Sabtu, April 27, 2024

Menguji Penguji UU MD3

Yuniar Riza
Yuniar Riza
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Semenjak dinyatakan otomatis berlaku pada hari Kamis, 15 Maret 2018 tanpa pengesahan Presiden, perubahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) terbukti masih menuai sejumlah persoalan.

Penolakan publik melalui unjuk rasa dan pernyataan sikap masih menyelimuti hari-hari pasca berlakunya perubahan UU MD3 ini. Reaksi penolakan tersebut diantaranya dengan mendesak Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menganulir pasal-pasal yang dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Namun, sepertinya Presiden menolak menetapkan Perppu, karena menilai tak ada gunanya, lantaran tetap memerlukan persetujuan DPR. Presiden lebih menyarankan masyarakat yang merasa dirugikan atas berlakunya UU MD3 untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pilihan tersebut secara politik memang mengamankan posisi Presiden, mengingat sejak awal telah bersikap mendua, disatu sisi setuju terhadap perubahan UU MD3, sedang disisi lain menolak mengesahkan dengan alasan muncul keresahan di masyarakat.

Dengan tidak menetapkan Perppu, maka tidak akan memicu konflik antara Presiden dengan fraksi-fraksi DPR yang mayoritas merupakan koalisi pendukung Presiden, karena mayoritas juga merupakan pendukung substansi perubahan UU MD3 tersebut.

Sebelumnya, pasca rancangan perubahan UU MD3 mendapat persetujuan dalam rapat paripurna antara DPR dan Presiden yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM RI (12/2/2018), sejumlah elemen masyarakat telah mengajukan uji materi perubahan UU MD3 ke MK.

Untuk mengikuti proses hukum sekaligus mengakhiri keresahan terhadap materi perubahan UU MD3, hendaknya publik mengawal proses uji materinya. Hal yang perlu diketahui bahwa benih persoalan berpotensi timbul dalam proses uji materi ini, yakni kekhawatiran terhadap integritas MK akibat perkara etik yang pernah menjerat ketua lembaga pengawal konstitusi ini.

Menguji Kejernihan MK

Pasca ditolaknya permohonan uji materi tentang hak angket DPR terhadap KPK, sebagaimana Putusan No. 36/PUU-XV/2017 yang intinya pelaksanaan angket oleh DPR kepada KPK dinyatakan konstitusional, menimbulkan kekhawatiran publik terhadap integritas MK dalam mengadili perkara.

Kekhawatiran ini dipicu oleh inkonsistensi MK dengan putusan sebelumnya, dan bertubi-tubinya penjatuhan sanksi etik terhadap ketua MK. Adanya hubungan dekat antara ketua MK dengan politisi DPR patut diduga mengganggu objektifitasnya dalam mengadili perkara. Sedangkan kini MK dihadapkan dengan perkara yang nuansa politisnya juga tak kalah tinggi dibanding perkara uji materi hak angket DPR terhadap KPK sebelumnya.

Kendati demikian, keputusan Sidang Pendahuluan MK yang memeriksa kelengkapan formil patut diapresiasi. Majelis Hakim yang terdiri dari Saldi Isra, Suhartoyo, dan I Dewa Gede Palguna mempersoalkan objek perkara yang belum bernomor, sehingga Majelis Hakim meminta pemohon dalam waktu 14 hari kerja semenjak 8 Maret 2018 melengkapi syarat penomoran tersebut agar uji materi tidak kehilangan objek dan dapat diperiksa pada tahapan berikutnya. Maka paling lambat 21 Maret 2018 objek perkara sudah harus bernomor.

Perubahan UU MD3 otomatis berlaku tanpa pengesahan Presiden pada 14 Maret 2018, dan telah diberikan nomor pada 15 Maret 2018, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua UU MD3. Apabila pemohon disiplin terhadap waktu tersebut, dapat dipastikan objek perkaranya lolos dalam pemeriksaan pendahuluan ini. Kendati demikian, uji materi tidak cukup pada pemeriksaan pendahuluan.

Proses pemeriksaan pokok perkara menanti pembuktian dan analisis materil atas pengujian UU 2/2018 ini. Karena prosesnya panjang dan melibatkan berbagai pihak (DPR & Pemerintah), maka pemohon harus cermat dalam berdalih dan membuktikan inkonstitusionalitas norma-norma yang di uji. Demikian MK juga harus memeriksa berdasar pertimbangan substantif-sosiologis sebagaimana dalam putusan-putusan progresif sebelumnya. MK harus mempertimbangkan kebutuhan publik agar perubahan UU MD3 tidak diberlakukan, karena dinilai mengancam bangunan demokrasi Indonesia.

Mengingat proses uji materi membutuhkan waktu yang tidak sebentar, maka solusi praktis untuk mengatasi keresahan publik terhadap keberlakuan UU No. 2/2018 ini adalah dengan mengajukan permohonan Putusan Sela/Provisi oleh pemohon agar mahkamah menunda keberlakuan pasal-pasal yang sedang di uji sebelum putusan akhir. Dengan maksud agar UU 2/2018 tidak berdampak buruk terhadap kehidupan demokrasi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kejernihan Majelis Hakim untuk memeriksa dan mempertimbangkan hukum secara brilian dalam uji materi perkara ini juga berpotensi memulihkan martabat MK sebagai peradilan konstitusi yang progresif, semenjak marwahnya luntur akibat sejumlah kasus yang menjerat sebagian hakim-hakimnya. Semoga.

Yuniar Riza
Yuniar Riza
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.