Senin, Oktober 7, 2024

Mengukur Efektifitas “Jokowi Effect”

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi

Hasil hitung cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei, pasangan nomor urut 01 Joko Widodo dan Maruf Amin unggul di atas rivalnya, yakni pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Bukan hanya satu hasil hitung cepat, bahkan 9 lembaga survei menghitung bahwa pasangan nomor urut 01 Jokowi-Amin, lebih unggul dengan perbandingan sekitar 54 persen dan sekitar 45 persen untuk Prabowo-Sandi. Mereka mengatakan bahwa hasil hitung cepat tidak akan berbeda jauh dengan hasil real count yang akan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sebagaimana yang terjadi pada tahun 2014 lalu, pilpres 2019 juga direspon positif oleh pasar. “Jokowi Effect” disebut-sebut sebagai fenomena respon positif pasar terhadap hasil hitung cepat Pilpres 2019.

Beberapa respon pasar yang disebut dengan “Jokowi Effect”, diantaranya adalah, (1) IHSG dan pupiah menguat.  Pada perdagangan Kamis 18 April 2019, IHSG dibuka menguat 87,30 poin atau 1,34% ke level 6.568. Bahkan, sehari sebelum Pemilu, pada Selasa (16/4/2019), IHSG ditutup menguat 46,39 poin atau 0,72 persen ke posisi 6.481,54. Dan dalam seminggu terakhir menjelang hari pencoblosan, IHSG pun menguat 0,67 persen.

Dari sisi nilai tukar rupiah, diketahui juga mengalami penguatan sehari pasca Pilpres. Bahkan nilai tukar rupiah nyaris keluar meninggalkan Rp 14.000 per dollar AS. Pada pembukaan Kamis (18/4/2019), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sempat menyentuh level Rp 13.995 per dollar AS.

Kedua, investor asing yang melakukan beli bersih. Euforia terhadap hasil hitung cepat tersebut, juga dimanfaatkan para pelaku pasar untuk melakukan aksi ambil untung (profit taking). Hal ini terlihat dari aksi beli yang dilakukan investor asing dalam beberapa menit usai perdagangan dibuka. Tercatat, ketika pasar dibuka ada aksi beli Rp 800 miliar.Ketiga, investor yang banyak berburu obligasi.

Fenomena yang disebut sebagai “Jokowi Effect”, diperkirakan akan terus terjadi 1 minggu sampai dengan 1 bulan setelah hari pencoblosan. Namun demikian, fenomena “Jokowi Effect” memberikan sinyalemen bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Amien memang dikehendaki oleh para pelaku pasar baik di dalam maupun di luar negeri.

Rasionalisasi Pasar

Fenomena “Jokowi Effect” dalam istilah ekonomi disebut dengan signaling theory, yakni perubahan perlaku pasar yang bersifat sementara sebagai dampak dari faktor-faktor diluar ekonomi (non ekonomi).

Sebagai contoh faktor tersebut adalah adanya aksi pengeboman, konflik horisontal dan lain sebagainya. Sementara fenomena “Jokowi Effect” yang ditandai dengan respon positif pelaku pasar, khususnya para investor dalam negeri dan asing yang semaki percaya terhadap prospek ekonomi Indonesia dalam kepemimpinan pemerintahan Presiden Jokowi.

Fakta lain yang menjadi realitas kinerja perekonomian diluar “Jokowi Effect” adalah perkaikan kinerka ekonomi makro Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS)  mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus USD 0,54 miliar atau sekitar USD 540 juta pada Maret 2019. Surplus ini berasal dari ekspor sebesar USD 14,03 miliar dan impor sebesar USD 13,49 miliar.  Dari sisi impor, Indonesia pada Maret 2019 mencatatkan impor sebesar USD 13,49 miliar. Angka ini naik jika dibandingkan dengan bulan Februari 2019 sebesar USD 10,31 miliar.

Trend surplus neraca perdagangan dari bulan Februari dan Maret 2019 berdampak pada berkurangnya tekanan pada defisit transaksi berjalan (CAD). Hal ini bisa dilihat dari angka dan sektor utama tujuan ekspor (terutama sektor non-migas) yang pada kuartal IV 2018 menunjukkan tren menurun, kembali mengalami kenaikan dan bahkan tumbuh pada  bulan Februari dan Maret 2019.

