Dalam salah satu Bab pada bukunya yang berjudul Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (1991), Kuntowijoyo memaparkan tentang Serat Cebolek, sebuah dokumen yang ditulis pada tahun 1892. Serat Cebolek bercerita soal konflik antara kaum ulama dengan kaum priyayi.
Yang dimaksud dengan kaum priyayi di sini adalah mereka para penghulu yang menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Lebih jauh, Kuntowijoyo mengutip Heather Sutherland yang dalam The Making of Bureaucratic Elite menambahkan bahwa para penghulu sudah terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan sejak abad ke-19.
Oleh karena itulah maka mereka (penghulu) dimasukkan sebagai golongan priyayi. Sedangkan kaum ulama yang dimaksud di sini adalah mereka para kiai dan haji yang aktif menangani urusan sosial keagamaan di wilayah pedesaan.
Ada dua konflik yang diangkat dalam Serat Cebolek. Yang pertama ada konflik antara Haji Mutamakkin dengan Ketib Anom dari Kudus. Lalu yang kedua antara Haji Rifai dengan Haji Pinang, seorang penghulu dari Batang.
Dalam dua kasus yang diangkat pada Serat tersebut, posisi Haji Mutamakkin dan Haji Rifai adalah sebagai penjahat (bad actor), dan sebaliknya, Ketib Anom dan Haji Pinang adalah pahlawannya. Kuntowijoyo mengangkat serat ini sebagai bagian dalam tinjauan beliau soal ketegangan antara Islam dan birokrasi. Serat Cebolek disebut oleh Kuntowijoyo sebagai salah satu mitos pembangkangan Islam.
Serat Cebolek ini adalah bentuk usaha kaum priyayi untuk menekan pengaruh kiai desa. Serat ini sukses menampilkan wajah-wajah para haji tersebut dalam sosok yang buruk. Hal ini tentu saja akan berpengaruh kepada penilaian masyarakat terhadap para kiai yang sudah dicap bersalah tersebut. Sehingga bisa dikatakan bahwa Serat Cebolek berhasil memenuhi fungsinya sebagai media propaganda kaum priyayi saat itu.
Bandingkan dengan masa kini. Media saat ini sudah tidak hanya berupa dokumen tertulis seperti pada abad ke-19 ketika Serat Cebolek dilahirkan. Kini media sudah bertransformasi ke dalam berbagai wujud, dari mulai buku, tabloid/majalah, radio, televisi hingga internet. Tiap hari, bahkan tiap menit kita dijejali beragam informasi. Zaman sekarang sudah pasti tidak ‘seprimitif’ zaman ketika Serat Cebolek hadir.
Di tengah maraknya isu-isu dan informasi yang hadir, tentu kita harus bijaksana dalam memilah-milah mana yang layak kita baca. Di sini dituntut peran aktif seorang pembaca.
Beberapa waktu yang lalu sedang ramai dibicarakan soal media yang hanya mementingkan profit tanpa memperhatikan kaidah dan kode etik jurnalisme. Media ini disebutkan sering mengusung judul berita yang terlihat bombastis demi untuk mengeruk klik (duit). Judul berita kadang – atau bahkan sering – tidak nyambung dengan isi berita. Yang terjadi kemudian adalah bahwa kita menuntut media-media tersebut untuk bisa menghadirkan artikel atau berita yang berbobot, sarat dengan data pendukung dan bermanfaat untuk kita konsumsi.
Faktanya adalah bahwa seharusnya, di samping kita menuntut hal tersebut, selayaknya kita sebagai pembaca menempatkan diri sebagai pembaca yang pintar. Hendaknya kita mampu untuk menyeleksi mana berita-berita yang kurang layak untuk kita konsumsi, mana berita yang lemah kebenarannya dan nihil data, mana berita hoax atau sampah.
Problem pembaca masa kini adalah kegagapan dalam menelaah sebuah berita yang dibaca. Alih-alih berusaha untuk menggali lebih jelas lagi perihal berita yang didapat, seorang pembaca kadang hanya menjadikan satu media sebagai acuannya dan malas untuk mencari referensi demi untuk membuktikan kebenaran berita tersebut.
Bahkan kerap kali substansi atau gagasan yang disampaikan lewat sebuah artikel tidak mampu dicerna dengan baik oleh para pembacanya.
Masyarakat Desa Cebolek harus menelan mentah-mentah segala apa yang dituangkan dalam Serat Cebolek. Lewat 31 syair yang didesain dalam gaya Macapat (salah satu bentuk puisi jawa), rakyat harus tahu bahwa Haji Mutamakkin itu genthong-umos, yakni orang yang congkak dengan mulut besar. Rakyat harus paham bahwa orang yang sama adalah sosok yang mirip dengan cantrik Wisangkata, seorang bajingan-tengik yang curang.
Kuntowijoyo menyebut bahwa penulis Serat ini betul-betul sukses menumpahkan seluruh perbendaharaan peyoratif-peyoratif jawa. Ini terlihat pada bagian di mana Haji Rifai dikatakan sebagai orang yang candala (berperangai buruk), deksura (tak tahu sopan santun dan kasar), diriya (egois), nyrengungus (usil pada perkara-perkara remeh tapi melupakan persoalan inti) dan ungkapan-ungkapan jelek lainnya.
Tak ada yang bisa dilakukan masyarakat saat itu untuk mencari kebenaran hal-hal tersebut. Mereka dipaksa untuk mengunyah narasi yang disampaikan bahwa Haji Mutamakkin telah melanggar syariat dan membawa aliran sesat.
Andaikan mereka berumur (sangat) panjang, mereka bisa menemukan telaah dari sisi lain seperti yang disampaikan oleh Zainul Milal Bizawie dalam bukunya Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural Agama Rakyat. Zainul menyimpulkan bahwa penulisan Serat Cebolek merupakan proyek keraton dalam membentuk konstruksi kebudayaan dan keberagaman Islam Jawa. Dalam hal ini, pemunculan tokoh martir yang dianggap sesat menjadi hal yang pantas.
Kita diberkahi dengan kemajuan teknologi sehingga mampu berbuat lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat Desa Cebolek. Kita memiliki akses penuh ke banyak kanal yang menghadirkan informasi dan data terkini.
Alih-alih menelan mentah-mentah berita yang dibaca, terutama artikel yang cenderung menyudutkan pihak tertentu macam Serat Cebolek, seharusnya kita bisa lebih bijak dalam membaca dan menyeleksi berita tersebut, termasuk mampu untuk menguji kebenarannya. Sudahkah kita termasuk tipikal pembaca seperti itu?