Jumat, Maret 29, 2024

Menjawab Tulisan Ben Otto dan Anita Rachman Soal Cambuk di Aceh

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)

Beberapa hari ini saya mencermati tulisan salah seorang kontributor WSJ (Wall Street Journal) bernama Anita Rachman yang bersama Ben Otto menulis artikel berjudul “Indonesian Christians Flogged in Rare Sharia Punishment for Non-Muslim”. Artikel ini ditulis mengenai dua orang yang dijatuhi hukuman cambuk karena berjudi di Aceh.

Mari kita pahami terlebih dahulu bahwa Aceh adalah salah satu dari dua provinsi berstatus otonomi khusus yang menggunakan syariat Islam dalam peraturan daerahnya. Salah satu peraturan yang dilarang keras adalah tindakan mesum, minuman keras dan bermain judi.

Jika menggunakan logika Immanuel Wallerstein dalam bukunya The Rhetoric of Power, dalam sebuah wilayah yang dipimpin oleh umat Islam, umat beragama lain pasti diperbolehkan untuk memeluk agamanya masing-masing dan tidak diusik peribadatannya, namun jika berkenaan dengan norma-norma universal atau peraturan tertulis, maka wajib hukumnya semua penduduk dari berbagai macam agama dan aliran menaatinya.

Entah bagaimana, kita tahu bahwa di Indonesia sendiri, perjudian bukan lah sesuatu yang legal atau diperbolehkan. Keberadaan perjudian sendiri merupakan sesuatu yang tabu bagi masyarakat Indonesia, jarang sekali akan kita temukan orang berjudi dengan terbuka dan mengaku bahwa dirinya merupakan penjudi ulung, apalagi ada profesi sebagai seorang penjudi.

Jadi, singkatnya, judi memang tidak pantas dilakukan di Indonesia. Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada pasal 303 BIS mengancam hukuman penjara 4 tahun. Bahkan dalam pandangan nasional sendiri, hukum tidak memperbolehkan berjudi dan ada sanksi secara jelas bagi yang melanggar, lalu apa yang dipermasalahkan oleh Bu Anita dan Pak Ben?

Mungkin yang dimaksudkan adalah metode hukuman yang berupa cambukan? Untuk itu, kembali kepada paragraf dua, bahwasanya harus dipahami, Aceh merupakan daerah otonomi khusus, mereka punya hak-hak tersendiri dalam menentukan peraturan perundangannya, biasanya disebut sebagai Peraturan Daerah, Pak dan Bu.

Untuk itu, menggunakan logika Wallerstein, jika masyarakat Aceh sudah sepakat untuk melaksanakan “Strict Sharia Law” atau Aturan Syariah yang ketat, itu adalah pilihan mereka, dan siapapun yang berdomisili di Aceh seharusnya menaatinya, tanpa terkecuali.

Jika memang tidak sepakat dengan keberadaan hukuman semacam itu, maka ajukan Judicial Review terhadap peraturan daerah terkait kepada Mahkamah Agung. Dan jika tidak setuju dengan UU Nomor 81 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus di Daerah Istimewa Aceh silakan ajukan Judicial Review untuk UU terkait kepada Mahkamah Konstitusi.

Permasalahan lain yang ingin saya luruskan lagi adalah pada kalimat “as the country shifts toward a more politicized brand of the religion associated with Middle East”. Penggunaan kata ‘Country’ yang dalam bahasa Indonesia berarti negara, maka dari itu, para penulis artikel tersebut melakukan penyamarataan bahwa Indonesia menerapkan aturan syariah Islam di seluruh provinsinya dalam bentuk peraturan daerahnya atau menuju ke arah sana.

Jadi, menggunakan satu contoh penerapan hukuman syariah dan melakukan penyamarataan untuk semua daerah di Indonesia. Sejauh yang saya ketahui, hanya Aceh yang menerapkan Hukum Syariah Islam dengan ketat, terutama seperti hukuman cambuk. Hampir susah menemukan hukuman semacam itu di provinsi lainnya.

Kepada penulis artikel yang terhormat, beberapa penulisan artikel atas nama kalian (terutama Bu Anita) juga memuat judul yang kerap menyudutkan umat Islam. Saya hanya tidak sepakat dengan bagaimana dalam beberapa artikel tertulis kata Muslim dan Islam layaknya kelompok Muslim merupakan mayoritas yang sulit menerima keberadaan kelompok lain. Saya yakin, masih banyak kebaikan di dunia ini yang layak dituliskan, Bapak dan Ibu sekalian.

Melalui penyampaian berita (atau lebih tepatnya opini) dengan gaya yang disampaikan Bapak dan Ibu sekalian mengundang pandangan yang semakin memojokkan umat Islam dan menyebar juga mengabarkan berita yang menggiring opini publik kepada ranah Islamophobia.

Penggunaan kata Non-Muslim sejatinya mengandung unsur SARA, meskipun berkilah dengan dalil menyampaikan kebenaran bahwasanya mereka tidak beragama muslim, ini bukan permasalahan muslim atau non-muslim, namun tindakan yang melawan peraturan.

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.