Jumat, April 26, 2024

Menjadi Madinah Al-Munawaroh dengan Pancasila

MK Ridwan
MK Ridwan
Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, Awardee MAARIF Fellowship (MAF) MAARIF Institute for Culture and Humanity, Alumnus Qur'anic Studies IAIN Salatiga

Telinga kita seringkali mendengar ungkapan bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk, baik dari pluralitas budaya, suku, etnis, golongan dan agama. Bahkan ungkapan ini telah menjadi sebuah klise dan hampir tidak ada seorangpun menyangkalnya. Kebanyakan dari kita menyetujui bahwa ini merupakan suatu anugerah yang memperkaya khasanah kebudayaan di Indonesia.

Sebagai contoh, Indonesia memiliki berbagai ajaran agama, baik yang diakui oleh pemerintah seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu, maupun bentuk-bentuk kepercayaan lainnya yang bersifat lokal dan budaya. Keunikan ini tidak banyak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Ini menjadi hal yang berharga ketika dapat dikelola dengan baik, sesuatu yang bisa menampilkan keharmonisan kehidupan beragama adalah hal yang langka.

Namun, apakah kita juga menyadari bahwa pemahaman akan pluralitas tersebut bisa jadi salah dan menjadi rawan untuk menimbulkan konflik dan perpecahan. Apalagi konflik yang dilatarbelakangi oleh masalah sosial politik dan ekonomi yang didukung dengan sentimisme agama.

Tindakan atas nama agama adalah sesuatu yang berbahaya. Apalagi akhir-akhir ini peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi sering menggunakan jargon ataupun ayat-ayat agama sebagai alat penggerak massa. Ini seakan-akan agama dan Tuhan seringkali dipelintir dan dijadikan topeng bagi kepentingan seseorang, bukan bagi Tuhan yang memang tidak memerlukan semua hal itu.

Sehingga, kehadiran Tuhan dan agama sering kali membuat semua masalah menjadi ruwet dan sulit dipecahkan. Hal ini dapat diindikasikan oleh Abdul Munir Mulkhan bahwa, sebenarnya bukan agama atau Tuhan itu sebagai pemicu konflik, akan tetapi manusia yang sering mengangkat dirinya sebagai tuhan-tuhan.

Tindak kekerasan dalam berbagai bentuknya, menjadi fakta sosial yang terus menyelimuti sepanjang perjalanan hidup manusia. Ada berbagai bingkai dan kemasan yang dilakukan para pelaku tindak kekerasan, ada berbagai argumentasi apologetik yang dijadikan alibi para pelaku tindak kekerasan untuk menjadikan kekerasannya menjadi sesuatu yang dibenarkan.

Alasan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan, stabilitas politik, bahkan ada yang mengatasnamakan agama dan demi Tuhan, seseorang melakukan tindakan kekerasan, kejahatan dan terorisme.

Belajar dari Piagam Madinah dan Pancasila

Berkaitan dengan relasi antar manusia, Nabi telah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen, sebagaimana tertuang dalam piagam Madinah. Siti Musdah Mulia, menjelaskan mengenai lima pokok isi piagam Madinah.

Pertama, prinsip persaudaraan dalam Islam (ukhuwah Islamiyah), semua masyarakat Islam dari berbagai latar belakang dan dari berbagai suku pada hakikatnya bersaudara. Kedua, prinsip saling menolong dan melindungi, penduduk Madinah yang terdiri dari beragam suku, agama, dan bahasa harus saling membantu dalam menghadapi lawan. Ketiga, prinsip melindungi yang teraniaya, tanpa melihat perbedaan agama, suku dan lainnya. Keempat, prinsip saling kontrol (saling mengingatkan dalam kebaikan). Kelima, prinsip kebebasan dalam beragama.

Piagam Madinah, selain memuat unsur kebebasan dalam beragama, juga mengatur mekanisme hubungan antar pemeluk agama di kota Madinah. Aplikasi dari pengaturan hubungan antar pemeluk agama itu, antara lain terlihat dalam pasal-pasal berikut. Pasal 37 menjelaskan bahwa: orang-orang Muslim dan orang-orang Yahudi perlu bekerjasama dan saling menolong dalam menghadapi pihak musuh.

