum lemah dengan legitimasi agama.

- Advertisement -

Demikian pula dalam tafsir al-Balad, Hamka menjelaskan konsep ‘aqabah sebagai perjuangan moral dan sosial untuk membebaskan manusia dari penderitaan, yang dalam konteks modern dapat dimaknai sebagai perjuangan melawan kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial. Ini sejalan dengan gagasan hermeneutika sosial bahwa teks agama harus menjadi energi pembebasan bagi manusia (Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 30).

Membaca al-Qur’an dengan Kesadaran Sosial

Membaca al-Qur’an melalui hermeneutika sosial berarti menyadari bahwa setiap pembacaan adalah juga tindakan sosial. Penafsir tidak netral. Ia membawa nilai, kepentingan, dan konteks yang memengaruhi hasil tafsirnya. Karena itu, Amin Abdullah (2006) mengusulkan pendekatan integratif-interkonektif, yang menggabungkan ilmu agama dan ilmu sosial-humaniora dalam membaca teks wahyu.

Pendekatan ini membuka ruang dialog antara tafsir klasik yang berbasis naqli (wahyu dan tradisi) dan ilmu sosial modern yang berbasis ‘aqli (rasionalitas dan empiris). Dengan demikian, tafsir tidak lagi menjadi monolog antara mufasir dan teks, tetapi dialog antara teks, konteks, dan realitas sosial.

Kita bisa melihat aplikasinya dalam tafsir-tematik (maudhū‘ī) tentang isu-isu kemanusiaan:

  • Ayat-ayat ekologi dibaca sebagai seruan menjaga keseimbangan alam.
  • Ayat-ayat ekonomi dimaknai sebagai dorongan membangun keadilan distributif.
  • Ayat-ayat gender ditafsirkan dalam kerangka kesetaraan dan kemitraan manusia.

Pendekatan ini membuat al-Qur’an tetap relevan, bukan karena ia mengikuti zaman, tetapi karena ia memandu zaman dengan nilai-nilai universalnya.

Dari Tafsir ke Aksi Sosial

Hermeneutika sosial dan tafsir kontekstual pada akhirnya tidak berhenti pada tataran teoritis. Keduanya mengandung implikasi praksis yang besar: bagaimana pesan al-Qur’an diterjemahkan ke dalam aksi sosial nyata.

Ketika seorang Muslim membaca ayat tentang ‘adl (keadilan), hermeneutika sosial mengingatkannya bahwa keadilan bukan hanya nilai pribadi, tetapi juga sistem sosial. Membaca ayat tentang zakat tidak sekadar kewajiban ritual, tetapi agenda distribusi kesejahteraan. Bahkan membaca ayat tentang ummah wahidah mengandung seruan untuk membangun solidaritas lintas identitas.

Dengan demikian, tafsir al-Qur’an tidak hanya menghasilkan pengetahuan (knowing), tetapi juga tindakan (doing) dan perubahan sosial (transforming). Seperti ditegaskan oleh Fazlur Rahman, “Tujuan akhir tafsir bukan hanya memahami al-Qur’an, tetapi menghidupkan nilai-nilainya dalam masyarakat.” (Rahman, 1982).

Hermeneutika sosial dan tafsir kontekstual adalah dua pendekatan yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Keduanya mengajarkan bahwa memahami wahyu bukan sekadar urusan menafsirkan kata, tetapi menghidupkan makna dalam dunia nyata. Sebagai penutup, hendaklah kita merefleksikan kembali surat al-Balad ayat 12-13 sebagai landasan aksi moral menengakkan keadilan. Wallahu A’lam

Jaka Ghianovan
Jaka Ghianovan
Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center Research of Islamic Studies (CRIS) Foundation. Pecinta Studi al-Qur`an, ilmu Sosial dan Sejarah Islam juga Indonesia. Penikmat kopi susu dan travelling. Dosen di perguruan tinggi Islam kota Tangerang.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.