Jumat, April 26, 2024

Menilik Perempuan dan Gosip dalam Film Bridgerton

N.M Dian N Luthfi
N.M Dian N Luthfi
Mahasiswi Fakultas Hukum UII, bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas. Tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, budaya, pendidikan, gender dan HAM.

Gosip/go·sip/ oleh Kamus Besar Bahas Indonesia diartikan sebagai obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang; pergunjingan. Makna gossip hari ini erat kaitannya dengan perempuan dan rumor buruk tentang orang lain yang menjadi bahan gunjingan di dalam masyarakat.

Menyikapi hal ini, ada kelompok masyarakat yang memang senang dengan pola-pola gosip itu sendiri karena menganggapnya sebagai hiburan atau sesuatu yang menyenangkan, sementara yang lain menolak mentah-mentah gosip, atas alasan gosip–yang diterjemahkan sebagai aktivitas menggunjing dan membicarakan keburukan orang lain—dilarang oleh agama.

Lain halnya dengan perkembangan gosip hari ini yang tidak lebih dari sekedar berita selingkuhan tetangga, perkembangan bayi Atta Halilintar atau perselisihan keluarga H. Faisal dan Doddy Sudrajat yang menjadi santapan lezat bagi media mainstream. Dalam Bridgeton, film yang memilki latar waktu tahun 1800 –an itu mengangkat banyak hal menarik, satu di antaranya adalah gosip.

Pemaknaan dan fungsi gosip hari ini sangat berbeda dengan apa yang dikisahkan dalam Bridgeton. Jikadewasa ini gosip yang erat kaitannya dengan perempuan, hanya dianggap sebagai perbuatan tercela karena menggunjing keburukan orang, maka Bridgeton akan memberikan gambaran yang sedikit berbeda mengenai gosip.

maka tidak heran jika sterotipe negatif sering menjumpai perempuan yang pandai dan senang bergosip.

Gossip to survive

Dalam Bridgerton, gosip adalah hal yang lumrah dan penting. Gosip berperan penting sebagai cara untuk mempertahankan pendapat, hak, reputasi serta kedudukan seseorang, khususnya perempuan. Melalui gosip, seseorang dapat degan mudah mengetahui berbagai informasi mulai dari keresahan keluarga satu terhadap keluarga lain hingga kritik terhadap sistem pemerintahan London.

Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Sapiens: A Brief History of Humankin, meyampaikan, “teori gosip mungkin terdengar seperti lawakan, namun banyak penelitian yang mendukungnya. Bahkan sekarang pun myoritas sangat besar komunikasi manusia—baik dalam bentuk surat elektronik, panggilan telepon, ataupun kolom surat kabar—adalah gosip. Bergosip sedeikian wajar bagi kita sehingga tampaknya bahasa kita berevolusi memang untuk alasan ini.

Harari juga menambahan bahwa gosip adalah keterampilan linguistik baru yang diperoleh Sapiens modern sekitar 70.000 tahun silam. Dengan bergosip, Sapiens dapat mempererat keterikatan satu sama lain dengan bekerja sama, “tidak cukup bagi laki-laki dan perempuan untuk tahu keberadaan singa dan bison. Yang jauh lebih penting bagi mereka adalah tahu siapa membenci siapa, siapa tidur dengan siapa, siapa yang jujur, dan siapa yang penipu”.

Penelitian lain, dari R.I.M Dunbar yang berjudul “Gossip in Evolutionary Perspective” menyampaikan, “Saya berpendapat bahwa gosip, dalam arti luas percakapan tentang topik sosial dan pribadi, merupakan prasyarat mendasar dari kondisi manusia. Jika kami tidak dapat terlibat dalam diskusi tentang masalah ini, kami tidak dapat mempertahankan jenis masyarakat yang kami lakukan. Gosip dalam arti luas ini memainkan sejumlah peran yang berbeda dalam memelihara kelompok-kelompok yang berfungsi secara sosial sepanjang waktu; meskipun ikatan sosial yang sederhana mungkin merupakan satu-satunya yang paling penting dari peran-peran ini (dan mungkin merupakan dorongan awal bagi evolusi bahasa), pertukaran informasi tentang penggosip ini tidak diragukan lagi menjadi penting dalam masyarakat besar manusia modern yang tersebar.