 Berikutnya, pasal 44 berbunyi: semua warga harus saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib. Kemudian, pasal 24 dinyatakan bahwa: kedua pihak; kaum Muslim dan Yahudi bekerjasama dalam menanggung biaya apabila mereka melakukan perang bersama. Terakhir, pasal 38 menyebutkan: seseorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya, dan orang yang teraniaya akan mendapat pembelaan.

Ketika kita menengok ke dalam negeri ini, ada sistem yang secara substansial sama dengan semangat Piagama Madinah, yaitu Pancasila dengan slogannya “Bhineka Tunggal Ika” yang merupakan pengajaran dan cerminan sikap toleransi tingkat tinggi. Di mana Negara Kesatuan Republik Indonesia acapkali didefinisikan sebagai bukan negara agama, bukan pula negara sekular, tetapi negara yang berdasarkan Pancasila.

Butir-butir Pancasila memuat unsur Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan, dan Keadilan. Kaitannya dengan sikap toleransi terhadap pluralitas yang terjadi dapat mengacu pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila ketiga “Persatuan Indonesia”.

Hal itu menunjukan bahwa setiap masyarakat Indonesia harus saling bersatu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di samping mengakui eksistensi setiap agama yang memiliki prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka hal ini sesuai dengan spirit Islam yang tertuang dalam Alquran ialah aspek moral yang titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial.

Pancasila memberikan pengajaran kepada masyarakatnya tentang bagaimana bersikap dengan baik tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang ada. Indonesia adalah Negara Kesatuan, semangat yang dibangun ialah semangat nasionalisme dan egalitarianisme, bukanlah primordialisme.

Dalam hal ini perlu diperhatikan beberapa catatan mengenai pancasila. Pertama, Negara Pancasila tidak mengenal “negara agama” atau “agama negara”. Ini menunjukan bahwa tidak ada pemisahan yang mutlak antara negara dan agama, dan bahwa negara tidak dapat campur tangan terhadap bidang-bidang yang menjadi bagian dari agama.

Kedua, Negara Pancasila melindungi dan mengayomi semua agama. Wujud dari pernyataan bahwa negara kita bukanlah negara agama dan sekular, adalah bahwa negara melindungi, mengayomi, memberi dukungan dan kesempatan serta bertindak adil terhadap semua agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Ketiga, Negara Pancasila memberi tempat pada kebebasan beragama. Sehingga kerukunan antar umat beragama harus dijunjung tinggi untuk menghindari konflik antar umat beragama. Keempat, Negara Pancasila memberi ruang bagi pembangunan rumah-rumah ibadah dan kegiatan peribadatan.

Begitupun dengan Islam yang merangkul semua agama tanpa mencampuri urusan internal masing-masing agama. Prinsip ini yang diterapkan Nabi Muhammad dalam membangun Negara Madinah dengan kesepakatan yang lebih dikenal dengan Piagam Madinah.

Islam juga tidak hanya membela kepentingan orang muslim semata, melainkan kepentingan rakyat secara keseluruhan, terutama membela hak-hak kaum lemah dan terpinggirkan. Maka dapat disimpulkan bahwa, ketika umat manusia mampu belajar dari Negara Madinah dan Negara Pancasila, tentu akan melahirkan kedamaian-kedamaian yang hadir dalam sendi-sendi umat beragama.

Oleh karena itu, momen Hari Kelahiran Pancasila (HKP) menjadi penting bagi rakyat Indonesia untuk berefleksi dan instropeksi diri, apakah semangat dan cita-cita Negara Pancasila telah terwujud? Atau minimal, arah perjuangan bangsa ini tidak melenceng dari tujuan Negara Pancasila.

MK Ridwan
MK Ridwan
Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, Awardee MAARIF Fellowship (MAF) MAARIF Institute for Culture and Humanity, Alumnus Qur'anic Studies IAIN Salatiga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.