Hal ini juga didukung oleh data bahwa selama kuartal I/2019, tercatat bahwa capital inflow ke Indonesia mencapai Rp 85,9 triliun di mana didominasi ke pasar SBN (Surat Berharga Negara) yang mencapai Rp 75,3 triliun. Sedangkan Rp 10,6 triliun masuk ke pasar saham.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2019 akan menyentuh angka 5,2 persen. Angka ini meningkat dari kuartal IV/2018 sebesar 5,18 persen. Dimana  faktor pendorong pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi swasta, konsumsi pemerintah maupun konsumsi lembaga negara nonrumah tangga berkaitan dengan persiapan jelang pemilu.

Fakta-fakta yang demikian sebenarnya menjelaskan bahwa “Jokowi Effect” adalah sebuah tesis dari rasionalisasi pasar yang digerakkan oleh para pelaku pasar. Diketahui bahwa rasionalisasi pasar adalah upaya untuk mengubah alur kerja ad hoc yang sudah ada menjadi alur kerja yang didasarkan pada faktor-faktor baru yang mempengaruhi pasar, baik berupa kebijakan/peraturan (yang juga disebut sebagai intervensi negara atas hukum pasar), mengukur indikator pengalaman pada masa lalu, adanya pengetahuan/invovasi produk, serta perubahan pola pekerjaan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Prof Eugene Fama, penerima Nobel Ekonomi tahun 2013, yang mengatakan bahwa pasar finansial dikatakan efisien bila harga yang terbentuk di pasar sudah mencerminkan informasi relevan yang tersedia pada saat itu.

Sementara itu, menurut teori Behavioral Economics Prof Schiller, juga penerima Nobel Ekonomi, wajah anomali pasar sebagai lawan dari teori efisiensi disebut teori bubble. Dengan kata lain, kinerja pasar finansial di Indonesia lebih banyak digerakkan oleh reaksi pasar yang berlebihan dan lari dari fundamental ekonominya.

Oleh sebab itu, untuk mengukur efektifitas “Jokowi Effect” terhadap perekonomian nasional harus dilihat dari efektivitas rasionalisasi pasar ini, apakah akan berdampak jangka panjang terhadap perekonomian atau hanya berdampat sementara atau sesaat saja. Kemampuan pemerintah untuk mengelola “Jokowi Effect” akan berkontribusi dan memastikan apakah fenomena ini akan berdampak jangka panjang atau hanya sementara saja.

Fenomena “Jokowi Effect” yang antara lain ditandai dengan kenaikan IHSG serta menguatnya nilai tukar rupiah harus dijadikan sebagai modal dasar untuk terus menjada stabilitas ekonomi nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih nyata.  Sekali lagi, fenomena ini juga ditopang oleh membaiknya fundamental pasar dan ekonomi makro.

Ini sekaligus mencerminkan efek adanya harapan baru dari pelaku pasar dan pelaku ekonomi (dalam dan luar negeri) terhadap seorang Presiden. Harapan baru itu disambut oleh para pelaku usaha, termasuk perusahaan yang tercatat di bursa dengan melakukan ekspansi usaha.

Jalan Presiden Jokowi untuk kembali ke Istana Negara dalam kurun waktu 5 (lima) tahun ke depan akan menghilangkan salah satu faktor utama perekonomian, yakni “ketidakpastian”.

Jika Presiden Jokowi kembali menduduki jabatannya sebagai Presiden RI, maka dipastikan kebijakan pemerintah yang ada saat ini kemungkinan besar akan dipertahaankan bahkan dilanjutkan, dan tidak ada perubahan yang signifikan.

Hilangnya ketidakpastian menjadikan jaminan tersendiri bagi para pelaku ekonomi khususnya investor sehingga tidak perlu menerka-nerka arah kebijakan pemerintah Indonesia ke depan. Harapan tersebut membuat pelaku pasar berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Indonesia.

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.