Dalam beberapa hal, perkembangannya dapat dilihat sebagai hasil alami dari otak sosial kita, karena ia mengeksploitasi minat intens yang secara alami kita miliki dalam perbuatan orang lain. Bahwa hal itu dapat dibawa ke ekstrem mungkin merupakan masalah penyesalan, tetapi ini tidak boleh mengalihkan perhatian kita dari isu sentral bahwa gosip (dalam arti luas) adalah papan utama di mana sosialitas manusia didirikan. Pada kenyataannya, tuntutan kognitif dari gosip adalah alasan utama mengapa otak sebesar itu berevolusi dalam garis keturunan manusia.”

 “Without gossip, there would be no society. In short, gossip is what makes human society as we know it possible” (Dumbar, 2004)

Gosip sebagai ruang aspirasi perempuan

Bridgeton bukan hanya menceritakan perihal kisah cinta bangsawan yang diperumit oleh kebiasaan masyarakat ningrat, namun juga memperlihatkan bagaimana kaum perempuan diperlakukan dalam masyarakat London pada umumnya. Perempuan-perempuan dibentuk dan dididik sebagai kaum kedua yang hanya disaratkan untuk tunduk akan perintah, baik keluarga maupun masyarakat.

Nasib para perempuan bangsawan tidak lebih baik dari rakyat biasa di London. Ketimpangan kelas bukan hnaya terjadi antara kaum bangsawan dan rakyat biasa, namun antara kaum laki-laki dan perempuan. Para perempuan ningrat tidak diperkenankan untuk menyampaikan pendapat, bekerja, dan bergaul dengan masyarakat biasa. Mereka hanya diminta untuk berdiam diri di rumah, disibukkan dengan pesta dansa mana yang akan dihadiri dan gaun seperti  apa yang hendak dipakai.

Maka para perempuan yang ingin berpendapat dan menyadari posisinya sebagai kaum kedua, bergosip. Bergosip pada masa itu lebih dari sekedar untuk menggunjing keburukan-keburukan orang lain, tapi bergosip dilakuan sebagai cara untuk mempertahankan eksistensi kaum perempuan yang tidak pernah mendapat tempat yang sama dengan kaum laki-laki.

Lady Whistledown sebagai tokoh utama dan berperan aktif dalam menyebarluaskan gosip serta pemikirannya melalui surat kabar adalah bukti bahwa aspirasi perempuan, pada masa itu, tidak pernah mendapatkan ruang yang tepat. Maka sekalipun keberanian untuk berpendapat itu ada, tetap harus disembunyikan melalui nama samaran jika tidak ingin dikucilkan atau bahkan ditendang dari lingkungan kerajaan.

Dilansir dari Tirto.id, gosip tidak lantas terlepas dari sisi atau dampak negatif. Terence D. Dores Cruz, dkk, dalam “The Bright and Dark Side of Gossip for Cooperation in Groups” (2019), menjelaskan, sebenarnya apa yang membuat gosip baik, buruk atau netral ialah soal bagaimana kita menggunakan dan menafsirkan informasi tersebut alih-alih isi dari informasi itu sendiri.

Penggosip yang baik akan menggunakan informasi yang didapatkannya dengan cara yang bertanggung jawab. Namun, tentu ada penggosip yang buruk atau tidak bijak di sekitar kita. Gosip bisa menjadi strategi yang digunakan oleh individu untuk meningkatkan reputasi dan kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan orang lain. Bergosip bukanlah suatu perbuatan atau kegiatan yang memalukan. Bergosip merupakan kemampuan sosial. Karena pada kenyataannya, bergosip merupakan cara kita, manusia sebagai makhluk sosial, untuk bertahan hidup. 

N.M Dian N Luthfi
N.M Dian N Luthfi
Mahasiswi Fakultas Hukum UII, bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas. Tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, budaya, pendidikan, gender dan HAM.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.