“Young people are the architects of tomorrow’s economy.”
(World Economic Forum, 2020)
Sektor wirausaha memegang peranan penting sebagai motor penggerak dalam pembangunan ekonomi sebuah negara. Tak hanya mampu menyerap tenaga kerja, tetapi juga berkontribusi secara langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat, memperkuat daya beli, dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara masif. Mengacu pada data Kemenkop UKM, sektor ini memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB, yaitu sekitar 61,1%.
Ironisnya, jumlah pengusaha di Indonesia berbanding terbalik dengan dampak positif yang dihasilkan. Bahkan, data dari BPS (2022) mencatat bahwa persentase pemuda berusia 16-30 tahun yang terlibat dalam kegiatan kewirausahaan di Indonesia hanya sekitar 12,6%, jauh lebih rendah dibandingkan keterlibatan mereka di sektor formal. Kesenjangan ini benar-benar sebuah ironi mengingat peran pemuda yang seharusnya menjadi motor inovasi dan pertumbuhan ekonomi, justru mangkrak.
Mengapa Ada Ketakutan Wirausaha pada Pemuda?
Salah satu faktor penghambat keterlibatan pemuda berdasarkan survei Youth Business International (2022) adalah rasa cemas akan kegagalan dan stigma sosial. Terutama usaha kecil menengah yang sering kali dilabeli sebagai pekerjaan kurang prestise, dibandingkan dengan karir formal yang dianggap lebih stabil. Belum lagi kritik orang terdekat jika usaha tersebut tidak linier dengan latar belakang pendidikan. Seolah bangku kuliah tak mampu mencetak pekerjaan yang sejalan. Wajar jika banyak pemuda ragu untuk mencoba peluang di luar bidang studi mereka.
Jika dikupas lebih dalam, semua keraguan akan stigma tersebut sebenarnya berakar dari ketakutan akan kegagalan (fear of failure). Sebuah kondisi di mana seseorang terkungkung dalam beragam pertimbangan, takut mengambil risiko, apalagi bergerak menuju inovasi. Studi dari Kollmann et al. (2017) berjudul Fear of Failure in Entrepreneurship menyebutkan bahwa ketakutan ini sering kali terkait dengan tekanan sosial dan budaya, terutama di masyarakat yang menilai kegagalan sebagai sesuatu yang memalukan, bukan bagian dari proses pembelajaran.
Hal itulah yang akhirnya menyumbat aliran minat wirausaha para pemuda. Bahkan sudah dipupuk sejak pola asuh orang tua hingga sistem pendidikan yang memprioritaskan hasil daripada proses. Banyak anak dan remaja di Indonesia dibesarkan dalam lingkungan yang menekankan pentingnya nilai akademis tinggi tanpa memberikan ruang untuk eksplorasi dan kesempatan untuk gagal.
Dalam istilah psikologi pendidikan, hal ini dikenal sebagai performance-oriented approach, di mana individu dinilai berdasarkan hasil akhirnya saja. Pendekatan ini membuat pemuda cenderung menghindari tantangan yang dianggap dapat mengancam reputasi dan mencoreng citra. Sehingga curiousity dan learning-oriented approach menjadi sesuatu yang mahal harganya. Kita tidak tumbuh dengan paradigma pentingnya pembelajaran berkelanjutan.
Growth Mindset: Pilar Utama dalam Mengatasi Ketakutan
Pemuda tidak bisa selamanya terjebak dalam pola pikir stagnan, yang memandang kegagalan sebagai akhir dari perjalanan, bukan peluang pembelajaran. Untuk menghadapi dinamika dunia usaha, pemuda harus berani menghadapi ketakutan untuk memulai, merubah pola pikir yang mendukung pertumbuhan, mentalitas yang kokoh, dan sudut pandang ke arah growth mindset.
Konsep growth mindset dicetuskan oleh Carol Dweck (2006), seorang psikolog di Stanford University. Ia mengungkapkan bahwa individu dengan growth mindset adalah orang yang percaya bahwa kemampuan mereka dapat berkembang melalui dedikasi dan kerja keras. Sebaliknya, individu dengan fixed mindset cenderung percaya bahwa kemampuan mereka bersifat bawaan dan sulit untuk diubah.
Dalam konteks kewirausahaan, growth mindset dapat membantu mengurangi efek melumpuhkan dari fear of failure yang sering menjadi tembok penghalang untuk maju. Penelitian oleh Haimovitz & Dweck (2017) menunjukkan bahwa individu dengan growth mindset lebih kuat terhadap tekanan, mereka mampu bangkit dari kegagalan karena fokus pada pembelajaran dan perbaikan.
Sebagai contoh, Budi seorang pemuda berusia 25 tahun. Ia memulai usaha menjual es kopi di sebuah warung kecil. Awalnya, Budi yakin dengan potensi bisnisnya karena tren minun kopi yang sedang populer. Namun, setelah tiga bulan berjalan, ia harus menutup usahanya akibat minimnya peminat. Setelah dievaluasi, Budi menyadari bahwa kegagalannya disebabkan oleh kurangnya riset pasar, produk yang ia jual tak sesuai dengan selera konsumen dan daya beli masyarakat setempat.
Alih-alih menyerah, Budi memutuskan untuk belajar dari kesalahan tersebut. Ia mengikuti pelatihan kewirausahaan tentang pentingnya segmentasi pasar. Dengan pengetahuan baru, Budi meluncurkan kembali bisnisnya dengan konsep yang lebih sederhana, yaitu es kopi kemasan plastik dengan harga terjangkau. Kali ini, Budi berhasil menarik perhatian pelanggan dan membangun basis konsumen yang loyal.
Hal itu membuktikan bahwa kegagalan pertama bukanlah hasil akhir, melainkan pijakan penting menuju sukses di masa depan. Seorang dengan growth mindset tidak akan berhenti pada satu kesimpulan, tetapi justru akan menggunakan kesalahan untuk memperbaiki langkah ke depan.
Pola Kontribusi Pemuda dengan Growth Mindset
Indonesia memiliki bonus demografi yang memberikan keuntungan berupa dominasi penduduk usia produktif. Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2022, pemuda usia 15-30 tahun merupakan salah satu kelompok terbesar dalam struktur penduduk. Dengan potensi tersebut, pemuda memainkan peran sentral yang bisa menciptakan perubahan.
Kabar baiknya, ketika growth mindset tertanam sebagai pola pikir pemuda di Indonesia, mereka akan lebih siap untuk menghadapi tantangan, termasuk dari segi ekonomi. Dalam sektor wirausaha, pemuda dengan growth mindset cenderung lebih inovatif, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan pasar.
Dengan beragam kapabilitas terutama dalam bidang teknologi, pemuda bisa berlari lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya. Sehingga dalam jangka panjang, hal ini akan memperkuat fondasi ekonomi nasional yang inklusif dan berdaya saing tinggi.
Maka seperti yang diucapkan pendiri bangsa ini, “beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Kata-kata ini menggambarkan keyakinan Bung Karno bahwa pemuda memiliki energi, semangat, dan potensi luar biasa untuk membawa perubahan besar. Pemuda sebagai tulang punggung negara adalah pewaris cita-cita perjuangan yang akan mengubah nasib bangsa.